oleh Agus Herta Sumarto
RAPAT DEWAN GUBERNUR (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 18 19 September 2019 akhirnya memutuskan untuk kembali menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,00%. Langkah penurunan ini merupakan langkah lanjutan setelah pada bulan Juli dan Agustus 2019 RDG Bank Indonesia (BI) juga memutuskan untuk menurunkan BI7DRR.
Penurunan suku bunga acuan ini merupakan langkah stimulus yang dilakukan BI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik di tengah dinamika kondisi ekonomi politik global yang masih diselimuti ketidakpastian dan kondisi ekonomi nasional yang cenderung stagnan. Langkah penurunan suku bunga acuan ini diharapkan dapat menjadi daya tarik investor global untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga terjadi capital inflow ke dalam sistem perekonomian Indonesia. Selain itu, penurunan suku bunga acuan juga diharapkan dapat menurunkan tingkat suku bunga kredit lembaga perbankan yang pada akhirnya dapat menjadi stimulus bagi para pelaku usaha untuk melakukan ekspansi usahanya. Ekspansi usaha yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi ini akan mendorong bertambahnya investasi yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya akselerasi pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.
Namun apakah kebijakan moneter yang dibuat oleh BI dengan menurunkan tingkat suku bunga acuannya ini akan efektif mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mengeluarkan Indonesia dari kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global?
Risiko Ekonomi Global
Dalam beberapa tahun ke depan perekonomian dunia diperkirakan tidak akan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bloomberg dan IMF meyakini pertumbuhan ekonomi dunia sampai dengan tahun 2022 akan stagnan di level 3,6%. Bahkan beberapa pelaku ekonomi meyakini perekonomian duia saat ini tidak hanya stagnan, namun berada di pinggir jurang resesi ekonomi.
Perang dagang Amerika Serikat (AS) China yang tidak berkesudahan menjadikan pertumbuhan ekonomi beberapa negara terus melambat. Amerika dan China sebagai pelaku utama perang dagang diperkirakan ekonominya hanya akan tumbuh masing-masing 2,3% dan 6,2% pada akhir tahun 2019, lebih rendah dibanding tahun 2018 yang masing-masing mencapai 2,9% dan 6,6%. Pada akhir tahun 2020, pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut akan kembali turun menjadi 2,0% dan 6,1%.
Dampak perang dagang yang melemahkan perekonomian AS memaksa The Fed untuk menurunkan kembali tingkat suku bunga acuannya. Penurunan The Fed ini merupakan kali kedua dalam rentang tahun 2019. Hal ini menandakan bahwa perekonomian AS membutuhkan stimulus yang kuat untuk menarik modal (capital inflow) ke dalam sistem perekonomiannya. Bahkan The Fed membuka opsi untuk menetapkan suku bunga negatif jika kondisi ekonomi negara Paman Sam tersebut tidak kunjung membaik.
Kebijakan Donald Trump dan The Fed menjadi sinyalemen kuat bagi para pelaku ekonomi dunia bawah ekonomi AS saat ini tidak dalam kondisi baik. Dalam kondisi yang cenderung tidak pasti tersebut maka hampir seluruh pelaku ekonomi di dunia akan melakukan aksi wait and see sehingga sebagian besar aktivitas ekonomi akan stagnan atau bahkan menurun.
Risiko Ekonomi Nasional
Kondisi ekonomi nasional diyakini oleh sebagian pelaku ekonomi berada dalam kondisi yang cukup kuat dan stabil. Pertumbuhan ekonomi sudah mulai stabil di kisaran angka lima persen dan beberapa variabel makro ekonomi lainnya memperlihatkan tren pergerakan yang cukup meyakinkan. Pergerakan inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun 2019 relatif stabil. Bahkan tingkat inflasi sepanjang bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2019 ini hanya mencapai 0,68 persen (mtm) atau 3,32 persen (yoy) padahal rata-rata dalam lima tahun terakhir inflasi menjelang hari raya Idul Fitri mencapai 0,77 persen (mtm). Selain tingkat inflasi yang relatif rendah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara keseluruhan bergerak stabil pada kisaran angka Rp14.000 Rp14.200.
