Expertise

Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Likuiditas

Oleh Babay Parid Wazdi

MASYARAKAT umumnya lebih mengenal risiko likuiditas manakala belajar tentang perbankan dan pasar keuangan. Istilah tersebut lebih berkembang dan lebih familier di kalangan siswa atau mahasiswa yang mendalami bidang pengetahuan ekonomi, atau di kalangan investor maupun pelaku pasar di industri keuangan. Walaupun, risiko likuiditas pada dasarnya juga sangat melekat pada semua pelaku sektor usaha, termasuk pelaku UMKM.

Risiko likuiditas dideskripsikan sebagai risiko yang muncul akibat ketidakmampuan pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban jangka pendek atau kurang dari satu tahun. Dalam hal ini, sumber pelunasan kewajibannya tersebut dari kas atau aset yang sangat likuid tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan. 

Dalam konteks pelaku UMKM, kewajiban jangka pendek dibagi dalam tiga kelompok. Satu, kewajiban dalam bentuk pembayaran utang dan bunga pinjaman. Dua, kewajiban dalam memenuhi pembayaran gaji karyawan dan supplier. Tiga, kewajiban pajak yang dibayarkan kepada pemerintah, semisal pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak penghasilan (PPh) jika ada, dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Kita perjelas satu persatu kewajiban masing-masing perusahaan dari pelaku UMKM terkait risiko likuiditas. Pertama, kewajiban dalam bentuk pembayaran utang atau bunga pinjaman. Tidak bisa dimungkiri bahwa sekarang ini sebagian pelaku UMKM memiliki atau setidaknya pernah berutang. Dan, pelaku UMKM tentunya wajib memenuhi kewajiban membayar utang/pinjaman atau bunga pinjaman, dalam setiap bulan atau sesuai jatuh tempo. 

Akan lebih bijak jika pelaku UMKM menjadikan sebagian keuntungan bisnisnya untuk membayar utang atau kewajibannya. Akan lebih bijak pula jika utang yang dilakukan pelaku UMKM bukan digunakan untuk perilaku konsumtif, yang tidak memberikan nilai tambah bagi usaha maupun bagi pemenuhan kewajiban secara bulanan. 

Baca juga: Meningkatkan Kontribusi UMKM terhadap PDB Melalui Transformasi Digital

Utang ini pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kemampuan usaha, dalam hal ini pelaku UMKM, dalam memenuhi kewajibannya. Apabila keuntungan dari operasional masih dapat untuk memenuhi kewajiban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam setiap bulannya, maka pelaku UMKM tersebut dapat dikatakan masih memiliki rasio likuiditas yang baik. Jadi, terkait rasio ini, kemampuan membayar bunga atau cicilan diukur dengan membandingkan kemampuan usaha dalam mencetak laba.

Namun, jika pelaku UMKM justru memenuhi kewajibannya membayar utang dalam jangka pendek dengan aset likuid lainnya, seperti tabungan, emas, atau bentuk aset lancar lain, maka hal itu akan mengarah pada penurunan kemampuan usaha dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Jika berlangsung lama, hal itu bisa menjadi pertanda awal bahwa aktivitas bisnis pelaku UMKM tersebut tengah mengalami masalah perlambatan atau bahkan tengah menuju kepada kebangkrutan yang tidak diharapkan.

Kedua, pemenuhan dalam membayar gaji karyawan dan supplier perusahaan atau biasa disebut dengan kewajiban operasional. Tidak semua pelaku UMKM memliki supplier untuk memenuhi kebutuhan bahan baku sebagai bagian dari proses produksi. Sementara, pelaku UMKM butuh bahan baku sebagai input produksi, baik barang maupun jasa. Terminologi supplier ini dijabarkan sebagai pihak ketiga yang memenuhi kebutuhan input produksi pelaku UMKM. Baik supplier yang ditunjuk secara langsung maupun pedagang di pasar yang menjual segala jenis kebutuhan input produksi usaha UMKM.

Perusahaan/UMKM yang tidak mampu memenuhi kewajiban operasional, termasuk membayar gaji karyawan dan memenuhi kewajiban supplier, menjadi indikasi kuat bahwa UMKM tersebut tengah menghadapi gangguan likuiditas, yang mengindikasikan buruknya aktivitas usaha. Biasanya akan sangat terlihat dari skala bisnis yang mengalami penurunan. Penurunan kemampuan dalam memenuhi kewajiban membayar gaji atau operasional perusahaan juga identik dengan kinerja keuangan perusahaan yang merugi.

Karena itu, pelaku UMKM dalam konteks ini harus memiliki tolok ukur dengan melihat cash flow atau perputaran uang. Sederhananya, dengan mengurangkan keuntungan dari operasional perusahaan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Jika hasilnya positif, berarti perusahaan yang dikelola berjalan pada jalur yang benar dan menguntungkan. 

Ketiga, kewajiban pajak yang dibayarkan kepada pemerintah. Walaupun kewajiban ini dibayarkan dalam suatu periode tertentu, dan belum tentu semua pelaku UMKM dikenai pajak, pelaku UMKM mesti tetap memikirkan pajak-pajak yang kadang tidak terkait langsung dengan aktivitas usaha, seperti PBB dan PKB.

Mengapa kewajiban pajak masuk dalam kriteria risiko likuiditas? Karena, kewajiban pajak pada dasarnya harus dipenuhi oleh pelaku UMKM yang terkena pajak dalam waktu paling lama satu tahun. Sehingga, pemenuhan kebutuhan pajak masuk dalam kriteria kewajiban jangka pendek yang harus dipenuhi oleh pelaku UMKM.

