Expertise

Patriot Bond: “Palak Halus” untuk Pengusaha, Duh!

Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman InfoBank Group

PACEKLIK likuiditas. Nah, di musim kemarau likuiditas, di mana aliran dana mengering dan suku bunga bagai terik yang menyengat, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menghadirkan sebuah proposal melalui pintu belakang. Namanya Patriot Bond. Sebuah surat utang yang diterbitkan oleh BPI Danantara dan dijajakan secara private placement khusus kepada para pengusaha nasional, dengan narasi membela tanah air. Targetnya Rp50 triliun.

Namun, bila dicermati spesifikasinya, instrumen ini ibarat menawarkan segelas “air keruh” dengan harga yang sama dengan air jernih di tengah dahaga. Yang mengejutkan, yield-nya disebut-sekat 2 persen di bawah BI Rate 5 persen, sehingga hanya menyentuh level 3 persen.

Angka yang sangat janggal jika dibandingkan dengan Surat Berharga Nasional (SBN) yang sekitar 6 persen atau deposito bank yang 4-5 persen. Lalu, apa sesungguhnya yang terjadi? Apakah ini bentuk halus dari “penodongan” struktural melalui private placement? Ataukah sebuah skema penggalangan dana yang keliru alamat?

Sejumlah kalangan keuangan yang dihubungi Infobank, ini bak sebuah tawaran yang tak masuk akal dalam logika pasar. Sebab, dalam iklim bisnis yang sehat, seorang pengusaha akan memutar dana mereka pada instrumen yang memberikan return optimal.  

Simak! Dana yang diendapkan di SBN memberi hasil 6-7 persen, di deposito sekitar 4-5 persen (premium rate) untuk simpanan besar di atas Rp5 miliar. Bahkan, untuk bisnis yang baik, reinvestasi ke usaha sendiri bisa memberikan yield jauh lebih tinggi.

Lalu, datanglah Patriot Bond dengan yield 2 persen. Ini adalah sebuah tawaran yang tidak masuk akal secara finansial. Logikanya, tidak ada pengusaha yang rasional akan dengan sukarela memindahkan dananya dari instrumen yang lebih menguntungkan ke instrumen yang lebih tidak menguntungkan, kecuali ada tekanan non-finansial yang sangat besar.

Itulah yang menimbulkan tudingan “penodongan halus”. Isyaratnya mungkin halus: dari “imbauan” pemerintah, janji kemudahan perizinan di lain waktu, atau tekanan struktural yang tak terucap. Pengusaha dihadapkan pada pilihan: kehilangan keuntungan 2-3 persen, atau berisiko kehilangan “nikmat” lain yang dikendalikan oleh negara.

Pertanyaan apakah Patriot Bond akan menjadi pesaing bagi Kementerian Keuangan yang rajin menerbitkan SBN adalah pertanyaan yang salah kaprah. Patriot Bond bukanlah pesaing, melainkan sebuah kegagalan konsep yang justru mengacaukan pasar.

Sementara SBN dijual dengan prinsip pasar: yield-nya ditentukan oleh permintaan dan penawaran, dan harus kompetitif untuk menarik investor global dan domestik. Patriot Bond, dengan yield rendah paksaan, mengirim sinyal yang berbahaya: bahwa pemerintah bisa mengabaikan mekanisme pasar dan memaksa dana domestik dengan iming-iming non-finansial.

Alih-alih bersaing, Patriot Bond justru “mempermalukan” SBN. Hal ini seperti menunjukkan bahwa pemerintah tidak percaya dengan produk keuangannya sendiri di pasar terbuka, sehingga harus menciptakan skema khusus berbasis tekanan.

Apa dampaknnya? Dalam diskusi terbatas Infobank, paling tidak ada tiga dampak dan akan memperparah musim “kemarau” likuiditas. Tidak hanya itu. Satu, dampak moneter (BI). Boleh jadi kebijakan ini adalah pukulan telak bagi kredibilitas otoritas moneter. Lihat saja kebijakan BI menurunkan suku bunga menjadi 5 persen untuk menjaga mendorong perekonomian, namun tetap untuk menjaga inflasi.

