Pemerintah Diminta Fokus Garap Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati, Ini Alasannya

Pemerintah Diminta Fokus Garap Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati, Ini Alasannya

Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa pemerintah harus serius dalam mengembangkan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN).

Menurutnya, penetapan bioetanol sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) perlu diikuti dengan intervensi di bidang pengadaan bahan baku.

“Perlu keseriusan pemerintah. Hal yang utama adalah pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku),” ujarnya, dinukil Antara, Minggu, 27 Januari 2025.

Baca juga : Ini Pentingnya Pengembangan Bioethanol jadi Bahan Bakar Nabati

Fabby menegaskan, kesungguhan pemerintah sangat dibutuhkan karena terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan bioetanol sebagai sumber energi nabati.

Tantangan pertama, tanaman sumber bahan baku bioetanol di Indonesia, seperti tebu, jagung, sorgum, dan singkong, masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan kelapa sawit yang digunakan untuk biodiesel.

Sebagai contoh, biodiesel B40 lebih mudah dikembangkan karena suplai bahan bakunya sudah memadai, sehingga hanya tinggal menentukan alokasi antara kebutuhan domestik dan ekspor.

“Namun masalahnya, feedstock-nya tidak cukup,” jelas Fabby. Ia menambahkan bahwa produksi gula di Indonesia saat ini masih mengandalkan impor, sementara produksi etanol dari molase juga belum mencukupi.

Baca juga: Industri Biodiesel Diklaim Sudah Ikuti Aturan Pemerintah

Tantangan kedua, untuk menghasilkan ethanol dengan standar fuel grade (99 persen ethanol), diperlukan teknologi khusus yang tetap membutuhkan intervensi pemerintah.

Tantangan ketiga mengenai harga. Harga etanol di pasar internasional cenderung lebih tinggi dibandingkan harga minyak mentah karena ethanol juga digunakan sebagai bahan baku untuk industri dan pangan.

Pengembangan Bioetanol

Sementara itu, dalam pengembangan bioetanol, tidak terdapat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) seperti pada biodiesel. 

Pada biodiesel, jika harga FAME terlalu mahal, misalnya, maka subsidi bisa dihimpun dari badan tersebut, yang dihimpun dari pengusaha sawit.

“Karena itulah, jadi kalau tetap mau mengembangkan bioetanol dengan harga terjangkau, pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi),” ujar Fabby.

Jika Indonesia tetap ingin mengembangkan bioetanol, imbuhnya, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap tiga tantangan tersebut, terutama pengadaan bahan baku yang masih sedikit.

Baca juga : Kebijakan Komprehensif Pemerintah Diyakini Mampu Dorong Bioethanol sebagai BBN

Senada dengan Fabby, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menyarankan agar pemerintah serius mendorong pengembangan bioetanol, termasuk melalui optimalisasi peran BUMN dan pendanaan.

“Kita bisa atau tidak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (etanol) berharga murah,” kata Marwan.

Menurutnya, jika pengadaan bahan baku bioetanol hanya mengandalkan produksi singkong atau tebu saat ini, hasilnya tidak akan mampu menyaingi produksi minyak kelapa sawit (CPO).

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu mengalokasikan lahan jutaan hektare untuk menanam singkong atau tebu secara intensif guna mendukung keberlanjutan bioetanol sebagai bahan bakar nabati. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

Top News

News Update