Meningkatnya ekspektasi para pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi politik nasional ini diperkuat dengan persepsi global terhadap prospek ekonomi Indonesia yang tergambar dari peningkatan peringkat kredit Indonesia. Lembaga pemeringkat keuangan global, Standard and Poors (S&P), sejak 31 Mei 2019 meningkatkan Sovereign Credit Rating Indonesia dari BBB-/Outlook Stabil menjadi BBB/Outlook Stabil. Dengan peningkatan rating ini maka perekonomian Indonesia dinilai memiliki prospek yang bagus. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian sebagian besar pelaku ekonomi memiliki ekspektasi positif terhadap pemangkasan suku bunga acuan bank sentral ini.
Ekspektasi positif para pelaku usaha dalam negeri ini juga terlihat dari realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang naik signifikan. Realisasi PMDN pada kuartal II-2019 mencapai Rp95,6 triliun, naik 9,6 persen dibanding kuartal I 2019 atau naik 18,6 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Hal sebaliknya terjadi pada PMA. Pada kuartal II-2019 realisasi PMA hanya mencapai Rp104,9 triliun. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018, realisasi PMA pada kuartal II 2019 ini naik 9,6 persen. Namun jika dibandingkan dengan realisasi PMA pada kuartal I 2019 maka realisasi PMA pada kuartal II 2019 mengalami penurunan sebesar 2,3 persen. Kenaikan yang cukup besar pada realisasi PMDN dan turunnya realisasi PMA menandakan bahwa para pelaku ekonomi dalam negeri memiliki optimisme yang sangat besar terhadap perekonomian nasional, sedangkan para pelaku ekonomi global memiliki keyakinan sebaliknya.
Berharap Momentum
Di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global, penurunan suku bunga acuan merupakan pilihan paling rasional bagi BI sebagai bank sentral. Namun, melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia yang disebabkan oleh tingginya risiko geopolitik ekonomi global tentu akan menghantam negara-negara yang pertumbuhan ekonominya mengandalkan eskpor barang dan jasa. Dalam kondisi seperti ini maka stimulus yang diberikan untuk sektor riil yang berorientasi ekspor dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan bisa menjadi kurang efektif karena kondisi pasar yang masih kurang bergairah.
Oleh karena itu, berharap momentum ekonomi hanya dari sisi penurunan tingkat suku bunga acuan bukanlah hal yang bijak. Penurunan tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh BI merupakan kebijakan yang tepat namun kebijakan tersebut tidak cukup untuk menciptakan suatu momentum ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.
Untuk menciptakan momentum ekonomi diperlukan bauran kebijakan yang kuat antara kebijakan moneter BI dan kebijakan fiskal yang dimiliki oleh pemerintah. Penurunan suku bunga acuan BI tidak akan berdampak signifikan terhadap suku bunga kredit lembaga perbankan jika tingkat risiko ekonomi nasional masih tinggi.
Menurut Survey Ease Doing Business 2019, terdapat beberapa permasalahan di Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi faktor penghambat bagi dunia bisnis. Permasalahan regulasi masih menjadi masalah utama yang menghambat investasi di Indonesia. Masalah regulasi ini terkait dengan aspek penegakkan kontrak / perjanjian (enforcing contract) dan aspek memulai usaha (starting business) yaitu prosedur, biaya, dan waktu yang dibutuhkan untuk melalui berbagai regulasi tersebut. Jika masalah regulasi ini tidak dapat dihilangkan maka realisasi investasi akan semakin besar dan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Jika masalah-masalah tersebut masih tetap ada maka jangan berharap momentum ekonomi akan tercipta. Permasalahan-permasalahan yang selama ini menjadi faktor penghambat bisnis pada akhirnya akan menjadi risiko ekonomi nasional yang dapat menghalangi terciptanya momentum ekonomi. Penurunan tingkat suku bunga acuan ini merupakan syarat perlu untuk menciptakan momentum ekonomi namun bukanlah syarat cukup. Pemerintahlah yang memiliki peran paling besar dan signifikan terhadap penciptaan momentum ekonomi tersebut. (*)
Penulis adalah Dosen FEB UMB dan Peneliti INDEF
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More