Moneter dan Fiskal

Pengusaha Usul Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen di 2025

Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk menunda kenaikan tarif  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.

Analisis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan bahwa jika pemerintah menaikkan tarif PPN, maka harus diikuti dengan insentif fiskal untuk tetap mendorong daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

“Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” ujar Ajib dalam keterangannya, Senin, 12 Agustus 2024.

Menurut Ajib, pemberlakuan kenaikan tarif PPN ini cenderung lebih karena aspek budgeteir, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara.

Baca juga: Menko Airlangga Pastikan Tarif PPN Naik 12 Persen di 2025

Adapun penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2023 sebesar Rp764,3 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan inflasi 2,5 persen pada tahun 2024 dan 2025, maka kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen akan memberikan kontribusi penerimaan tambahan tidak kurang dari Rp80 triliun pada tahun 2025.

“Kalau betul aspek budgeteir ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam, karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan,” jelasnya.

Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45 persen pada tahun 2019 menjadi 17,44 persen pada tahun 2023. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023.

Di sisi lain, data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60 persen ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala.

Ajib merekomendasikan dua kebijakan jika pemerintah tetap bersiteguh untuk menjalankan kebijakan tersebut yakni, pertama untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar 54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan 4,5 juta per bulan. Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta.

“Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” imbuhnya.

Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost, dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, misalnya sektor properti atau untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan peternakan.

“Tetapi, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan. Sehingga fiskal bisa tetap prudent,” papar Ajib. 

Baca juga: Kemenkeu Pede Insentif PPN DTP Mampu Genjot Ekonomi RI

Sebagai informasi, hal yang melatarbelakangi kebijakan kenaikan tarif PPN adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 (1) yang menyebtukan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

Dari sisi regulasi, sepanjang tidak ada aturan yang membatalkan pasal tersebut, maka pemerintah akan menjalankan kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut. Tetapi, secara empiris, pemerintah bisa menunda pelaksanaan aturan tersebut.

“Seperti halnya pemerintah juga menunda pemungutan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022. Secara regulasi, pelaksanaan peraturan atau pelaksanaan peraturan, tergantung willingness dan orientasi pemerintah,” ungkap Ajib. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

2 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

2 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

4 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

4 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

5 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

5 hours ago