Analisis

Penjajahan Kredit Bank Milik Asing: Restrukturisasi Kredit Masih Terus Berlangsung

Oleh: Eko B. Supriyanto

Jakarta – KEPEMILIKAN bank sejak krisis 1998 telah berubah. Diperbolehkannya pihak asing memiliki saham sampai dengan 99,9% merupakan pesona bagi investor untuk membeli bank di Indonesia. Apalagi, tingkat return on equity (ROE) dan net interest margin (NIM) bank di Indonesia tertinggi di dunia. Harga bank di Indonesia yang termasuk murah juga menjadi daya tarik yang tak terhingga nikmatnya.

Dengan rata-rata price book value (PBV) 2,5 kali dan ROE yang sebesar 20%, secara kasar break event point (BEP) hanya lima tahun. Belum lagi kenaikan kapitalisasi sahamnya. Belum lagi bicara transfer pricing bagi perusahaan induk di negaranya. Juga, devisa yang dikirim ke negaranya.

Siapa pun pemilik bank, majalah ini tidak pernah mempersoalkan sepanjang bank-bank dapat mendorong kualitas pertumbuhan ekonomi dengan memberikan kredit, tetap menciptakan lapangan kerja, dan membayar pajak dengan benar. Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), sampai dengan saat ini, sudah ada 15 negara yang memiliki bank di Indonesia dan tersebar di puluhan bank di Indonesia.

Kepemilikan asing di bank itu seperti 10 cabang bank asing dan saham pengendali di bank-bank swasta. Tidak termasuk kepemilikan asing di bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) yang juga besar. Tidak hanya di bank-bank konvensional, tapi juga di bank-bank syariah, seperti Bank Muamalat—yang kini mencari investor pengganti. Investor asing di Bank Muamalat membuktikan bahwa tak semua investor asing selalu siap sedia dengan kucuran dana.

Namun, harus diakui, secara umum investor asing punya komitmen modal yang kuat. Kepemilikan modal yang kuat di bank ini bagus bagi konsep stabilitas sistem keuangan dengan konsep build-in dan bukan build-out. Pendek kata, kalau ada apa-apa terhadap bank, otoritas tinggal memaksa pemilik untuk menyetor tambahan modal baru. Dan, umumnya investor asing bersedia, kecuali investor di Bank Muamalat.

Penyehatan Bank Muamalat sejatinya ujian dalam konsep build-in. Sejak penyehatan Bank Century, pemerintah tidak boleh mem-build-out lagi. Pemiliknya yang harus membereskan. Nah, kalau pemiliknya sudah tak kuat dan tak bersedia, lalu bagaimana? Bisa jadi bank tersebut masuk ICU sampai ada pembeli baru lagi.

Kalau tidak ada yang beli, apakah dibiarkan sampai kempis sehingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menanggung sisa dana pihak ketiga (DPK) di bawah Rp2 miliar. Bagaimana LPS menentukan batas wajar di bawah bunga penjaminan, sementara bank syariah tidak mengenal suku bunga. Hal ini tentu juga akan menimbulkan kekacauan jika terjadi apa-apa. Pengalaman di BPR syariah, LPS terpaksa membayar semua asal tidak lebih dari Rp2miliar karena LPS juga kesulitan soal batas suku bunga penjaminan.

Tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang Bank Muamalat, tapi esensinya investor asing juga tak selamanya akan meneruskan bisnis bank di Indonesia. Hal lain juga pernah terjadi pada investor Barclays Bank yang mengembalikan izinnya kepada Bank Indonesia (BI) pada 2009, ketika terjadi krisis global karena nilai investasi di Indonesia terlalu kecil dibandingkan dengan di negara-negara lain.

Jujur kita sudah dijajah oleh pihak asing dalam kepemilikan bank. Jika kita memperhitungkan kepemilikan asing di bank-bank, maka market share kredit maupun dana terus membesar. Apakah ini yang kita harapkan? Bank-bank milik asing ini tidak mengenal agent of development. “Tuhannya” hanya untung dan market kapitalisasi. Urusan agent of development adalah urusan bank BUMN. Lalu, apakah dalam menilai bank itu ada urusan peran agent of development masuk dalam menilai kesehatan bank? Ternyata tidak.

Banyak yang belum kita sadari efek dari pengaruh kepemilikan asing terhadap kesehatan bank-bank BUMN atau bank-bank swasta nasional lainnya. Sejak setahun lalu, kebijakan yang diambil bank-bank asing tentang kolektibilitas telah membunuh kualitas kredit bank-bank BUMN.

