Fluktuasi nilai tukar Rupiah sangat terpengaruh faktor eksternal. Ria Martati
Jakarta– -Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan, kurs Rupiah dipengaruhi masalah fundamental dan sentimen.
Namun saat ini, menurutnya kondisi nilai tukar Rupiah tidak mencerminkan kondisi fundamental. Pasalnya, fundamental ekonomi, diakuinya sangat baik mengingat ada surplus neraca perdagangan dari realisasi nilai ekspor lebih tinggi dibanding impor.
“Harusnya kalau ekspor tinggi, kurs Rupiah terapresiasi, tapi ini masih melemah karena ada defisit neraca jasa karena repatriasi dan logistik asing,” kata dia dalam acara CORE 2015 Mid-Year Review di Graha Sucofindo, Jakarta, Selasa, 28 Juli 2015.
Menurutnya, saat ini memang sedang terjadi fenomena super Dolar, hal itu ditunjukkan dengan penguatan kurs Dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia secara signifikan sejak enam atau sembilan bulan ini. Luky mengklaim depresiasi Rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang Turki dan Brazil. Sementara dalam beberapa hari terakhir menurutnya, investor memang nervous menghadapi rapat lembaga moneter Amerika Serikat The Federal Reserve.
“Tanggal 28-29 Juli ada meeting reguler FOMC dari Bank Sentral AS. Investor bertanya-tanya kapan kepastian suku bunga acuan AS dinaikkan,” kata Luky.
Senada, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Hendri Saparini menilai depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen ketimbang karena faktor fundamental ekonomi.
Utamanya dipengaruhi rencana bank sentral AS untuk menaikkan suku bunganya. Sehingga, saat ada sedikit isu dan gejolak di global, nilai tukar Rupiah terkena dampaknya dan langsung memburuk.
“Naik turunnya rupiah bukan karena fundamental perbaikan ekonomi Indonesia, tapi lebih dipengaruhi kondisi global dan juga faktor jangka pendek, permintaan dalam negeri, investasi jangka pendek dan sentimen pasar,” kata dia.
Sementara di sisi domestik, upaya perbaikan defisit transaksi berjalan juga dinilainya tidak akan bisa dituntaskan dalam jangka pendek. Upaya mengurangi defisit jasa menurutnya bisa dilakukan dengan memprioritaskan salah satu sektor sebagai sektor unggulan.
“Seperti Thailand yang mengandalkan sektor pariwisata untuk menutup defisit jasa lain. Jadi kebijakan pemerintah harus mengarah ke sana,” papar dia. (*)
@ria_martati
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyalurkan anggaran sebesar Rp265,6 triliun untuk insentif Pajak… Read More
Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) mengumumkan pembagian dividen interim kepada para pemegang saham… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor pada November 2024 sebesar USD19,59 miliar atau turun 10,71… Read More
Jakarta – Emiten pengelola Alfamart, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk mengumumkan penutupan sekitar 400 gerai di sepanjang… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada November 2024 mengalami kontraksi. Tercatat, nilai ekspor November 2024… Read More
Jakarta - PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk atau Bank Jatim (BJTM) telah menggelar… Read More