Oleh Wahju Rohmanti, S.E., M.M.,WMI, AAIJ, ASPM
ASSET liability management (ALM) merupakan unsur fundamental di perusahaan asuransi. Selama ini ALM lebih dikenal di bank dan belum familier di asuransi, padahal produk asuransi lebih kompleks. Menilik kasus gagal bayar klaim yang terjadi belakangan ini, kesalahan pengelolaan investasi dianggap sebagai penyebab, namun jika dikaji lebih dalam diduga karena perusahaan asuransi tidak menerapkan ALM, karena dari produk yang dijual memberikan benefit di luar kewajaran, terdapat inefisiensi dalam proses marketing dan akhirnya memaksa penempatan investasi pada aset berisiko tinggi untuk dapat menutup benefit produk.
Bisnis asuransi adalah liability driven asset, dalam hal ini pengelolaan aset harus menyesuaikan dengan profil produk. Ketika produk memberikan benefit di luar kemampuan pengelolaan investasi, maka besar kemungkinan terjadi mismatch dan ketidakcukupan cash flow.
Asuransi bukan produk depository dan prusahaan asuransi bukan lembaga intermediary seperti halnya bank dan manajer investasi. Asuransi adalah kontrak pengalihan risiko nasabah kepada perusahaan asuransi. Premi yang dibayarkan tidak akan kembali kepada nasabah sebagaimana di bank, namun nasabah akan menerima uang penggantian kerugian finansial (uang pertanggungan) saat terjadi risiko. Uang pertanggungan inilah yang disebut sebagai kewajiban (liability) perusahaan asuransi, sedangkan premi nasabah akan menjadi aset perusahaan yang harus dikelola dengan tepat agar dapat membayar kewajiban tersebut.
Arsitektur ALM asuransi berbeda dan lebih komplek daripada bank. Pengelolaan aset di asuransi harus berkonsep pairing asset to liability, bukan pool of fund seperti bank. Aset harus dipisah-pisah (segregasi) pengelolaannya, untuk setiap produk (asset backed liability).
ALM menjadi faktor fundamental bagi perusahaan asuransi, antara lain karena, satu, asuransi menghadapi risiko keuangan yang lebih variatif, terutama risiko yang berhubungan dengan asset backing liability cash flow, juga karena harus mengelola probabilitas risiko nasabah yang menjadi dasar produk. Dua, adanya konsep liability driven asset. Sebagai produk yang dijual dan bukan dibeli, produk asuransi didesain sesuai dengan minat nasabah, sehingga menyebabkan varian berkembang tak terbatas. Misal, asuransi jiwa bisa dikawinkan dengan asuransi kerugian atau dilekatkan pada produk bank, dihubungkan dengan produk investasi, atau dikombinasikan antar plan asuransi itu sendiri. Segmentasi nasabah dan marketing channel, misal bancassurance dan insurtech, juga menciptakan varian tersendiri. Hal ini membawa konsekuensi dan tantangan pada pengelolaan aset, apalagi perusahaan asuransi bukan manajer investasi.
Tiga, kerumitan cash flow. Asuransi menawarkan berbagai opsi cara bayar premi, dari bulanan tahunan, hingga sekaligus, sebaliknya cara bayar benefit juga sangat beragam sesuai dengan kombinasi produk. Empat, tenor produk dan ekosistem risiko. Produk asuransi jiwa yang memiliki tenor panjang dan luasnya jangkauan objek pertanggungan pada asuransi umum membuat pengelolaan aset dan liability asuransi menghadapi risiko suku bunga yang signifikan sepanjang masa kontrak berlangsung.
Untuk itulah diperlukan keseriusan penerapan proses ALM dalam setiap proses bisnis perusahaan asuransi. Karena, ALM menghasilkan strategi menyeluruh untuk mengelola aset dan liability untuk mengatasi semua kompleksitas di atas, dengan fokus menjaga kecukupan cash flow dan penyesuaian nilai aset dengan liability dari waktu ke waktu. ALM adalah tanggung jawab dari CEO perusahaan dan menjadi alat bagi pemegang saham untuk menilai apakah perusahaan dikelola dengan efisien.
