Jakarta – Utang pemerintah yang mencapai 28 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mendekati lampu merah. Pemerintah perlu lebih hati-hati dan prudent dalam pengelolaan utangnya. Maka dari itu, proyeksi dan alokasi utang pemerintah ini harus lebih cermat dan berkualitas pada sektor-sektor yang benar-benar produktif.
Ketua The CSDS (the Center for Strategic Development Studies) Mulyanto menilai, pembangunan infrastruktur yang sangat masif, perlu dievaluasi secara hati-hati. Utang yang digunakan untuk membangun infrasturuktur diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan industri. Namun demikian, faktanya masih menunjukkan sebaliknya, dan terjadi deindustrialisasi.
“Pembangunan industri di Indonesia menurun dari 28 persen di tahun 2012, menjadi hanya berkontribusi sebesar 19 persen terhadap pembangunan ekonomi di tahun 2017,” ujar Mulyanto seperti dikutip dalam keterangannya, di Jakarta, Senin, 22 Januari 2018.
Sementara itu, Peneliti the CSDS Yusuf Wibisono juga menilai, bahwa ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian pemerintah dalam pengelolaan utang. Pertama, adalah soal keseimbangan primer yang terus turun negatif. Menurutnya, keseimbangan primer menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dalam APBN, yakni mengukur seberapa besar selisih antara penerimaan dengan belanja.
“Keseimbangan primer positif itu artinya APBN kita sehat. Semakin kecil keseimbangan primer, maka semakin berbahaya dari sudut pandang pengelolaan utang. Sementara, bila keseimbangan primer bernilai negatif, seperti yang sekarang ini terjadi, artinya untuk membayar bunga utang saja kita sudah tidak sanggup dan harus berhutang lagi, gali lobang tutup lobang,” tegasnya.
Dia memproyeksikan, stok utang pemerintah akan menembus angka Rp5.000 triliun pada akhir 2019. Pemerintahan diproyeksikan akan membuat utang baru sebesar Rp2.430 triliun sepanjang tahun 2015-2019, atau hampir Rp500 triliun setiap tahunnya. Di akhir pemerintahan diperkirakan akan menembus angka 31 persen dari PDB. Bila pada 2012 beban bunga utang masih berada di kisaran 10 persen dari penerimaan perpajakan, maka di 2016 nilainya telah menembus angka 14 persen.
“Diperkirakan beban bunga utang akan berada di kisaran 18 persen dari penerimaan perpajakan pada tahun 2019. Ini beban yang berat,” ucapnya.
Implikasinya, kata dia, pemerintah harus terus mengakumulasi tambahan utang sepanjang waktu, pyramid strategy. Membayar utang saat ini dengan membuat utang baru, tanpa mampu mengurangi stok utang. Sehingga, utang baru bukan lagi fungsi dari defisit anggaran, namun fungsi dari stok utang pemerintah.
Kemudian yang kedua, dirinya mengusulkan indikator kekuatan pembayaran utang pemerintah, yakni rasio antara besarnya bunga dan cicilan utang yang harus dibayar terhadap penerimaan pajak, sebagai suplemen dari indikator yang umum kita pakai, yakni rasio utang terhadap PDB. Menurutnya, dengan PDB tidak menggambarkan kekuatan pemerintah dalam membayar utang.
Kekuatan pemerintah dalam membayar utang itu dapat dilihat dari seberapa banyak penerimaan PDB yang dapat ditarik menjadi penerimaan negara. Jadi yang harus diperhatikan adalah besar penerimaan pajak negara dari PDB tersebut. Pada 2005-2016, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 33,1 persen dari penerimaan pajak per tahunnya. Angka ini sangat signifikan dan cenderung naik, lebih besar dari rata-rata belanja barang dan belanja modal sekaligus, yang pada saat yang sama hanya sekitar seperempat dari penerimaan perpajakan.
Indikator kekuatan pembayaran utang pemerintah ini penting untuk diperhatikan dalam rangka pengelolaan kebijakan utang pemerintah, dan tidak sekedar mengacu pada indikator rasio utang terhadap PDB. Ia juga menegaskan, utang merupakan konsekuensi dari postur APBN, yang lebih besar pasak daripada tiang, dan semestinya diarahkan untuk menjaga stimulus fiskal. Namun faktanya, anggaran negara yang selalu defisit lebih banyak diakibatkan oleh alokasi untuk “belanja mengikat” yang dipandang bersifat wajib, khususnya belanja pegawai, pembayaran bunga dan cicilan utang, serta transfer ke daerah.
Dengan besarnya porsi belanja pemerintah yang merupakan non-discretionary expenditure, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang dibawah diskresi pemerintah, seringkali harus dibiayai dengan utang. “Artinya ruang bagi stimulus fiskal adalam APBN kita sangat sempit. Dan ini tidak sehat, pungkasnya,” paparnya.
Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan dapat memperhatikan kualitas APBN baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran, agar pembangunan dapat terlaksana secara optimal. Rasio penerimaan pajak yang masih sekitar 11 persen PDB ini harus ditingkatkan secara lebih signifikan melalui cara-cara yang kreatif dan berkeadilan. Dengan demikian, maka keseimbangan primer anggaran negara bisa tumbuh secara positif dan utang pemerintah lebih teralokasi dan terproyeksikan dengan baik dalam rangka memberi ruang yang luas bagi stimulus fiskal untuk pembangunan yang berkualitas. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More