Konsep one obligor yang diharuskan merupakan derita bagi bank-bank BUMN. Penderitaan ini dirasakan oleh bank-bank BUMN dan bank lainnya, tanpa pengertian dari otoritas. Pokoknya, sedikit saja kolektibilitasnya terganggu di sebuah bank asing dan masih lancar di bank BUMN, maka tanpa ampun dengan konsep one obligor kredit menjadi macet. Konsep write off di bank-bank asing dengan pencadangan yang cukup membuat penyelesaian masalah di bank asing lebih mudah. Sementara, bank-bank BUMN tidak semudah yang dilakukan bank-bank asing.

Apalagi, bank-bank yang dimiliki pihak asing punya tradisi, kalau terjadi pergantian pengurus bank, maka kredit-kredit yang sebenarnya masih hidup langsung dikubur dengan alasan ada cadangan. Jika tidak ada, pemilik modal akan menyetor sejumlah kerugian, seperti kasus PermataBank dan Bank CIMB Niaga. Pola ini sekarang juga sedang ngetren di bank BUMN dan bank swasta sehingga berdampak pada bank-bank yang lebih kecil.

Penurunan kualitas kredit yang membabi buta di bank-bank asing dan bank-bank milik asing secara langsung akan menurunkan kualitas kredit di bank-bank BUMN. Sebab, debitur yang mengambil kredit di bank-bank asing juga mengambil kredit di bank-bank BUMN. Biasanya, mengambil kredit di bank-bank BUMN dulu, kalau sudah membesar, baru pindah ke bank-bank asing dengan alasan suku bunga lebih rendah.

Penjajahan kredit oleh bank-bank asing dengan penurunan kualitas kredit yang membabi buta ini memberi kontribusi angka non performing loan (NPL) pada bank-bank BUMN. Jadi, sebenarnya apa fungsi bank-bank asing di Indonesia? Jargon yang digembar-gemborkan otoritas untuk mendorong pertumbuhan tidak akan mudah dilakukan oleh bank-bank asing ini. Apalagi, soal agent of development juga tidak bisa diharapkan.

Jika memperhatikan ke mana kredit disalurkan, umumnya bank-bank milik asing, seperti milik Jepang, akan lebih banyak memberikan kredit kepada pengusaha dari Jepang atau berbau Jepang. Hal yang sama juga terjadi pada bank milik Korea Selatan dan Tiongkok. Belum lagi bicara transfer pricing di bank-bank asing agar lama tidak terlalu besar.

Untuk itu, otoritas juga tidak dengan mudah mengklasifikasikan kredit yang sejatinya masih hidup, tapi cepat-cepat dibawa ke tempat pemotongan alias macet. Penurunan kualitas kredit yang semena-mena ini justru menghancurkan bank-bank nasional yang diberi beban agent of development.

Sayangnya, otoritas pengawas lebih suka memilih jalan bad bank dan good bank secara membabi buta ini. Karena, bagi otoritas, otomatis bank langsung sehat dan menguntungkan. Efek merugikan bank-bank BUMN tidak pernah dilihat. Jika demikian, jangan bermimpi pikiran mendorong pertumbuhan lewat bank akan tercapai.

Bank-bank milik asing sudah makin jauh dengan tujuan nasional dan sudah menjajah bank-bank nasional. Kita tidak bisa apa-apa karena kita sudah terlalu lama membiarkannya.(*)

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Infobank

Risca Vilana

Recent Posts

BNI Sumbang Rp77 Triliun ke Penerimaan Negara dalam 5 Tahun

Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More

5 hours ago

BI Gratiskan Biaya MDR QRIS untuk Transaksi hingga Rp500 Ribu, Ini Respons AstraPay

Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More

6 hours ago

AstraPay Bidik 16,5 Juta Pengguna di 2025, Begini Strateginya

Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More

6 hours ago

Askrindo Dukung Gerakan Anak Sehat Indonesia di Labuan Bajo

Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More

6 hours ago

Presiden Prabowo Dianugerahi Tanda Kehormatan Tertinggi El Sol del Perú, Ini Maknanya

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memperoleh tanda kehormatan tertinggi, yakni “Grand Cross of the Order… Read More

8 hours ago

RUPS PLN Rombak Pengurus, Berikut Direksi dan Komisaris Terbarunya

Jakarta – PT PLN (Persero) telah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada Kamis (14/11).… Read More

8 hours ago