Sementara itu, BPI Danantara justru menjual utang dengan yield 2 persen, jauh di bawah suku bunga BI. Ini adalah kebijakan yang berjalan beriringan tetapi saling bertolak belakang. Bahkan, bagai dua ekor kuda yang menarik kereta ke arah yang berbeda. Sinyal moneter menjadi kacau, dan upaya BI untuk mendorong kredit, menjaga stabilitas nilai tukar, dan inflasi bisa buyar.

Dua, dampak terhadap perbankan. Bank-bank akan kehilangan sumber dana murah dari para pengusaha. Deposito korporasi yang seharusnya mengisi pundi-pundi bank untuk kemudian disalurkan sebagai kredit, justru disedot paksa oleh negara. Akibatnya, likuiditas perbankan semakin ketat, suku bunga kredit bisa terdorong naik, dan dunia usaha kembali menjadi korban—kali ini karena kesulitan mengakses pembiayaan.

Tiga, dampak pada ekonomi riil. Dana yang ditarik paksa dari para pengusaha untuk membeli Patriot Bond adalah dana yang seharusnya bisa diputar untuk ekspansi, membuka lapangan kerja, membayar supplier. Skema ini memindahkan dana dari sektor produktif (riil) ke sektor konsumtif (menambal keuangan Danantara). Ini memperlambat mesin ekonomi riil di tengah kemarau.

Patriot Bond yang dikaitkan dengan patriotisme untuk membangun lingkungan (proyek pengolahan sampah) dan energi ramah lingkungan adalah ide baik. Harusnya proyek ini akan mempunyai daya pesona, tanpa yield 2 persen pun harusnya akan dikerubuti investor. Bukan lewat cara private placement ke pengusaha nasional.

Padahal patriotisme sejati dari seorang pengusaha adalah membangun usaha yang kokoh, membayar pajak tepat waktu, dan menciptakan lapangan kerja. Bukan dengan mengorbankan kesehatan perusahaannya untuk membeli surat utang berimbal rendah.

Patriotisme sejati dari sebuah pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang adil, predictable, dan bebas dari intervensi yang distortif. Bukan dengan “memeras” pelaku usahanya sendiri di tengah kesulitan. Mengajak pengusaha berkorban dengan skema yang tidak fair ibarat meminta petani menanam di musim kemarau tanpa irigasi. Hasilnya akan “gagal panen”.

Nah, daripada memaksakan “hujan buatan” Patriot Bond yang hanya membasahi permukaan, lebih baik pemerintah membenahi tadah hujan ekonomi nasional. Semisal, perbaiki tata kelola, pastikan keadilan berusaha, dan jadikan Indonesia tempat yang paling menarik untuk berinvestasi—bukan tempat yang paling mudah untuk dipaksa.

Jangan salahkan pasar, Patriot Bond yang akan diterbitkan Danantara yang belum punya laporan keuangan audit dan dengan yield 2 persen yang jujur ini sebuah “palak halus” bagi pengusaha. Tentu, pengusaha nasional tak akan berkutik, karena bisa jadi jika tak mau, maka akan dianggap “tidak patriot”, sehingga dengan mudah ditekan “kenikmatanya” dalam bisnis yang lain.

Namun cara dipaksa membeli Patriot Bond masih “lebih halus”, membeli bond dengan bunga lebih rendah dari pada cara-cara ide sesat memaksa membeli perusahaan dengan paksa, seperti ide sesat yang dilontarkan seorang lulusan UGM ke Danantara untuk pembelian paksa saham BCA. Tapi, Patriot Bond tetap signal “negatif” bagi dunia usaha. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

4 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

4 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

5 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

6 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

6 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

7 hours ago