Jakarta – Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto mengatakan bahwa penegakan hukum dalam penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai bisa menggairahkan instrumen investasi di pasar modal.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar pun sependapat dengan Toto. Namun dirinya memberikan catatan khusus, yakni asalkan penegakan hukum tersebut dilakukan secara benar, konsisten dan tanpa disparitas, tentu akan mendorong investasi pasar modal.
“Kenyataannya, dalam proses penanganan Jiwasraya dan Asabri ada penyitaan yang diduga tidak tepat, tidak proporsional, tidak ada kaitan dengan kejahatan. Bahkan bila ditelusuri kembali, dari 124 emiten yang sahamnya dibeli oleh Jiwasraya hanya 2 diantaranya yang dianggap melakukan tindak pidana tanpa ada pemeriksaan terhadap yang lain,” ujar Haris Azhar seperti dikutip Kamis 10 Juni 2021.
Ia beralasan, pernyataan tersebut bukan tanpa sebab. Menurutnya terdapat aset yang akan dilakukan pelelangan karena disebutkan berpotensi rusak.
“Karena penyidik tidak bisa mengelola atau tidak tahu cara menyikapi aset sitaan tersebut. Padahal aset tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana sebagaimana amanat Pasal 39. Penyidik mengatakan bahwa aset tersebut disita untuk uang pengganti, padahal Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor sudah menyebutkan dengan sangat jelas bahwa apabila dalam waktu 1(satu) bulan setelah inkraht Terpidana tidak bisa membayar uang pengganti maka hartanya bisa disita. Artinya, penyitaan baru bisa dilakukan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap,” kata dia.
Sedangkan dalam pasar modal, jelas dia, pada kenyataannya sudah banyak (investor) yang “kabur” dari Indonesia, karena menganggap tidak ada kepastian penegakan hukum. Hal ini juga menjadi catatan bagi regulator.
“Kalau memang dianggap ada salah kelola terhadap dana asuransi atau para emiten tersebut ditengarai bermasalah di pasar modal, kenapa selama ini diam saja?! Padahal asuransi dan pasar modal adalah ranah pengawasan OJK,” ungkap Haris.
Menurutnya, pejabat dan pengamat jangan berpendapat dengan narasi umum saja, namun harus melihat praktik dan riilnya. Haris menilai bukan tidak mungkin kasus Jiwasraya ini akan menjadi template skandal di kancah pasar modal Indonesia di kemudian hari.
Senada Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar mengatakan, bahwa sejatinya perkara pidana adalah mengadili perbuatan perorangan. Karena penyitaan aset hanyalah sebagai bukti penguat dalam sebuah tindak pidana.
Menurutnya, jika aset itu berkaitan dengan kepentingan umum tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk menyitanya. “Karena menyita itu untuk membuat barang bukti yang cukup dengan contoh atau sampel saja,” ujar Fickar.
Fickar pun menilai jangan sampai Kejaksaan justru terkesan ingin menguasai aset-aset tersebut. Karena, kata dia, konteksnya hanya sekedar bukti saja, aset lainnya harus tetap jalan agar tidak merugikan kepentingan umum. Intinya, penegakan hukum tidak boleh menghancur ekonomi masyarakat.
Diketahui, Jiwasraya dinyatakan gagal bayar pada tahun 2018 silam. Penyidik Kejagung menilai berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun. Kerugian tersebut berasal dari transaksi pembelian langsung atas empat saham, dan transaksi pembelian saham (indirect) melalui 21 Reksadana 13 Manajer Investasi yang diklaim dikendalikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro. (*)
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More
Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More
Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More