Nasional

Pentingnya Keselarasan Perencanaan di Sektor Rancang Bangun dalam Mencapai NZE 2060

Jakarta – Tingginya angka ketidakpastian dalam upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) di 2060 menyebabkan keraguan investor untuk berinvestasi pada rencana sektor rancang bangun (EPC) di Indonesia. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh rencana dalam membangun sektor industri manufaktur yang kurang reliable untuk direalisasikan.

Dampak dari darurat iklim sudah mulai mengguncang perekonomian Indonesia. Data dari Bappenas (2021) menyatakan bahwa terjadi kenaikan permukaan air laut sebanyak 0,8-1,2 cm/tahun, sementara sekitar 65 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir pantai.

Selain itu, adanya tren kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahunnya sejak 1981 sampai dengan 2018 pada catatan BMKG per 2020. Peningkatan risiko bencana hidrometeorologi yang disebabkan perubahan iklim juga mengkhawatirkan, tercatat sebesar 80 persen dari total bencana di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan akselerasi dalam mencapai target NZE yang dicanangkan akan dicapai Indonesia pada 2060 mendatang.

Risiko yang sudah mulai dirasakan Indonesia tersebut berpotensi besar pada kerugian ekonomi negara. Berdasarkan data dari Roadmap NDC Adaptasi tahun 2020, potensi kerugiannya dapat mencapai 0,66 -3,45 persen dari PDB pada tahun 2030. Oleh karena itu, komitmen pemerintahan sangat dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan yang bisa semakin besar dampaknya jika dibiarkan begitu saja.  

Baca juga: Survei Zurich Indonesia Beberkan Tantangan Net Zero Emission

“Kita sangat membutuhkan komitmen pemerintahan terhadap penurunan emisi di Indonesia dengan menganggap bahwa transisi energi merupakan sesuatu yang biasa,” jelas Pandu, perwakilan Direktur EBTKE ESDM, Ir. Yudo Dwinanda Priadi, M.S. dalam acara diskusi publik bertajuk “Mengupas Sektor Rancang Bangun Industri Menuju Net Zero Emission di Indonesia” yang diselenggarakan oleh INDEF pada Selasa (14/11).

Selain Pandu sebagai perwakilan EBTKE ESDM, diskusi publik yang dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting dan saluran Youtube INDEF juga diisi oleh Ahmad Heri Firdaus dari Peneliti INDEF, Direktur Utama PT Rekayasa Industri, Triyani Utaminingsih yang diwakili Mohamad Agung, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pupuk Indonesia, Jamsaton Nababan yang diwakili oleh Rozikin, serta Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Taufik Aditiyawarman.

Berkaitan dengan yang disebutkan Pandu, perusahaan-perusahaan EPC di Indonesia memang sudah sepakat bahwa transisi energi menjadi energi baru terbarukan (EBT) merupakan langkah penting yang dalam implementasinya harus dimaksimalkan dengan langkah-langkah yang bijak dan bisa dipertanggungjawabkan.

“Salah satu PR bagi Indonesia adalah rencana yang dibuat seringnya tidak selaras dengan realisasinya. Hal ini dapat berujung pada ketidakpastian investasi,” ungkap Pandu.

Tingginya kebutuhan investasi menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi sektor rancang bangun kita. Diperkirakan, investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit mencapai USD994,6 miliar, sedangkan untuk transmisi sebesar USD113,4 miliar. Sehingga, total kebutuhan investasi adalah sebesar USD1.108 Miliar atau setara dengan USD28,5 Miliar per tahun. 

Tingginya total investasi yang dibutuhkan Indonesia untuk berhasil mencapai NZE secepat-cepatnya pada 2060, memaksa perusahaan-perusahaan EPC untuk lebih memfokuskan langkah-langkah yang akan diambil agar lebih bijak dan dapat diandalkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam perencanaannya, diperlukan lebih dari satu buah skenario dikarenakan masih tingginya angka ketidakpastian untuk kondisi yang akan datang.