Secara teknis pekerjaan ALM terdiri atas 3M: matching, manage, dan maintain. ALM tidak sama dengan manajemen risiko dan penjagaan kesehatan keuangan. Keduanya adalah alat ukur yang digunakan proses ALM dalam rangka merumuskan strategi-strategi di atas.
Fungsi krusial dari ALM adalah memberikan alert potensi gap atau negative cash flow secara real time, sehingga CEO dapat melakukan hal-hal preventif agar hal yang dikhawatirkan tidak terjadi. Untuk memastikan proses ALM berjalan dengan baik, CEO perusahaan harus membuat arsitektur ALM sesuai dengan ekosistem bisnis, memastikan tata kelola perusahaan yang baik, menyediakan infrastruktur, serta automasi operasi. Urgensi ALM harus dikomunikasikan ke semua level organisasi agar menjadi budaya perusahaan.
Idealnya pelaksanaan ALM dikoordinasi oleh unit fungsi yang independen, dan sebaiknya tidak dirangkap oleh pejabat eksekutif. Selain independensi, fungsi ALM membutuhkan ketajaman konsep dan wawasan menyeluruh tentang: proses bisnis perusahaan, karakteristik aset, juga produk. Dukungan fungsi manajemen risiko merupakan keharusan dan seorang aktuaris bersama dengan portfolio manager yang berpengalaman memainkan peran kunci dalam proses ALM.
Tujuan akhir ALM adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan. Keterlibatan ALM dalam desain produk dapat menghindarkan penciptaan produk bleeding, sehingga profitabilitas dapat meningkat. ALM juga memberikan panduan asset allocation untuk membentuk optimum portfolio asset berbasis risiko serta mencegah terjadinya negative cash flow.
Saat ini masih banyak perusahaan asuransi yang melakukan asset allocation pada pengelolaan investasi berdasarkan target hasil investasi yang tinggi, alih-alih berbasis ALM. Masih banyak juga yang overweight pada saham secara langsung maupun melalui reksa dana serta berinvestasi untuk trading. Overweight dan trading saham tanpa diikuti manajemen risiko dan manajemen investasi yang memadai dapat berisiko membentuk aset yang tidak likuid dan pada akhirnya memicu kegagalan pembayaran klaim. Selain berisiko tinggi, saham memiliki struktur yang paling tidak match dengan profil liability/produk asuransi. Penempatan pada saham melalui reksa dana saham juga perlu diwaspadai karena sering kali reksa dana dimanfaatkan untuk vehicle investasi high risk.
Sudah saatnya ALM digunakan sebagai basis pengelolaan perusahaan asuransi serta harus disadari bahwa asuransi bukan bank dan bukan manajer investasi. Seyogianya perusahaan asuransi kembali fokus menjual proteksi bukan produk substitusi bank atau investasi serta tidak lagi menggunakan pendapatan premi sebagai ukuran kinerja. Apalagi dengan akan diterapkannya standar akuntansi yang baru (IFRS 17), dalam hal ini perusahaan asuransi hanya bisa mengakui margin (contractual service margin) sebagai pendapatan, juga harus segregasi pengukuran liability dan pengelolaan aset per kontrak. Dengan IFRS 17 ini, perusahaan asuransi akan kembali ke konsep asset pairing liability dan menerapkan ALM secara komprehensif.
*) Penulis adalah pemerhati investasi di industri asuransi, Anggota Tim Ahli Syariah, Anggota KUPASI
Jakarta - PT Bank KEB Hana Indonesia (Hana Bank) menggandeng Korea Tourism Organization (KTO) untuk mendorong kunjungan wisatawan ke Korea… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang… Read More
Jakarta - Bank Mega Syariah menjalin kerja sama pembiayaan senilai Rp221 miliar pada sesi Business… Read More
Jakarta - PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI) telah melaporkan kinerja keuangan yang solid pada… Read More
Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan bahwa penjualan iPhone 16 di Indonesia… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (6/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More