Moneter dan Fiskal

Pelajaran dari Krisis Inflasi Hingga Krisis Keuangan Global

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED)

APAKAH saat ini dunia sedang menuju krisis keuangan lagi, sementara krisis inflasi masih bercokol? Perkembangan terbaru telah memperburuk situasi bagi bank-bank sentral di tengah kondisi yang lebih menantang.

Di saat inflasi menyeluruh terlihat lebih persisten dari yang mereka pikirkan, pada saat yang sama bank-bank sentral menghadapi masalah depresiasi mata uang dan komplikasi kebijakan fiskal dan moneter yang countercyclical untuk menopang pertumbuhan meskipun berdampak inflatoir. Semua itu telah meningkatkan ancaman bahwa inflasi akan melaju di luar kendali dan berbalik membahayakan perekonomian.

Menghadapi situasi seperti itu, respons bank sentral yang secara best practices memungkinkan adalah menaikkan suku bunga acuan lebih agresif. Kini banyak pelaku investasi portofolio telah membahas gejolak di pasar obligasi dan implikasinya karena perubahan stance kebijakan moneter di berbagai negara.

Salah satu bank sentral di Eropa, yakni bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), telah memberi peringatan keras bahwa disfungsi di pasar obligasi telah menimbulkan “risiko material” bagi ekonomi Inggris. Maklum, kenaikan suku bunga komersial dan suku bunga pasar di Inggris telah mengubah orientasi investasi portofolio para pemilik modal ke instrumen nonobligasi yang lebih atraktif dan menguntungkan.

Hal itu menimbulkan pertanyaan lebih mendasar tentang apakah kenaikan tajam terkait biaya pinjaman (lending rate), utamanya pinjaman hipotek atau mortgage, berikut penurunan harga aset terkait, akan memicu krisis keuangan di Inggris dan berpotensi merembet (contagion effects) ke kawasan dan negara lainnya.

Di sinilah bank sentral sebagai otoritas moneter dan perbankan di negara yang menganut sistem bank sentral sebagai otoritas sektor perbankan harus cermat dan taktis melakukan asesmen atau surveillance, baik terhadap individual bank maupun industri perbankan, untuk menakar tingkat kesehatannya yang diukur dari rasio-rasio keuangan utama. Ketepatan dan kecepatan penanganan permasalahan struktural individual bank maupun secara industri akan mencegah timbulnya krisis keuangan lebih lanjut.

The Lender of The Last Resort

Sebagai ilustrasi, ketika individual bank dihadapkan pada potensi krisis likuiditas dengan spesifikasi yang boleh jadi berbeda bagi setiap bank, maka resolusinya hampir selalu melibatkan peran bank sentral yang bertindak sebagai pemberi pinjaman pilihan terakhir (the lender of the last resort). Kondisi ini disebabkan keterbatasaan intervensi pemilik dan/atau pemegang saham bank dalam menguatkan likuiditas bank.

Secara teoretis dan empiris, dalam peran ini bank sentral dimungkinkan memberikan bantuan pendanaan jangka pendek bagi bank yang kesulitan likuiditas. Untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank sentral, pada umumnya bank harus mampu memenuhi persyaratan tertentu semisal menyediakan aset berkualitas tinggi sebagai jaminan atau agunan.

Bank sentral juga memiliki beberapa instrumen kebijakan untuk melakukan langkah lainnya, di antaranya lelang repo, penyediaan fasilitas pinjaman melalui discount window, dan pembelian aset langsung. Maka, sekali lagi, kecepatan dan ketepatan tindakan bank sentral dalam membantu pemenuhan kecukupan likuiditas bank akan menimbulkan efek terbatas dan sifatnya nonsistemik.

Sebaliknya, krisis solvabilitas menimbulkan ancaman jauh lebih serius bagi perekonomian. Ini terjadi ketika nilai aset institusi keuangan jatuh dan berada di bawah nilai kewajibannya, lantaran terkena risiko pasar sehingga harganya terdiskon oleh ketentuan marked to market.

Lebih lanjut, institusi keuangan tersebut menciptakan kerugian finansial yang kemudian harus ditanggung oleh para pemangku kepentingan sebagai bagian dari sebuah sistem. Jika ini terjadi dalam skala besar, maka dapat merusak seluruh sistem intermediasi keuangan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kontraksi tajam dalam perekonomian.

Krisis solvabilitas yang besar dan sistemis biasanya mengharuskan pemerintah untuk menggunakan anggaran fiskalnya guna menyerap kerugian dan melakukan rekapitalisasi atau restrukturisasi kepada institusi keuangan yang bermasalah supaya stabilitas sistem keuangan tetap dapat terjaga.

Regulasi dan pemantauan yang lebih ketat setelah krisis keuangan global pada 2008 lalu setidaknya menyebabkan bank-bank komersial sekarang berada di posisi yang relatif lebih baik untuk menahan penurunan harga aset dan karenanya kurang rentan terhadap krisis solvabilitas.

