Analisis

Penurunan Daya Beli di Era Inflasi Rendah

PEMERINTAH menegaskan saat ini inflasi tengah memasuki era inflasi rendah atau terkendali, namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan bahwa selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan, tapi inflasi yang selama semester pertama 2017 mencapai 2,4 persen membuat pendapatan riil mereka tergerus 1,4 persen. Hal ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, benar bahwa inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, akan tetapi kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, dan lain-lain, justru mendorong inflasi selama 6 bulan pertama di tahun ini yang lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu.

Tapi apakah benar lesunya penjualan disebabkan oleh penurunan daya beli? Memang penurunan penjualan di banyak sektor bukan hanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, apalagi oleh golongan berpendapatan ke bawah yang memang daya belinya lemah. Penyebab yang lebih penting adalah lantaran golongan kelas menengah menahan belanjanya (delayed purchase).

Buktinya, kalau melihat data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan selama 9 bulan terakhir sebenarnya meningkat. Namun peningkatan DPK ini terjadi pada simpanan jangka panjang (deposito) dan giro, sebaliknya DPK dalam bentuk tabungan jangka pendek melambat. “Artinya, mereka yang menyimpan uang bank cenderung untuk semakin membatasi belanjanya dalam waktu dekat,” ujar Faisal.

Pertumbuhan DPK dalam valuta asing dalam 9 bulan terakhir juga jauh lebih cepat daripada dalam rupiah. Kondisi ini terjadi sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia dan peningkatan harga sejumlah komoditas andalan Indonesia yang mendorong aktivitas ekspor-impor dalam 9 bulan terakhir. Namun sayangnya, peningkatan pendapatan tersebut tidak lantas ditransmisikan ke konsumsi di dalam negeri. Salah satu alasannya adalah berkurangnya optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Page: 1 2

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Daftar 5 Saham Pendorong IHSG Selama Sepekan

Poin Penting IHSG menguat 1,46 persen ke 8.632,76, mendorong kapitalisasi pasar BEI naik 1,39 persen… Read More

2 mins ago

OJK Tuntaskan Penyidikan Dugaan Tindak Pidana Kredit Fiktif di Bank Kaltimtara

Poin Penting OJK dan Polda Kalimantan Utara menuntaskan penyidikan dugaan tindak pidana perbankan di Bank… Read More

44 mins ago

Rapor Bursa Sepekan: IHSG Naik 1,46 Persen, Kapitalisasi Pasar Tembus Rp15.844 Triliun

Poin Penting IHSG naik 1,46 persen ke level 8.632,76, diikuti kenaikan kapitalisasi pasar 1,39 persen… Read More

1 hour ago

NII Melonjak 44,49 Persen, Analis Kompak Proyeksikan Kinerja BTN Bakal Moncer

Poin Penting NII BTN melonjak 44,49 persen yoy menjadi Rp12,61 triliun pada kuartal III 2025,… Read More

13 hours ago

Berpotensi Dipercepat, LPS Siap Jalankan Program Penjaminan Polis pada 2027

Poin Penting LPS membuka peluang percepatan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) dari mandat 2028 menjadi… Read More

15 hours ago

Program Penjaminan Polis Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi

Berlakunya Program Penjaminan Polis (PPP) yang telah menjadi mandat ke LPS sesuai UU No. 4… Read More

16 hours ago