oleh Rio Christiawan
MASA tanggap darurat yang ditetapkan oleh pemerintah sehubungan dengan adanya pandemi virus Corona (COVID-19) telah menyebabkan gangguan pada banyak aspek kehidupan, termasuk pemenuhan hak dan kewajiban para pihak yang telah terikat pada perjanjian. Saat ini banyak pihak menggunakan alasan COVID-19 atas tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut. Persoalannya, apakah peristiwa COVID-19 dapat dikategorikan force majeur secara hukum untuk setiap transaksi? Jawabannya adalah baik dalam perspektif common law maupun civil law (sebagaimana berlaku di Indonesia) bahwa pandemi COVID-19 tidak serta-merta dapat dikualifikasikan force majeur.
Definisi force majeur dalam sistem hukum common law sebagaimana disebutkan dalam Black’s Law Dictionaryadalah “the parties in the event that a part of the contract cannot be performed due to cases which are outside the control of the parties and could not be avoided by exercise of due care”. Definisi force majeur lainnya dalam sistem hukum common law adalah sebagaimana dituliskan Andreas Lowenfield dalam artikel berjudul “Some Reflection on Transnational Discovery” yang dimuat dalam Journal of Comparative Business and Capital Market,Vol 8, tahun 1996. Andreas mendefinisikan force majeur sebagai risiko akibat kerusuhan, ketegangan, adanya perubahan maupun adanya kejadian lainnya yang tidak dapat diperkirakan.
Wiliam Fox dalam bukunya, International Commercial Agreements, menyempurnakan pendapat Andreas Lowenfield tersebut dengan menambahkan “natural disaster and pandemic” serta segala sesuatu yang terkualifikasi sebagai act of good. Sedangkan di dalam sistem hukum civil law, force majeur didefinisikan sebagai keadaan memaksa. Di lain pihak, Subekti mendefinisikan keadaan memaksa menurut KUH Perdata adalah suatu keadaan di luar kehendak para pihak yang menyebabkan tidak dapat terlaksananya perjanjian. KUH Perdata sendiri mengatur kualifikasi force majeur dan keadaan memaksa dalam 1243 – 1245 KUH Perdata.
Artinya jika mengacu pada pengertian force majeur dalam sistem hukum common law dan civil law sebagaimana diuraikan di atas, maka COVID-19 merupakan force majeur tetapi hal tersebut hanya dapat dikualifikasikan pada pemenuhan perjanjian yang terhambat karena adanya pandemi COVID-19. Jika sifat pemenuhan perjanjian tidak terkait dengan COVID-19, maka ketentuan force majeur tidak berlaku.
Upaya Terbaik Versus Iktikad Baik
Letak perbedaan definisi force majeur pada sistem hukum common law dan sistem hukum civil law adalah, pada sistem hukum common law salah satu esensi force majeur adalah kejadian yang tidak dapat diperkirakan sehingga dimaknai sebagai act of good. Dalam sistem hukum common law, untuk dapat dikualifikasikan sebagai act of goodharus terpenuhinya unsur best effort (upaya terbaik). Artinya tidak terpenuhinya kewajiban dalam perjanjian tersebut bukan semata-mata adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeur, tetapi para pihak telah mengerahkan best effort, yakni upaya terbaik agar pemenuhan kewajiban dalam perjanjian dapat terpenuhi.
Jika mengacu pada pemahaman sistem hukum common law di atas, maka adanya COVID-19 belum serta-merta dikategorikan force majeur. Namun, jika para pihak telah mengerahkan upaya terbaik tetapi kewajiban akibat perjanjian tetap tidak dapat terpenuhi sebagai akibat dari adanya pandemi COVID-19, maka kondisi tersebut baru dikategorikan sebagai force majeur. Artinya guna terpenuhi definisi force majeur dalam sistem hukum common law harus dipenuhi dua hal, yakni adanya kondisi yang terkualifikasi sebagai force majeur dan para pihak telah mengerahkan upaya terbaiknya untuk terlaksananya perjanjian meskipun gagal.