Sebagaimana diketahui, pada waktu itu Lehman Brothers, salah satu lembaga keuangan investasi  terbesar di Amerika Serikat (AS), menjadi korban paling terkenal dari krisis keuangan, yang menyebarkan gelombang yang mengejutkan pada perekonomian dunia. Kasus kebangkrutan terbesar di AS ini mengungkap seberapa besar pasar keuangan waktu itu bergantung pada aset berkualitas buruk, yang disebut dengan subprime mortgage dan turunannya.

Masalah ini terjadi karena industri mortgage memberikan dana kepada para peminjam (debitur) yang sebenarnya tidak eligible untuk mampu membayar. Lantas, terjadi peningkatan kebangkrutan yang memicu ambruknya sejumlah lembaga keuangan sebagai kreditur atau lender. Di AS dan Eropa, pemerintah segera menyelamatkan lembaga keuangan bermasalah dengan menggunakan instrumen pajak yang dibayarkan masyarakat.

Fenomena Shadow Banking 

Pada pertemuan tingkat tinggi negara-negara G20, yakni negara-negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, menyadari perlunya mendukung ekonomi dunia dan menyepakati serangkaian kebijakan untuk mendorong pertumbuhan. Sejalan dengan itu, dari waktu ke waktu bank sentral dan/atau otoritas keuangan di G20 secara intensif terus melakukan pemantauan dan asesmen terhadap perkembangan industri keuangan.

Mereka menyadari bahwa sumber risiko keuangan biasanya tidak berwujud nyata sehingga sulit diantisipasi secara dini. Saat ini, salah satu sumber risiko baru yang pertama adalah shadow banking, yang menurut definisi bersifat “bayangan” sehingga sulit dipantau. Maraknya praktik shadow banking beberapa waktu lalu di Tiongkok yang nyaris tidak tersentuh regulasi dan hampir menghancurkan sistem keuangan negara tersebut menjadi bukti sahih perlunya pengaturan dan pengawasan praktik shadow banking.

Sebelumnya Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) telah menandai risiko di beberapa sektor, di antaranya ekuitas swasta, properti komersial, dan dana investasi yang bersifat terbuka. Di sini risiko terbesar terletak pada area di mana aset tidak likuid dan sulit untuk dinilai.

Sumber risiko kedua terletak pada serangkaian keadaan yang tidak biasa (abnormal) saat ini. Sebelum siklus pengetatan baru-baru ini dimulai, suku bunga kebijakan di AS (Fed Fund Rate atau FFR) sebesar 0,00%-0,25%;  sebesar 0,1% di Inggris, dan sebesar -0,5% di zona Euro. Periode suku bunga ultra-rendah ini mungkin pada awalnya dibenarkan karena kebutuhan untuk memberikan dukungan darurat kepada ekonomi pada puncak pandemi, tetapi salah satu konsekuensinya adalah terjadi lonjakan harga aset secara menyeluruh.

Sekarang menjelang berakhirnya pandemi, meskipun perekonomian dunia masih terpapar oleh efek negatif agresi militer Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu, namun level suku bunga kebijakan telah naik tajam dari sebelumnya pada level sangat rendah, sehingga membuka risiko terjadinya penurunan harga aset yang besar dan simultan.

Langkah bank-bank sentral yang mengubah orientasi kebijakan dari longgar ke ketat secara drastis ini berpotensi mengguncang perekonomian di sejumlah negara yang tidak siap siaga atau antisipatif terhadap perubahan stance kebijakan tersebut.

Sumber risiko ketiga terletak pada apa yang telah terjadi di pasar mata uang, yakni super strong US dollar. Secara khusus, kekuatan dolar AS mungkin telah menyebabkan masalah bagi perusahaan yang telah meminjam dalam dolar AS dan tidak memiliki aliran pendapatan dolar AS atau lindung nilai yang sesuai. Ini pada gilirannya dapat menciptakan potensi kerugian bagi lembaga keuangan yang telah meminjamkan dananya ke perusahaan tersebut. Ini lantaran potensi terjadinya lonjakan pinjaman bermasalah sangat terbuka yang memaksa bank kreditur menambah porsi provisi atau pencadangannya.

Para pengambil kebijakan di berbagai negara harus cermat memantau perkembangan kinerja sektor keuangan dan sektor riil sehingga mampu mendeteksi secara dini adanya potensi default risks (risiko gagal bayar) oleh debitur. Krisis inflasi yang sulit dikendalikan hanya melalui instrumen moneter ini berpotensi menjalar ke krisis keuangan jika kebijakan yang forward looking dan pre-emptive tidak disiapkan secara tepat waktu, tepat takaran, dan tepat sasaran.

Menjaga kepercayaan pasar juga penting untuk dilakukan para pengambil kebijakan untuk menghindari adanya tindakan-tindakan spekulatif yang kontraproduktif bagi upaya stabilisasi ekonomi dan keuangan. Penting untuk dihindarkan adanya kepanikan di pasar dan masyarakat melalui komunikasi yang efektif dan informatif.

