Oleh: Ida Bagus Kade Perdana, Mantan Direktur Utama Bank Sinar Jreeng, Pengamat ekonomi dan perbankan
Dengan adanya tindakan aksi jual di pasar keuangan dalam negeri yang terus berlanjut membuat nilai tukar rupiah melawan dolar Amerika pada Senin, 23 Maret 2020 kembali mendapat tekanan dan merosot nilainya. Di pasar spot dibandrol Rp16.560 per US$ atau pada sesi penutupan perdagangan akhir pekan lalu mengalami pelemahan (terdepresiasi) sekitar 3,54%.
Mulai kemarin tanggal 17 Juni 2020 nampak mulai terlihat rupiah terapresiasi dengan menguat tipis ke level Rp14.078 per US$ sekitar 0,04% dari penutupan sebelumnya. Hari ini rupiah berusaha menembus level maksimal Rp14.000. Namun menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang hari ini kurs rupiah terhadap US$ bergerak di bawah level Rp13.800 per US$, terapresiasinya rupiah terhadap mata uang US$ yang terjadi hari ini, karena membaiknya fundamental ekonomi Indonesia, terkait adanya cerminan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5,1 – 5,5 % dengan laju inflasi yang terkendali pada kisaran 3% dengan defisit transaksi berjalan berada di kisaran level 2,5% – 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan Cadangan Devisa yang terkendali lebih kuat.
Lebih lanjut, sebagai alasan kedua kata Perry telah bekerjanya dengan baik mekanisme pasar, dimana suplai dan pasokan valas lebih tinggi dari sisi permintaan. Sebagai alasan ketiga merupakan efek dari kebijakan pemerintah serta BI yang berkomitmen menjaga stabilitas dari nilai tukar rupiah secara mekanisme pasar dan fundamental.
Namun sesungguhnya kita bangga telah terjadi penguatan rupiah terhadap mata uang US$ secara cukup signifikan belakangan ini dengan alasan-alasan sebagai mana dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo yang sudah pasti tidak menguras keberadaan Cadangan Devisa. Mengingat, terapresiasinya mata uang rupiah terhadap mata uang US$ sehingga BI tidak perlu melakukan intervensi dengan mengeluarkan simpanan US$ ke pasar dan cadangan devisa tidak menjadi terganggu keberadaannya.
Menurut hemat kami penguatan rupiah tidak semata mata hanya oleh tiga alasan yang dikemukakan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, tapi juga ada faktor keberuntungan, karena kondisi ekonomi Amerika Serikat sedang memburuk bahkan cenderung ambruk akibat pandemic wabah penyakit virus covid 19 corona, yang membuat tingginya angka pengangguran dan dampak dari pertumbuhan ekonominya mengalami pertumbuhan negatif atau terjadi kontraksi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.
Dengan demikian kami berharap Gubernur BI Perry Warjiyo jangan euphoria (merasa nyaman) dulu, harus tetap waspada dan menyiapkan strategi apabila penguatan rupiah hanya bersifat sementara yang sesungguh jauh lebih penting di jaga sesuai dengan fungsinya menjaga stabilitas mata uang rupiah terhadap mata uang US$ untuk mencegah para spekulan yang memanfaatkan fluktuasi rupiah yang tajam. Sekaligus agar supaya terjaga dan terciptanya pergerakan ekonomi nasional secara kondusif berkelanjutan.
Terjadinya penguatan rupiah yang cenderung signifikan saat ini sesungguhnya bukan sesuatu yang diharapkan, mengingat situasi dan kondisinya yang belum tepat. Disaat ini dalam kondisi kita amat membutuhkan banyak devisa. Sehingga penguatan rupiah yang signifikan terhadap mata uang US$ cenderung akan membahayakan fundamental ekonomi nasional karena tidak mampu menarik dan menghasilkan devisa dari transaksi ekspor maupun pariwisata. Mengingat komoditas ekspor dan akomodasi kepariwisataan menjadi dirasakan mahal sehingga tidak bisa bersaing secara global. Padahal kita sangat butuh banyak devisa untuk tujuan pembangunan nasional, memperbaiki devisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sampai ada yang berpendapat manusia setengah dewa pun tak akan bisa selesaikan masalah CAD. Apakah benar seperti itu, apakah demikian parah dan mendesaknya masalah CAD dimaksud untuk segera dituntaskan.
Menurut hemat kami kita harus memiliki optimisme dan semangat berjuang puputan berbakti bersama sama menyelesaikan masalah CAD yakin dengan kepercayaan diri yang kuat dan bersungguh sungguh tidak ada masalah yang tidak dapat kita selesaikan dengan baik, Jadi dengan demikian menurut hemat kami, dalam kondisi fundamental perekonomian kita sekarang ini penguatan rupiah yang cenderung signifikan. Apalagi dengan adanya musibah covid 19 corona yang berdampak negatif terhadap perekonomian nasional bahkan perekonomian global maka penguatan mata rupiah terhadap mata uang US$ tidak memberikan mamfaat yang positif dan kondusif bagi penguatan perekonomian nasional. Sehingga dengan demikian penguatan signifikan mata uang rupiah terhadap mata uang US$ yang terjadi belakangan ini bisa saja bukan merupakan berkah bahkan bisa saja justru menjadi musibah terhadap perekonomian nasional kita kedepan bila kita tidak bersikap hati-hati, mawas diri, jangan sampai terperangkap jembakan “batman” yang tidak terduga duga dengan menyiapkan berbagai langkah strategis agar pertumbuhan ekonomi nasional kita tetap bisa berjalan dengan baik lancar aman positif dan kondusif.
Diharapkan perekonomian nasional kita kedepan bisa tumbuh 7% sebagaimana yang digadang-gadang Presiden Jokowi saat pilpres yang lalu. (*)
Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More
Jakarta - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menargetkan jumlah agen asuransi umum mencapai 500 ribu… Read More
Jakarta – Di tengah fenomena makan tabungan alias mantab akhir-akhir ini, pertumbuhan antara ‘orang-orang tajir’… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut tren pertumbuhan UMKM cenderung melambat, sejalan dengan risiko kredit UMKM… Read More