Oleh Babay Parid Wazdi
DALAM setiap bisnis yang dijalankan, terdapat banyak risiko yang harus diidentifikasi sedari awal oleh pelaku UMKM. Salah satunya yaitu risiko produksi. Dengan mengidentifikasi risiko, pelaku UMKM dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya gangguan produksi. Risiko produksi adalah risiko yang muncul serta berkaitan dengan proses produksi, ketersediaan alat produksi, dan bahan baku.
Produksi yang dimaksud adalah produksi untuk suatu produk barang dan jasa. Produksi barang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar. Satu, produksi untuk barang yang dihasilkan dari proses pengolahan bahan baku oleh alat produksi atau biasa dikenal dengan UMKM industri kecil maupun industri rumahan, seperti industri pengolahan tempe tahu, pembuatan kue, dan kerajinan.
Dua, produksi yang berkaitan dengan sektor pertanian. Produk barang yang dihasilkan merupakan hasil produksi dari proses budi daya, seperti tanaman, peternakan, dan perikanan. Tiga, produksi yang berkaitan dengan jasa, seperti jasa jahit, pembuatan konten, dan desain grafis.
Untuk jenis UMKM yang berbasis pada industri, umumnya akan sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku yang menjadi sumber biaya input produksi. Dalam hal ini, banyaknya jumlah bahan baku ini akan sangat bergantung dari kemampuan produksi suatu alat produksi yang tersedia, atau biasa disebut dengan kapasitas terpasang.
Sebagai ilustrasi untuk pelaku industri UMKM seperti pelaku UMKM yang memproduksi tahu dan tempe. Di saat proses produksi dilakukan, pelaku UMKM membutuhkan bahan baku kedelai yang menjadi bahan baku utamanya. Kebutuhan akan kedelai tersebut tentunya akan disesuaikan dengan kemampuan kapasitas terpasang. Sehingga, kita bisa melihat dengan jelas bahwa ada risiko produksi yang bisa sering terjadi secara berulang. Yakni dalam hal penyediaan kacang kedelai yang tentunya bukan hanya bicara mengenai kuantitas, tapi juga sangat dipengaruhi oleh perubahan harga.
Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko
Kedelai sangat berpotensi memicu terjadinya gangguan (risiko) produksi, mengingat kedelai banyak didatangkan dengan cara impor. Tentunya hal itu juga akan sangat berkorelasi dengan produksi kedelai di negara lain, rantai pasok yang panjang, harga yang berfluktuasi, perubahan nilai tukar mata uang, gangguan supply chain seperti cuaca buruk dan perang, hingga kebijakan negara masing-masing yang bisa membuat pelaku UMKM kesulitan mendapatkan kedelai.
Ada banyak tahapan yang harus dilewati untuk mendapatkan bahan baku kedelai, yang tentunya akan menjadi risiko bagi pelaku UMKM, khususnya risiko produksi. Untuk itu, pemerintah bisa hadir dengan mengeluarkan ragam solusi kebijakan. Misalnya insentif pajak, subsidi bunga bank, membuat koperasi bagi pelaku usaha tahu dan tempe, selanjutnya koperasi diberikan kuota untuk mengimpor kedelai secara langsung.
Ilustrasi selanjutnya adalah pelaku UMKM di sektor pertanian. Ada banyak pelaku UMKM di sektor pertanian, namun kita ambil contoh untuk petani tanaman cabai, beras, dan bawang merah.
Perlu diketahui, cabai merah, beras, dan bawang merah ini kerap menjadi penyumbang inflasi rutin. Selain itu, harga produksi pertanian kerap bergerak dalam rentang angka yang lebar, dari puluhan ribu hingga ratusan ribu per kilogramnya dalam satu tahun. Fluktuasi harga komoditas tersebut jelas menunjukkan selalu ada gangguan dari sisi produksi yang rutin berulang setiap tahunnya.
Tentunya berbeda dengan pelaku UMKM tahu dan tempe sebelumnya, di mana bahan baku menjadi sumber potensial terjadinya gangguan produksi. Dari hasil observasi di lapangan, produksi hasil pertanian ini banyak dipengaruhi oleh cuaca, hama, harga yang sangat volatile, ditambah dengan kenaikan biaya input produksi seperti pupuk dan pestisida.
Ada faktor di luar kemampuan manusia yang sangat berpotensi mendorong terjadinya risiko produksi. Bahkan, perencanaan bercocok tanam yang matang sekalipun tidak menjamin bahwa produksi akan mampu terjaga sesuai dengan ekspektasi. Dan, tentunya upaya untuk melakukan kebijakan bagi pelaku UMKM di sektor pertanian akan berbeda dengan pelaku UMKM industri.
Selanjutnya, risiko produksi juga berkaitan dengan permintaan atau demand dari pasar. Tidak sedikit pelaku UMKM yang tidak mampu memenuhi permintaan pasar manakala terjadi lonjakan permintaan di luar kebiasaan, atau gagal panen, gagal produksi, dan lain-lain. Sehingga, pelaku UMKM hanya mampu memenuhi permintaan barang dan jasa sesuai dengan kapasitas produksinya.