Selanjutnya, risiko likuiditas ini bisa dijadikan tolok ukur bagi pelaku UMKM untuk menilai kondisi kesehatan keuangan usaha. Makin sehat kondisi keuangan usaha/bisnis, makin baik kemampuan UMKM dalam mengembangkan bisnisnya. Atau, dengan kata lain, makin besar peluang bagi pelaku UMKM untuk meningkatkan skala usaha/bisnis atau naik kelas. Tolok ukur yang bisa digunakan adalah dengan melihat kondisi keuangan usaha berkaca pada kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. 

Sebagai contoh, seorang pelaku usaha mikro, sebut saja pedagang ayam penyet, mampu menghasilkan laba setelah memenuhi kewajiban membayar gaji karyawan (kalau ada), operasional, hingga membayar cicilan utang bulanan. Kemudian, laba atau keuntungan tersebut dialokasikan ke tabungan, sementara sisanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pelaku usaha mikro tersebut. 

Kreativitas dibutuhkan di sini. Misalnya, upaya untuk melakukan efisiensi yang sifatnya tidak menimbulkan risiko lainnya, seperti penghematan penggunaan energi listrik dan bahan bakar minyak (BBM), atau upaya lainnya yang bisa menjaga stabilitas usaha.

Kembali ke masalah kewajiban dari pelaku UMKM terkait risiko likuiditas. Jika terjadi gangguan pada kemampuan dalam membayar gaji karyawan atau kebutuhan input produksi lainnya, maka bisa disimpulkan bahwa suatu UMKM tidak mampu masuk dalam kriteria risiko likuiditas yang pertama. Dan, akan lebih rumit jika UMKM tersebut memiliki kewajiban utang kepada lembaga keuangan. Dalam situasi seperti ini, UMKM itu tidak hanya perlu mempertimbangkan untuk melakukan efisiensi, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kesinambungan bisnisnya ke depan. 

Baca juga: UMKM Naik Kelas dan Rantai Pasok Industri

Kondisi perusahaan merugi bisa saja terjadi jika suatu UMKM masuk dalam kriteria yang kedua, walaupun perusahaan yang merugi akan terbebas dari pajak. Akan tetapi, pertimbangan untuk mempertahankan bisnis di situasi tersebut menjadi rumit. Dalam situasi seperti itu, efisiensi akan dilakukan. Jika efisiensi tidak juga dapat menyelamatkan perusahaan, akan dilakukan rasionalisasi (PHK), dan selanjutnya bertahan dari kemungkinan kebangkrutan.

Masalah likuiditas yang dihadapi pelaku usaha (UMKM) bisa diakibatkan oleh faktor internal dan juga eksternal. Misal, penurunan omzet jualan ayam penyet terjadi karena lemahnya daya beli masyarakat. Berarti, masalah likuiditas perusahaan terjadi akibat sisi eksternal.

Agar pelaku UMKM terhindar dari risiko likuiditas, ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, disiplin untuk menabung. Menabung itu bukan karena ada sisa laba yang tidak dibelanjakan, tetapi ada baiknya sebagai mandatori yang mesti dilakukan oleh pengusaha UMKM. Banyak instrumen tabungan yang bisa digunakan oleh para pelaku UMKM, antara lain Tabungan Renca. Menabung adalah suatu upaya untuk meningkatkan cadangan kas, atau meningkatkan kualitas likuiditas usaha. 

Kedua, membeli bahan baku dengan cara tunai agar mendapatkan diskon. Ketiga, memperbesar stock di saat harga bahan baku mengalami penurunan. Keempat, melakukan efisiensi terhadap semua aspek biaya dengan cermat. 

Kelima, mengatur penerimaan uang (account receivable) dan pembayaran kepada supplier (account payable) secara berimbang dan optimal. Keenam, jika likuiditas itu diakibatkan oleh omzet yang menurun, dan omzet yang menurun tersebut disebabkan oleh daya beli masyarakat yang juga menurun, sementara UMKM tersebut memiliki utang kepada bank, segera ajukan penjadwalan angsuran, baik jangka waktu angsuran maupun besarnya cicilan bunga dan pokok kredit. 

Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.

Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM

Galih Pratama

Recent Posts

Dukung Pariwisata Medis, Bank Mandiri Gandeng Bali International Hospital

Bali - Bank Mandiri terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor kesehatan melalui penyediaan solusi perbankan… Read More

6 mins ago

Libur Nataru, IFG Life Hadirkan Asuransi Perjalanan yang Praktis dan Terjangkau

Jakarta - PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) menghadirkan produk asuransi perjalanan yang praktis dan… Read More

37 mins ago

Jalin Siap Dukung Kelancaran Transaksi Keuangan Digital Selama Nataru

Jakarta — PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin), sebagai bagian dari Holding BUMN Danareksa, memperkuat komitmennya… Read More

1 hour ago

Rupiah Diperkirakan ‘Keok’, usai Pemangkasan Suku Bunga The Fed 25 Bps

Jakarta – Nilai tukar rupiah diperkirakan melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah pengumuman pemangkasan suku bunga… Read More

2 hours ago

Duh, Hampir Separuh BUMD Merugi Gara-gara “Ordal”

Jakarta – Dari 1.057 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada di Indonesia, hampir separuhnya… Read More

3 hours ago

IHSG Dibuka Anjlok 1,15 Persen ke Level 7.025

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka anjlok sebanyak 1,15 persen ke level 7.025,98… Read More

4 hours ago