Pelajaran dari Peraih Hadiah Nobel 2022

Royal Swedish Academy of Sciences pada 11 Oktober 2022 lalu telah mengumumkan bahwa tiga ekonom yang berbasis di AS memenangkan Hadiah Nobel Memorial 2022 dalam Ilmu Ekonomi “untuk penelitian tentang bank dan krisis keuangan”.

Tiga ekonom yang memenangkan hadiah Nobel tersebut adalah Ben Bernanke, mantan Gubernur Bank Sentral AS, The Federal Reserve, periode 2006-2014, yang kini bergabung dengan Brookings Institution di Washington D.C.; Douglas Diamond dari University of Chicago; dan Philip Dybvig dari Washington University di St. Louis, Missouri.

Para pemenang tahun ini “telah secara signifikan meningkatkan pemahaman publik tentang peran bank dalam perekonomian, terutama selama krisis keuangan. Temuan penting dalam penelitian mereka adalah mengapa menghindari runtuhnya bank sangat penting,” demikian pernyataan akademi itu.

Hadiah Nobel Memorial dalam Ilmu Ekonomi tidak termasuk dalam wasiat Alfred Nobel. Hadiah ini disediakan oleh Bank Sentral Swedia pada 1968 untuk menandai peringatan 300 tahun bank tersebut. Hadiah itu secara resmi disebut Sveriges Riksbank Prize dalam Ilmu Ekonomi untuk mengenang Alfred Nobel. Nobel Ekonomi pertama kali diberikan pada 1969 dan sejak itu telah didanai oleh bank tersebut.

Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia mengakui kontribusi tiga penerima penghargaan Nobel tahun ini, yang dinilai telah mengubah pemahaman tentang krisis keuangan. Intinya, riset ketiganya memberikan pelajaran berharga tentang kiat menghindari krisis serius dan penyediaan dana talangan yang mahal. Ketiga ekonom populer itu telah mengajarkan dasar pemahaman modern tentang urgensi kebutuhan adanya bank, mengapa bank-bank menjadi rentan dan solusi jitu apa yang harus dilakukan untuk menyehatkannya kembali. Itulah setidaknya pernyataan ekonom Universitas Stockholm, John Hassler, sekaligus anggota komite penghargaan Nobel. Komite juga mencatat bahwa meskipun krisis keuangan memiliki konsekuensi besar, namun tidak menyebabkan depresi besar seperti di dekade 1930-an.

Bernanke pun disambut dengan sejumlah ucapan selamat dari banyak ekonom dunia, termasuk Olivier Blanchard, mantan kepala ekonom di IMF, yang mengapresiasi kontribusinya untuk pertumbuhan global.  Menurutnya, tanpa tindakan tepat dan benar Bernanke ketika krisis keuangan datang, maka produk domestik bruto (PDB) global dan AS akan runtuh lebih parah dari itu.

Ketika krisis keuangan melanda, Bernanke mendorong The Fed campur tangan secara agresif, memangkas suku bunga kebijakan dan membantu mengatur dana talangan dari beberapa bank terbesar AS, sebuah langkah yang secara politis tergolong kontroversial. Langkah yang dia terapkan juga digunakan oleh The Fed dan bank sentral lainnya pada 2020 lalu untuk menstabilkan ekonomi ketika pandemi COVID-19 melanda dan banyak negara melakukan lockdown.

Yang menarik, pada konferensi pers di Washington setelah penghargaan diumumkan, Bernanke mengatakan risiko besar terhadap ekonomi saat ini, seperti krisis energi di Eropa, tampaknya tidak berakar pada sistem keuangan. Namun, dia memperingatkan bahwa jika pemberi pinjaman (lembaga keuangan kreditur) terpengaruh, maka mereka dapat memperburuk situasi. Maklum, Bernanke sendiri sepertinya tidak yakin bahwa perubahan suku bunga kebijakan saat ini akan mampu memengaruhi stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Siap-Siap! Transaksi E-Money dan E-Wallet Terkena PPN 12 Persen, Begini Hitungannya

Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More

2 mins ago

Kemenkraf Proyeksi Tiga Tren Ekonomi Kreatif 2025, Apa Saja?

Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More

12 mins ago

Netflix, Pulsa hingga Tiket Pesawat Bakal Kena PPN 12 Persen, Kecuali Tiket Konser

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More

59 mins ago

Paus Fransiskus Kembali Kecam Serangan Israel di Gaza

Jakarta -  Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More

1 hour ago

IHSG Dibuka Menguat Hampir 1 Persen, Balik Lagi ke Level 7.000

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More

3 hours ago

Memasuki Pekan Natal, Rupiah Berpotensi Menguat Meski Tertekan Kebijakan Kenaikan PPN

Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More

3 hours ago