Ekonomi dan Bisnis

Pentingnya Pembiayaan Dalam Komitmen Kurangi CO2 Indonesia

Jakarta – Perubahan iklim yang terjadi saat ini telah menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia akan menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus bertumbuh, namun di sisi lain juga harus mengurangi CO2.

Oleh karena itu, Indonesia telah berkomitmen untuk NDC dalam mengurangi emisi CO2 terutama dari listrik yang diperkirakan akan mengurangi 41% CO2 atau sebesar 446 juta ton pengurangan CO2 dan jumlah tersebut membutuhkan pembiayaan yang besar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa sektor listrik untuk melakukan pengurangan CO2 tersebut membutuhkan biaya sebesar US$243 miliar atau setara dengan Rp3.500 ribu triliun dan jumlah tersebut melebihi APBN negara yang sekitar Rp3.000 triliun.

“Untuk terus meningkatkan produksi listrik sekaligus mengurangi emisi CO2 sebesar 314 juta ton atau 446 juta ton CO2 dari listrik. Artinya, itu membutuhkan US$243 miliar atau dalam rupiah 3500 triliun dan APBN kita around 3000 triliun,” ucap Sri Mulyani dalam Sustainable Finance: Instruments and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia, Bali, 13 Juli 2022.

Ia juga menambahkan biaya pengurangan yang sebesar US$243 miliar tersebut jika dibandingkan dengan PDB Indonesia yaitu sekitar US$1,2 triliun. Dalam hal ini yang harus ditegaskan bukan hanya komitmen untuk mengurangi CO2 tetapi bagaimana hal tersebut dapat terwujud.

Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan uang, teknologi, serta prinsip yang memungkinkan sumber daya tersebut untuk dapat dimobilisasi. Pemerintah dalam hal ini telah memainkan peran yang sangat penting, namun pemerintah bukan sumber daya satu-satunya untuk mendukung komitmen tersebut.

Baca juga : Kebutuhan Biaya Untuk Turunkan CO2 Capai Rp3.500 Triliun, Menkeu: Mahal Banget

Sehingga, Sri Mulyani mengajak para sektor swasta dan peran keuangan internasional untuk turut berkomitmen dalam pengurangan CO2 sebagai kesempatan yang baru, serta berdiskusi terkait dengan harga karbon di pasar karbon dan kemudian nantinya dapat memperkenalkan instrumen lain seperti pajak karbon.

“Ketika kita berbicara tentang pasar karbon global, harga karbon bukanlah satu harga universal untuk semua dan ini adalah perdebatan serius dalam pertemuan para menteri keuangan terkait berapa harga karbon yang wajar serta mencerminkan tanggung jawab umum dan berbicara tentang komoditas-komoditas CO2 ini. Jadi kita bisa membayangkan betapa kompleksnya mekanisme ini dan seberapa efektif ini akan dapat diimplementasikan.” tambah Sri Mulyani. (*) Khoirifa

Evan Yulian

Recent Posts

Daftar 5 Saham Pendorong IHSG Selama Sepekan

Poin Penting IHSG menguat 1,46 persen ke 8.632,76, mendorong kapitalisasi pasar BEI naik 1,39 persen… Read More

3 hours ago

OJK Tuntaskan Penyidikan Dugaan Tindak Pidana Kredit Fiktif di Bank Kaltimtara

Poin Penting OJK dan Polda Kalimantan Utara menuntaskan penyidikan dugaan tindak pidana perbankan di Bank… Read More

4 hours ago

Rapor Bursa Sepekan: IHSG Naik 1,46 Persen, Kapitalisasi Pasar Tembus Rp15.844 Triliun

Poin Penting IHSG naik 1,46 persen ke level 8.632,76, diikuti kenaikan kapitalisasi pasar 1,39 persen… Read More

4 hours ago

NII Melonjak 44,49 Persen, Analis Kompak Proyeksikan Kinerja BTN Bakal Moncer

Poin Penting NII BTN melonjak 44,49 persen yoy menjadi Rp12,61 triliun pada kuartal III 2025,… Read More

16 hours ago

Berpotensi Dipercepat, LPS Siap Jalankan Program Penjaminan Polis pada 2027

Poin Penting LPS membuka peluang percepatan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) dari mandat 2028 menjadi… Read More

18 hours ago

Program Penjaminan Polis Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi

Berlakunya Program Penjaminan Polis (PPP) yang telah menjadi mandat ke LPS sesuai UU No. 4… Read More

19 hours ago