Di dalam pemaparannya, Pandu menyebutkan bahwa dibutuhkan lebih dari satu buah skenario dalam menghadapi ketidakpastian kondisi mendatang. Ia menyebutkan 6 buah strategi yang bisa dilakukan untuk mencapai NZE, yaitu elektrifikasi, pengembangan EBT, moratorium PLTU dan pensiun dini PLTU yang sudah ada, penggunaan CCS/CCUS, menggali potensi sumber energi baru, serta penerapan efisiensi energi. Enam strategi ini rencananya dilakukan secara bertahap dengan melihat situasi dan kondisi sebelumnya.

“Elektrifikasi ini bisa mulai digalakkan, seperti penggunaan kendaraan bertenaga listrik. Apabila elektrifikasi tidak mumpuni, kita bisa usahakan supply dengan bio energy. Apabila tidak bisa juga, coba pengembangan energi baru seperti hidrogen atau amonia. Kalau tidak bisa semua, sudah saatnya penggunaan CCS/CCUS,” jelasnya.

Selain itu, untuk mempercepat investasi transisi energi, dibutuhkan penguatan regulasi pengembangan EBT dalam RUU dengan menerapkan keempat belas substansi pokok RUU EBET, dua di antaranya adalah adanya pembinaan serta pengawasan dari stakeholder yang berwenang serta tingginya partisipasi masyarakat dalam mendiskusikan dan mendukung sektor rancang bangun industri menuju NZE di Indonesia.

Dari sudut pandang sektor pengguna EPC, dengan menggunakan Model Computable General Equilibrium (CGE), Ahmad Heri Firdaus menyajikan perbandingan dua buah skenario yang bisa dilakukan di kemudian hari dalam menjawab persoalan emisi karbon.

Baca juga: Strategi Mitsui Indonesia Kejar Target Net Zero Emission

Dari skenario pertama yang menyatakan untuk hanya meninggalkan energi beremisi karbon pada sektor pengguna EPC, terlihat adanya penurunan PDB sebesar 0,028, konsumsi rumah tangga menurun sebanyak 0,026, penurunan Investasi Agregat (PMTB) sebesar 0,445, penurunan ekspor sebesar 0,076, neraca perdagangan sebesar 0,004, dan upah ril sebanyak 0,071.

Sedangkan, pada skenario kedua disebutkan bahwa diperlukan juga peningkatan konsumsi EBT pada sektor penguna EPC di samping pengurangan penggunaan energi beremisi karbon. Hasilnya menyatakan adanya peningkatan di sektor-sektor yang menurun pada skenario pertama.

Pertumbuhan sebesar 0,075 pada PDB, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga 0,283, Investasi agregat tumbuh sebesar 0,295, pertumbuhan ekspor sebanyak 0,017, dan upah riil meningkat sebanyak 0,064. Kinerja makro ekonomi yang terlihat memiliki hasil sebaliknya hanya pada pertumbuhan impor agregat.

Itu artinya, output dari skenario dua membuktikan bahwa dengan meningkatkan konsumsi EBT mampu meningkatkan produktivitas dari sudut pandang ekonomi. Skenario ini bisa menjadi pertimbangan sebagai skenario yang menjanjikan bagi masa depan perekonomian Indonesia dalam upaya mencapai NZE di 2060. (*) Hanin Marwah Nurkhoirani

Galih Pratama

Recent Posts

Naik 4 Persen, Prudential Indonesia Bayar Klaim Rp13,6 Triliun per Kuartal III-2024

Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More

40 mins ago

Kebebasan Finansial di Usia Muda: Tantangan dan Strategi bagi Gen-Z

Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More

59 mins ago

BPS Catat IPM Indonesia di 2024 Naik jadi 75,08, Umur Harapan Hidup Bertambah

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 75,08 atau dalam… Read More

1 hour ago

Caturkarda Depo Bangunan (DEPO) Raih Penjualan Rp2,02 Triliun di Kuartal III-2024

Jakarta - PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO) hari ini mengadakan paparan publik terkait kinerja… Read More

2 hours ago

Utang Luar Negeri RI Naik di Triwulan III 2024, Tembus Rp6.797 Triliun

Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2024 tercatat… Read More

2 hours ago

Wamenkop Ferry: Koperasi Susu Boyolali Harus jadi Pelaku Industri Pengolahan

Jakarta - Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono turun tangan mengatasi kisruh yang membelit Koperasi Produksi Susu… Read More

3 hours ago