Ilustrasi: Tampilan SLIK OJK lewat smartphone. (Foto: istimewa)
Poin Penting
Jakarta – Wacana penghapusan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai sebagai kebijakan berisiko besar. Penghapusan SLIK berpotensi mendorong lonjakan kredit macet (NPL) perbankan.
Pengamat Pasar Modal Hans Kwee menilai wacana penghapusan SLIK sangat berisiko. Selama ini, SLIK menjadi salah satu instrumen yang digunakan bank atau lembaga keuangan dalam menilai kelayakan debitur sebelum menyalurkan kredit atau pinjaman.
SLIK menjadi bagian dari upaya lembaga keuangan memitigasi risiko karena berisikan rekam jejak kredit seseorang. Dengan SLIK, bank atau lembaga keuangan bisa memproyeksikan tingkat risiko kredit yang akan disalurkan.
“Ya, ini usulan yang kurang tepat ya. Kami pikir karena sebenarnya SLIK itu kan track record kredit seseorang. Jadi ini menjadi acuan bank dalam menyalurkan kredit. Nah asumsi yang dipakai di sibi adalah kalau orang itu pernah punya masalah, maka bank itu harus hati-hati dalam menyalurkan kredit,” kata Hans dikutip di Jakarta, Rabu, 10 Desember 2025.
Baca juga: Menteri Ara Minta SLIK OJK Dihapus, Begini Respons Purbaya
Jika SLIK dihapus, lanjut Hans, sama saja dengan menghilangkan alat navigasi bagi perbankan dalam menyalurkan kredit. Tanpa data riwayat kredit, bank akan sulit menilai apakah seorang calon debitur mampu membayar kewajibannya di masa mendatang.
“Kalau SLIK tadi dihapus, kemudian orang itu dapat kredit, maka kredit-kredit itu potensi macetnya akan sangat tinggi. Padahal perbankan ini, dia menarik dana masyarakat yang ternyata dana masyarakat itu juga ada cost-nya. Sehingga kalau kita melakukan penghapusan SLIK untuk memberikan kredit pada pihak-pihak yang memang belum layak mendapatkan kredit, itu sama saja memindahkan masalah dari debitur ke industri perbankan,” lanjutnya.
Ia mengingatkan, kenaikan kredit macet pada akhirnya bisa mengancam kesehatan industri perbankan secara keseluruhan. Jika perbankan terganggu, implikasinya bisa semakian meluas karena bisa men-trigger terjadinya krisis pada ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Hans juga menyinggung pengalaman krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008 sebagai contoh. Ketika itu kredit perumahan diberikan kepada kelompok yang tidak layak dan menyebabkan lonjakan gagal bayar yang mengguncang perekonomian global.
“Waktu itu orang yang no income, no job, tetapi mereka punya properti dengan bunga yang tinggi. Ya akhirnya keluarlah banyak subprime mortgage yang meledak di 2009 yang menyebabkan ekonomi Amerika dan dunia terpuruk pada krisis gitu,” tegas Hans.
Ia menilai, kebutuhan akan hunian memang penting. Tapi belum tentu semua orang yang membutuhkan hunian layak mendapatkan fasilitas kredit.
Baca juga: BNI dan BTN Buka Suara Soal Usulan Penghapusan SLIK OJK
Maka itu, Hans mengusulkan agar pemerintah membuat mekanisme rumah, rumah susun atau apartemen yang disewakan dengan subsidi sehingga harganya terjangkau. Langkah ini tidak akan mengorbankan stabilitas keuangan.
Hunian sewa itu juga dapat diberikan berdasarkan radius tempat bekerja sehingga membantu menghemat biaya hidup masyarakat berpenghasilan rendah.
“Sehingga ini membantu dia bekerja yang tinggalnya dekat daerah tempat tinggalnya, sehingga cost dia menjadi lebih minim. Kemudian waktunya menjadi lebih efisien gitu. Nah mungkin mekanisme itu bisa dipikirkan ya,” tutupnya. (*) Ari Astriawan
Poin Penting Easycash luncurkan MOJANG sebagai panduan praktis agar generasi muda dapat mengelola keuangan dengan… Read More
Poin Penting Ketidakpastian ekonomi global berada pada level tertinggi dalam lebih dari satu dekade, dipicu… Read More
Poin Penting ADB memberi pinjaman USD500 juta untuk mendukung reformasi pendidikan, kesehatan, keterampilan, dan perlindungan… Read More
Poin Penting Mandiri BFN Fest 2025 resmi dibuka AFTECH sebagai puncak Bulan Fintech Nasional, menjadi… Read More
Poin Penting Indonesia memiliki potensi besar social commerce, dengan 60 juta pengguna media sosial dan… Read More
Poin Penting Cashville Kidz adalah program Maybank untuk anak 9 sampai 12 tahun agar belajar… Read More