Categories: Nasional

Pembiayaan Infrastruktur Tak Boleh Tergantung Utang

Pembangunan infrastruktur terancam ditunda jika Pemerintah tak mendapat pembiayaan. Namun, saat ini utang Pemerintah dinilai sudah besar sehingga perlu penghematan di pos belanja lain. Ria Martati

Jakarta–Rencana Pemerintah mengalokasikan belanja infrastruktur sebesar Rp313,5 triliun, naik 7,99% dibanding APBNP 2015, pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 dinilai merupakan langkah yang tepat.

Namun demikian, realisasi proyek-proyek infrastruktur yang memerlukan anggaran besar itu dikhawatirkan akan dikorbankan jika Pemerintah tidak bisa mendapat penerimaan negara sesuai rencana dalam RAPBN 2016 yang ditetapkan Rp1.848,107 triliun.

“Ketika revenue enggak sesuai harapan, di situ jadi Pekerjaan Rumah (PR), ternyata janji enggak semudah di awal, tapi persoalannya adalah utang juga enggak mudah. Biasanya yang dikorbankan adalah infrastruktur, tapi bagaimana kalau tahun depannya lagi kita juga tidak punya cukup uang, kalau tahun depan begitu lagi kita enggak akan punya infrastruktur,” kata Akhmad Akbar Susamto, Ekonom CORE Indonesia dalam Diskusi “Mengoptimalkan Peran APBN Sebagai Stimulus Ekonomi” di Jakarta, Selasa, 15 September 2015.

Menurutnya Pemerintah dalam posisi sulit karena RAPBN 2016 diperkirakan defisit Rp273,2 triliun yang harus dipenuhi dari utang luar negeri. Sehingga utang diperkirakan naik 50% dari APBNP 2015 untuk menutup defisit tersebut. Oleh karena itu anggaran pembiayaan infrastruktur biasanya dikorbankan dan ditunda di tahun berikutnya.

“Ini PR enggak mudah, harusnya ada hal-hal lain yang dikorbankan, seperti belanja kementerian-kementerian, tapi enggak akan mudah,” tambahnya.

Sementara itu, Ekonom sekaligus Rektor Universitas Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengatakan, Pemerintah harus mencari sumber pembiayaan selain surat utang, karena biayanya mahal. Di sisi lain, Pemerintah, sesuai Undang-Undag memiliki batas untuk defisit anggaran maksimal 3% dari PDB. Dengan demikian, ruang untuk defisit sudah sempit.

“Kalau revenue enggak cukup solusinya harus mix Pertama kalau surat utang pasti mahal, jadi enggak bisa andalkan penerbitan surat utang. Kedua harus dipikirkan limit dari defisit yang diijinkan, sekarang masih 2,5%-2,7%, ruangnya enggak begitu banyak lagi kalau surat utang atau utang bilateral sehingga harus diperhitungkan untuk pemangkasan belanja,” tambahnya.

Namun, menurutnya, untuk menutup defisit biasanya Pemerintah memang tergantung utang. “Kemungkinan Pemerintah utang dulu, terutama untuk BUMN tertentu, seperti BUMN karya, jadi kalau ada proyek yang belum dieksekusi tahun ini, ini menyelamatkan,” tandasnya. (*)

Paulus Yoga

Recent Posts

Berpotensi Dipercepat, LPS Siap Jalankan Program Penjaminan Polis pada 2027

Poin Penting LPS membuka peluang percepatan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) dari mandat 2028 menjadi… Read More

14 mins ago

Program Penjaminan Polis Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi

Berlakunya Program Penjaminan Polis (PPP) yang telah menjadi mandat ke LPS sesuai UU No. 4… Read More

1 hour ago

Promo Berlipat Cicilan Makin Hemat dari BAF di Serba Untung 12.12

Poin Penting BAF gelar program Serba Untung 12.12 dengan promo besar seperti diskon cicilan, cashback,… Read More

4 hours ago

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Poin Penting BNI berpartisipasi dalam NFHE 2025 untuk memperkuat literasi keuangan dan mendorong kesehatan finansial… Read More

5 hours ago

wondr BrightUp Cup 2025 Digelar, BNI Perluas Dukungan bagi Ekosistem Olahraga Nasional

Poin Penting BNI menggelar wondr BrightUp Cup 2025 sebagai ajang sportainment yang menggabungkan ekshibisi olahraga… Read More

5 hours ago

JBS Perkasa dan REI Jalin Kerja Sama Dukung Program 3 Juta Rumah

Poin Penting JBS Perkasa dan REI resmi bekerja sama dalam penyediaan pintu baja Fortress untuk… Read More

7 hours ago