Pascaputusan MK tentang Fidusia, Leasing Masih Bisa Tarik Kendaraan

Pascaputusan MK tentang Fidusia, Leasing Masih Bisa Tarik Kendaraan

oleh Eko B Supriyanto

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan objek Jaminan Fidusia bukanlah “kiamat” bagi perusahaan leasing (multifinance). Perusahaan multifinance yang melibatkan bisnis Rp443 triliun dan melibatkan industri sepeda motor dan mobil yang sarat tenaga kerja harus diperkuat. Putusan MK terkait dengan fidusia seolah-olah menegaskan bahwa eksekusi jaminan harus lewat pengadilan. Padahal, leasing masih bisa manarik kendaraan.

Menurut Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), justru keputusan MK ini lebih memperjelas. Putusan MK itu memperjelas Pasal 15 Undang-Undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cedera Janji antara Debitur dan Kreditur. Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan.

Saat ini ada simpang siur di masyarakat pasca-Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia, bahwa seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.

Padahal, sejatinya tidak demikian. Perusahaan leasing masih bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa pengadilan. Keputusan MK itu tidak bisa dibaca sepotong-sepotong. Ada ruang lebar untuk mengeksekusi jaminan debitur macet.

Simak saja bunyi putusan MK, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanprestasi. ”Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya ‘cedera janji’ (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi)”. Begitu bunyi putusan MK.

Putusan MK itu juga menyatakan, mengenai wasprestasi antara pihak debitur dan kreditur harus ada kesepakatan terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanprestasi. Jadi, ada perjanjian sebelumnya, berapa pinjamannya, berapa bunga yang harus dibayar, termasuk jangka waktunya. Juga batas waktu pembayaran angsuran, bagaimana jika tidak membayar angsuran, dan berapa dendanya.

Selama ini bisnis model perusahaan leasing hanya mengandalkan uang muka (down payment/DP) tertentu, dengan jaminan BPKB atas nama debitur. Bayangkan, hanya bermodal uang muka 10% atau lebih kecil, seseorang sudah bisa membawa kendaraan, meski BPKB sebagai jaminan atas nama debitur. Jika terjadi wanprestasi, maka kreditur akan mengeksekusi sebagai pemegang fidusia.

Permasalahan muncul ketika debitur tidak membayar angsuran dan macet. Dan, dalam praktiknya terkadang melibatkan pihak ketiga untuk menarik kendaraan hingga terjadi ekses. Namun, terkadang debitur macet ini sulit dihubungi dan tidak kooperatif dan mempertahankan kendaraannya, padahal dia telah lalai membayar kewajibannya. Ada juga, debitur macet justru minta perlindungan “LSM” agar tidak dikejar pihak ketiga.

Selama ini perusahaan leasing mengklasifikasi empat kategori debitur yang macet: (1) nasabah ada, unit (sepeda motor/mobil) ada; (2) nasabah ada, unit (sepeda motor/mobil) tidak ada; (3) nasabah tidak ada, unit (sepeda motor/mobil) ada; (4) nasabah tidak ada, unit (sepeda motor/mobil) tidak ada. Nah, untuk kategori 2, 3, dan 4 tentu tidak bisa lewat pengadilan, padahal para debitur ini macet dan belum lunas, dan menimbulkan kerugian bagi leasing. Ada unit yang hilang, dijual atau digadaikan.

Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), penyaluran pembiayaan perusahaan multifinance hingga Juni 2019 mencapai Rp463,38 triliun atau tumbuh sekitar 4,47% dari Juni 2018 yang mencapai Rp443,54 triliun. Sebanyak 22% di antaranya disalurkan untuk kendaraan bermotor roda dua dan 41,6% untuk kendaraan roda empat. Sisanya disalurkan untuk barang konsumsi lainnya, barang produktif, infrastruktur, jasa serta piutang usaha.

Untuk aset, total aset perusahaan multifinance di Indonesia tumbuh sebesar 2,77% pada Juni 2019 (year on year/yoy). Total aset pada Juni 2018 tercatat Rp499,3 triliun, sedangkan pada Juni 2019 sebesar Rp513,2 triliun. Non performing financing (NPF) perusahaan multifinance masih terjaga, yaitu pada kisaran 2,75%-2,89%.

Dengan adanya putusan MK soal fidusia ini, perusahaan multifinance sepertinya akan lebih selektif dalam memberikan pembiayaan. Bisa saja DP dinaikkan, lalu manajemen risiko diperketat. Tentu tidak mudah lagi bagi perusahaan multifinance memberikan pembiayaan. Efek positif dari putusan MK tersebut, perusahaan multifinance akan lebih hati-hati. Lebih mempertahankan kualitas, dengan debitur-debitur yang potensial dan risiko yang rendah. Tidak adu jorjoran lagi dan obral DP.

Efek negatifnya, jika terjadi perlambatan multifinance khususnya sektor otomotif juga terkena dampak dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Industri yang berhubungan dengan otomotif akan terkena dampak. Efeknya juga bisa ke sektor perbankan, yang selama ini memberikan kredit. Oleh karena itu, berbagai pihak seyogianya mendukung industri ini. Jangan sampai “pihak-pihak” yang berkepentingan justru membela para debitur sontoloyo, yang tidak membayar utangnya, tapi masih tetap ingin menguasai kendaraannya yang belum lunas dibayar.

Meski pascaputusan MK soal fidusia ini masih bisa menarik kendaraan, pihak leasing akan lebih hati-hati dalam mengeksekusi hak fidusianya. Jadi, putusan MK ini bukan kiamat bagi leasing. Namun, leasing akan lebih selektif agar terhindar dari jebakan debitur sontoloyo. Bayangkan, jika debiturnya sulit dihubungi, kendaraannya tidak ada – mungkin digadaikan atau dijual – masa sih mau ke pengadilan untuk eksekusi.

Dalam jangka pendek, setidaknya MK dapat menyurati seluruh pengadilan yang menyangkut kasus fidusia untuk diberikan penetapan secepatnya. Tidak bertele-tele hanya urusan sepeda motor yang terkadang sudah dipreteli. Atau, jika perlu, amandemen UU fidusia untuk menyesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah ini. Atau, ada baiknya diikutkan dalam “omnibus law” sektor keuangan.

Hal itu dilakukan semata-mata agar iklim usaha penuh dengan kepastian dan market friendly bagi tumbuh kembangnya industri multifinance – yang akan berdampak positif bagi perekonomian. Ingat, industri multifinance tidak berdiri sendiri. Ada perbankan, ada indutri otomotif serta subsektor indutri pendukung yang tak hanya urusan Rp443 triliun yang jadi portofolio sektor otomotif ini.

Jangan biarkan industri keuangan berjuang sendiri. OJK sebagai regulator harus memberi dukungan bagi berkembangnya multifinance ini. Setidaknya tak selalu menyalahkan multifinance jika terjadi sengketa antara debitur macet dan leasing. (*)

Penulis adalah Chairman Infobank Institute

Related Posts

News Update

Top News