Ke depan, untuk pelaku UMKM mesti ada kebijakan berbasis risiko agar mereka mampu beradaptasi lebih baik. Dalam konteks tersebut tentunya pelaku UMKM membutuhkan perhatian, khususnya berupa kebijakan modal, subsidi, asuransi, management stock, contract farming, dan pendampingan, sekalipun harus lintas sektoral.
Mengatasi terjadinya risiko produksi tersebut, pelaku UMKM tentunya tidak bisa sendirian. Perlu melibatkan banyak pihak. Pemangku kebijakan, misalnya, harus menggandeng banyak stakeholder untuk mengatasi masalah yang dihadapi pelaku UMKM.
Pertama, pemerintah, BUMD, dan BUMN terkait perlu membuat kebijakan untuk memastikan bahwa pelaku UMKM di sektor pertanian mendapatkan harga input produksi pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dengan harga terjangkau dan tersedia tepat waktu.
Kedua, pemerintah, BUMN, dan BUMD memberikan pendampingan untuk bisa terlibat juga dalam tata niaga barang, yang berorientasi mendorong rantai pasok yang lebih pendek atau menjual langsung ke pasar tradisional, pedagang pengecer, pedagang besar, bahkan melakukan ekspor. Berdasarkan pengalaman penulis, bersama pemerintah dan BUMD mengombinasikan kebijakan tersebut melalui perbankan daerah (BUMD) berkolaborasi dengan BUMD nonbank yakni PT Food Station Tjipinang Jaya, PD Pasar Jaya, dan PT Dharma Jaya. Melalui contract farming, petani bisa membeli pupuk dan obat-obatan (pestisida, fungisida, dan lain-lain) sebagai barang input untuk produksi pertanian, sehingga produksi bisa lebih terjamin sekaligus mengamankan rantai pasok.
Ketiga, masalah selama ini yang muncul di lapangan adalah adanya risiko produksi yang sangat fatal, yakni petani mengalami gagal panen. Untuk itu, pemerintah bisa memberikan subsidi biaya asuransi produksi ke sektor pertanian, asuransi yang meng-cover kegagalan dalam proses produksi atau asuransi gagal panen. Subsidi ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sering menuai pro dan kontra.
Keempat, risiko produksi yang lain adalah ketika produksi melimpah namun harga murah. Untuk mengatasi risiko ini mesti ada upaya dari pemerintah, BUMD, dan BUMN yang berkolaborasi dalam mengatur jumlah barang beredar. Salah satunya dengan menghadirkan resi gudang dalam mengatur pasokan barang di pasar atau contract farming dan management stock seperti yang dilakukan oleh Bank DKI yang memberikan kredit supply chain financing (SCF) kepada PT Food Station Tjipinang Jaya (BUMD), PT Dharma Jaya (BUMD), dan Pasar Jaya (BUMD) dalam mengelola stock beras, daging, telur, ikan, dan kebutuhan lainnya untuk warga DKI.
Dengan SCF, contract farming, dan management stock tersebut, produksi ketika panen raya dari petani dapat ditampung dengan baik dan kebutuhan beras, telur, daging untuk warga DKI selalu tersedia sehingga harga lebih stabil tidak terpengaruh oeh panen raya maupun paceklik.
Baca juga: Begini Strategi Jitu UMKM Berekspansi
Kelima, kebijakan yang diambil selanjutnya adalah membuat kalender tanam yang berorientasi kepada produksi untuk memenuhi konsumsi dalam suatu periode tertentu. Yang sangat memengaruhi harga jual dan kerap menjadi akar masalah berkurangnya kemampuan finansial petani saat akan melakukan cocok tanam. Terlebih jika harga jual berada di bawah harga keekonomiannya.
Dari pemaparan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa untuk meminimalisasi terjadinya risiko produksi pada pelaku UMKM, dibutuhkan pemetaan penyebab munculnya risiko, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. Karena pelaku UMKM bergerak di banyak sektor usaha, maka pemetaan harus memprioritaskan terlebih dahulu pada sejumlah faktor pemicu risiko yang peluang terjadinya paling sering (frekuensi).
Selanjutnya, yang dilakukan adalah mengklasifikasikan bagaimana frekuensi memberikan dampak pada risiko produksi. Misalnya, apakah frekuensi memberikan dampak yang rendah atau kuat terhadap risiko produksi. Misalkan, volatilitas pada harga kedelai yang terlalu sering terjadi (high frequency) memberikan dampak yang besar (high impact) terhadap gangguan produksi, atau justru tidak begitu memberikan dampak yang besar (low impact). Sebagai contoh, apakah gangguan cuaca yang memang sifatnya musiman dan jarang terjadi (low frequency) memberikan dampak besar terhadap gangguan produksi (high impact) atau justru sebaliknya. Termasuk juga masalah demand atau permintaan.
Jadi, skala prioritas kebijakan maupun pendampingan kepada pelaku UMKM itu dasarnya adalah dampak terhadap kemungkinan terjadinya gangguan produksi. Selanjutnya, mengukur seberapa sering faktor pemicu munculnya risiko tersebut berulang. Lantas dirumuskan kebijakan apa yang perlu diambil agar dampak dari risiko tersebut tidak membuat gangguan produksi yang besar.
Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More