Jadi, dalam sistem hukum common law, yang dimaksud sebagai act of good adalah adanya peristiwa yang terkualifikasi sebagai force majeur dan terpenuhinya unsur upaya terbaik (best effort). Jadi, dalam sistem hukum common law, force majeur adalah peristiwa yang berlaku umum tetapi belum tentu serta-merta menghalangi pemenuhan perjanjian jika para pihak menggunakan ukuran upaya terbaik. Sedangkan act of good adalah kondisi tidak terpenuhinya perjanjian, meskipun para pihak telah melakukan upaya terbaik dalam kondisi yang terkualifikasi force majeur.
Dalam perspektif sistem hukum common law, adanya pandemi COVID-19 jelas merupakan force majeur tetapi belum tentu menghalangi pemenuhan perjanjian. Kondisi force majeur, dalam hal ini COVID-19 adalah ukuran objektif, sedangkan pemenuhan ukuran terbaik (best effort) merupakan ukuran subjektif. Jadi, COVID-19 tidak serta-merta menghalangi prestasi para pihak dengan ukuran terbaik. Sebaliknya, meskipun dengan upaya dan/atau ukuran terbaik para pihak tetap gagal, maka kondisi tersebut dikualifikasikan sebagai act of good yang merupakan dasar pembenar bagi para pihak yang gagal memenuhi prestasinya dalam kondisi yang terkualifikasi force majeur.
Sebaliknya, sistem hukum civil law (sebagaimana dianut di Indonesia) tidak mengenal ukuran objektif dan ukuran subjektif, mengingat dalam sistem hukum civil law tidak dikenal terminologi act of good. Artinya force majeurdalam KUH Perdata hanya didefinisikan sebagai kondisi yang memaksa para pihak sehingga pemenuhan perjanjian tidak terlaksana. Artinya dalam sistem hukum civil law disebut sebagai force majeur adalah apabila para pihak telah menunjukkan iktikad baiknya tetapi ada kondisi di luar perkiraan para pihak sehingga para pihak gagal memenuhi kewajibannya, maka para pihak telah memiliki pembenar.
Dalam sistem hukum civil law atas gagalnya pemenuhan perjanjian sebagai akibat adanya kondisi yang terkualifikasi sebagai force majeur, maka para pihak harus membuktikan adanya iktikad baik untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian meskipun terhalang oleh kondisi force majeur. Artinya para pihak dikatakan tidak ingkar janji jika para pihak telah melaksanakan kewajibannya dengan iktikad baik meskipun pada akhirnya gagal memenuhi perjanjian.
Irisan antara sistem hukum common law dan civil law adalah ada pada esensi ukuran terbaik dan iktikad baik pada akhirnya melahirkan harmonisasi pemahaman force majeur dalam sistem hukum common law dan sistem hukum civil law. Sebagaimana dijelaskan John D. Calamary and Joseph Perillo (2006) dalam bukunya, The Law of Contract, saat ini ada kesamaan ukuran antara sistem hukum common law dan sistem hukum civil law terkait dengan force majeur, yakni physical impossibility, frustration of purpose and commercial impracticability.
Artinya, kini, terkait dengan pandemi COVID-19 yang terjadi pada lebih dari 181 negara dengan berbagai sistem hukum, maka para pihak dapat dikatakan memiliki pembenar atas tidak terpenuhinya perjanjian apabila terpenuhi tiga unsur di atas. Physical impossibility, kondisi yang secara objektif menghalangi para pihak untuk berprestasi, maksud dari frustration of purpose and commercial impracticability atas kondisi objektif yang menghalangi tersebut para pihak meskipun memiliki iktikad baik tetap tidak dapat memenuhi kewajiban komersialnya. (*)
Penulis adalah dosen hukum Universitas Prasetiya Mulya
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More