Mirza mengungkapkan, BI sudah melakukan dua kali operasi moneter pada Jumat pagi, karena melihat kurs rupiah hingga Jumat siang sudah mencapai level psikologis Rp13.700 per dolalr AS. Nilai itu, kata Mirza, tidak sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.
Menurutnya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia hingga awal November 2016 ini justru dalam keadaan baik dan stabil. Indikatornya, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 sebesar 5,02%, atau terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina.
Sementara neraca transaksi berjalan triwulan III 2016 juga membaik, dengan penurunan defisit menjadi 1,83% dari Produk Domestik Bruto. Begitu juga dengan neraca pembayaran Indonesia yang mengalami kenaikan surplus menjadi US$5,7 miliar pada triwulan III-2016 dari triwulan sebelunya sebesar US$2,2 miliar.
“Jadi tidak sesuai fundamental. Pasar itu kalau sudah naik banyak, terus ada analisis negatif supaya punya alasan untuk jual. Saya kan bekas orang pasar saya tahu analisis seperti itu. Kalau harga sudah turun banyak, baru nanti dibuat alasan bagus banget, pasar itu begitu,” tutup Mirza. (*) (Baca juga : Efek Donald Trump, Pelaku Pasar Cenderung Wait and See)
Page: 1 2
Jakarta – PT Bank Ina Perdana Tbk (Bank INA) menjalin kerja sama strategis dengan PT… Read More
Jakarta - Serangan siber bisa datang kapan saja dan di mana saja. Pelaku usaha di… Read More
Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan overseas financing kepada perusahaan luar negeri dengan memberikan fasilitas Term… Read More
Jakarta – Harga bitcoin (BTC) mencetak rekor tertinggi sepanjang masa atau all time high (ATH)… Read More
Jakarta - Bank Mandiri terus memperkuat komitmen dalam mengurangi jejak karbon dari kegiatan operasionalnya, salah… Read More
Jakarta – PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) mendukung program pemerintah terkait kebijakan gizi dalam… Read More