MASA berpuasa industri multifinance belum berakhir. Perusahaan pembiayaan atau multifinance yang bisa mencetak laba namun modalnya cekak, pemiliknya harus menahan diri untuk tidak menarik dividen. Sedangkan perusahaan pembiayaan yang merugi dan modalnya di bawah ketentuan minimum harus segera menambah modal, baik dari kantong sendiri maupun investor strategis. Sebab, perusahaan pembiayaan diwajibkan memenuhi modal minimum Rp100 miliar pada akhir 2019, sebagaimana ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 29/POJK.05/2014. Tahapan-tahapan permodalan minimum pun sudah dilalui, yaitu memenuhi modal sendiri minimum Rp60 miliar pada 2017 dan minimum Rp80 miliar pada akhir 2018.
Kenyataannya, tak semua perusahaan pembiayaan mampu memenuhi tahapan modal minimum tersebut dan OJK seperti masih membiarkan mereka melenggang bebas. Menurut Biro Riset Infobank (birI), ada sekitar 40 perusahaan pembiayaan yang modalnya belum mencapai Rp80 miliar pada akhir tahun lalu. Sebanyak 33 perusahaan pembiayaan harus bekerja keras memenuhi modal minimum Rp100 miliar sampai dengan akhir tahun ini. Seorang praktisi di perusahaan multifinance mengatakan, dengan perekonomian yang sedang lesu bagaimana memproduktifkan modal yang ada saja tidak gampang. “Yang seharusnya dilakukan OJK adalah adanya pengawasan yang independen, karena terkuaknya praktik yang melanggar seperti multiple financing, kami ikut kena apalagi memberi warning kepada bank untuk tidak menyalurkan kredit ke multifinance,” keluhnya kepada Infobank, beberapa bulan lalu.
Di tengah kelesuan pasar, industri multifinance masih menjanjikan keuntungan yang menarik, terutama bagi perusahaan pembiayaan yang mampu berkompetisi. Tahun lalu industri multifinance yang mencetak pertumbuhan pembiayaan 5,17% menjadi Rp436,27 triliun berhasil membukukan kenaikan laba 20,80% menjadi Rp16,03 triliun. Dari sisi rentabilitasnya pun lumayan dilihat dari return on assets (ROA) 4,34% dan return on equity (ROE) 13,87%. Sejumlah perusahaan multifinance berhasil mencetak profit jauh lebih ciamik daripada capaian industrinya, misalnya BCA Finance yang mencatat ROA 19,32% dan ROE 36,25%.
Hanya memang, kemampuan perusahaan-perusahaan multifinance mencetak kinerja positif tidak merata. Ada yang tumbuh dan profit-nya ciamik, tapi ada yang remuk dan merugi. Menurut Biro Riset Infobank, terdapat sekitar 45 perusahaan pembiayaan yang merugi pada 2018, dan belasan di antaranya sudah menderita kerugian sejak 2016, bahkan beberapa perusahaan di antaranya sudah panas dingin karena mengalami kerugian empat tahun berturut-turut seperti sejak 2015 seperti Bringin Indotama Sejahtera Finance, Mitra Adipratama Sejati Finance, dan Asia Multidana yang sempat terkena sanksi pembatasan kegiatan usaha (PKU) sebelum hukuman tersebut dicabut Oktober 2018.
Lalu bagaimana masa depan 45 perusahaan pembiayaan yang tahun lalu merugi, dan belasan di antaranya sudah menderita kerugian tiga tahun berturut-turut? Bagaimana nasib kreditur di 16 perusahaan multifinance yang dicabut izinnya sejak 2017? Bagaimana kinerja industri multifinance di 2019? Semuanya diulas tuntas di Infobank edisi Agustus 2019. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More