Jakarta – Dana Moneter Internasional atau IMF lagi-lagi memangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,8% pada 2023, atau turun dari dari 2022 yang sebesar 3,4%. Seperti dikutip dari laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru, IMF juga memproyeksikan bahwa pada 2024 mendatang ekonomi akan membaik dengan proyeksi pertumbuhan 3%.
Beberapa hal menjadi faktor pendorong penurunan pertumbuhan, diantaranya perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut, lonjakan inflasi dan melambatnya perdagangan global. Hal ini memberi signal ancaman resesi bagi sejumlah negara di dunia utamanya, AS dan Eropa. Tidak hanya IMF, Lembaga rating dunia, Fitch Rating dan Moody’s Analytic, bahkan Bank Dunia (World Bank) pun meproyeksinya adanya penurunan. Namun demikian, proyeksi yang diberikan Bank Dunia masih lebih tinggi yakni sebesar 3% pada 2023.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan untuk “berhati-hati” dengan ancaman resesi, meski disaat yang sama, ia masih tetap optimis dengan ekonomi Indonesia. Pemerintah meyakini, kondisi perekonomian Indonesia dinilai masih kuat menghadapi gejolak ekonomi global yang mengarah pada resesi ekonomi. Hal itu ditopang oleh PDB yang masih positif dimana, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2023 masih mencapai 5,03%. tingkat inflasi yang relatif lebih rendah dibandingkan banyak negara lain dan cadangan devisa yang cukup. .
Senada, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan masih optimis dengan kondisi ekonomi nasional. Ia menambahkan, belajar dari sejarah, Indonesia sudah beberapa kali melewati krisis.
Sunarso menjelaskan, dimulai dari 1998, saat Indonesia mengalami krisis yang bersumber dari Kawasan Asia. Saat itu, nilai tukar melemah lebih dari 500% dari Rp2.500 menjadi Rp16.000 dan berdampak multidimensi, mulai dari pasar keuangan, ekonomi, bahkan sosial dan politik.
Pada 2008, dimana sumber krisis berasal dari Amerika dan Eropa, nilai tukar melemah 13% dari Rp9.060 menjadi Rp10.208 dan berdampak hanya pada pasar keuangan dan global. Dilanjutkan pada 2013, dimana sumber krisis berasal dari Eropa dan Emerging Market, yang berdampak pada pelemahan nilai tukar sebesar 26% dari Rp9.368 menjadi RpRp12.170 dan menyebabkan gejolak nilai tukar, suku bunga serta inflasi. Kemudian pada 2020 dimana krisis terjadi hampir merata di seluruh dunia karena terjadinya pandemic Covid-19 yang menyebabkan pelemahan nilai tukar sebesar 2,3% dari Rp13.800 menjadi Rp14.120 dan berdampak pada kesehatan, pasar keuangan dan ekonomi, supply chain serta daya beli masyarakat. Pada 2020, sektor UMKM yang terbukti paling bertahan pada kondisi krisis pun bahkan ikut terkena imbasnya.
Menurut Sunarso, dari situ dapat dilihat bahwa seharusnya Indonesia sudah teruji pada kondisi krisis, dan sudah punya formula dalam menghadapi krisis. “Saat ini Indonesia beruntung karena jauh dari epicentrum krisis, yang perlu dikhawatirkan adalah jika sumber krisis deket dengan kita, itu agak bahaya” tambahnya dalam Acara Silaturahmi BRI Bersama Pemimpin Redaksi Media pada Kamis, 11 Mei 2023.
Menurut Analisa BRI, resesi akan terjadi jika peluang resesi mencapai diatas 20%. Dan Menurut hitungan saat ini, peluang terjadinya resesi masih dikisaran 2-3%, yang artinya kecil kemungkinan terjadi resesi yang berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Itulah mengapa Sunarso mengaku masih optimis dengan kondisi ekonomi Indonesia, apalagi dengan adanya driver dari Pemilu di tahun depan, meski ia berpesan agar tetap untuk berhati-hati.
Lalu bagaimana sikap BRI dalam menghadapi ancaman resesi? Sunarso mengatakan ada 3 hal yang menjadi concern, yakni liquidity, sustainability dan profitability. Ia menyebut ketiga hal ini menjadi penting. Namun jika kondisi semakin buruk, dan harus memilih, ada 2 hal yang akan menjadi proritasnya, yakni liquidity dan sustainability. “Karena tahun ini BRI tetap optimis, maka kita akan fokus pada 3 hal itu” ungkapnya.
Hingga triwulan I 2023, BRI mencetak laba bersih konsolidasi sebesar Rp15,56 triliun atau tumbuh 27,,4% secara year on year (yoy). Penghimpunan Dana Pihak Ketiga tumbuh 11,45% menjadi Rp1.255,45 trililun dan penyaluran kredit secara konsolidasi mencapai Rp1.180,12 triliun dengan NPL yang terjaga di level 2,86%. Pada periode tersebut, aset BRI tercatat tumbuh sebesar 11,66% menjadi Rp1.822,97 triliun. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More