Jakarta – Investasi bodong masih terus memakan korban. Bahkan, dari sekian banyak korban investasi bodong, ternyata tidak sedikit yang notabenenya berpendidikan tinggi. Dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi, bukan jaminan kalau tingkat literasi keuangannya sudah baik.
Di tengah maraknya investasi bodong dan juga rendahnya tingkat literasi keuangan, serta minimnya pemahaman tentang investasi yang legal menjadi pintu masuk bagi para pemangsa dalam menawarkan investasi bodongnya. Apalagi secara psikologi, banyak korban itu pada dasarnya tidak bisa menahan diri untuk cepat untung (greedy) atau serakah.
Untuk itu, masyarakat harus semakin waspada hingga menekan sifat greedy jika menerima tawaran imbal hasil menggiurkan yang tidak masuk akal. Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menerbitkan berbagai aturan untuk memangkas investasi bodong. Industri keuangan pun telah melakukan literasi dan edukasi sejalan.
Namun, sebagai target investasi bodong, masyarakat juga perlu meningkatkan kewaspadaan, berhati-hati dengan tawaran berbunga tinggi, dan tau profil risiko diri. “Masyarakat biasanya terjerat investasi bodong karena ada iming-iming, sifat greedy, dan merasa mampu mengelola risiko,” ujar Peneliti Senior Core Indonesia, Etikah Karyani Suwondo dikutip 4 Juni 2023.
Banyaknya masyarakat yang tertipu investasi bodong, kata dia, menandakan bahwa akses masyarakat ke jasa keuangan cukup tinggi (inklusi keuangan tinggi), namun literasi keuangan belum begitu baik dan perlu ditingkatkan. Masyarakat pun harus waspada dengan tawaran bunga yang tinggi, karena semakin tinggi bunga yang ditawarkan maka risikonya pun lebih besar.
“Karena memang tidak dijamin oleh LPS. Ini banyak terjadi pada Lembaga keuangan seperti Bank Digital yang memberikan return (bunga) tinggi di atas Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) LPS. Artinya, kalau bunga mereka diatas TBP LPS maka itu menjadi tidak dijamin LPS dan itu harus disampaikan kepada para nasabah,” ungkap Etikah.
Untuk itu, masyarakat harus jeli dalam memilih investasi. Terutama dalam memperhatikan logo dari regulator jasa keuangan seperti LPS. Pasalnya, banyak Lembaga Keuangan (LK) yang menggunakan logo dan mengatasanamakan LPS. Padahal, LK tersebut merupakan non bank, sehingga jika terjadi masalah, maka dana simpanan tidak mendapat jaminan dari LPS.
Kemudian, biasanya LK tersebut memberikan iming-iming keuntungan yang tinggi dalam waktu singkat dan janji “tanpa risiko”. Hal ini sering terjadi di masyarakat terutama pada konsumen yang cenderung memiliki sifat greedy atau serakah. Lalu, ada juga penyedia investasi yang tidak kredibel. Maka dari itu, pastikan bahwa perusahaan investasi telah terdaftar dan/atau mendapatkan izin dari lembaga yang berwenang seperti OJK.
“Penyedia investasi ilegal biasanya juga tidak memberikan informasi yang jelas atau menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis,” tegasnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat Perbankan Paul Sutaryono pun sependapat. Bahwa maraknya kasus investasi bodong itu disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan (financial literacy) konsumen. Selain itu, tambah dia, hal tersebut juga disebabkan oleh rendahnya habitat membaca (reading habit) konsumen. Sehingga, banyak masyarakat yang memang memiliki inklusi keuangan baik, namun minim literasi keuangan.
“Oleh karena itu, OJK dan bank serta lembaga keuangan non bank wajib terus menerus melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai produk dan jasa perbankan, investasi dan keuangan. Upaya itu amat diharapkan dapat mengerek tingkat literasi keuangan konsumen. Dengan demikian, kasus-kasus investasi bodong dapat ditekan sedemikian rendah,” paparnya.
Ada banyak hal yang harus dpahami dan banyak tantangan yang perlu dihadapi dalam berinvestasi. Apalagi sifat greedy ini sangat melekat sekali pada pelaku investor, tentu saja hal ini menjadi kesempatan bagi penyedia investasi bodong untuk mengelabui. Lalu bagaimana cara mengatasi sifat ‘serakah’ ini. Satu-satunya cara adalah dengan mencari ilmu yang memadai tentang investasi.
Pahami prinsip-prinsip investasi dengan baik. Jika sudah paham prinsip investasi, maka pelaku investasi tidak akan mudah terbawa mindset ‘serakah’ dan tidak akan dikuasai rasa takut. Kemudian pengetahuan yang memadai tentang investasi juga penting. Dalam berinvestasi juga harus lebih tenang dan bijak dalam mengambil keputusan. Dengan demikian sifat ‘serakah’ ini akan hilang dan berinvestasi pun jadi lebih tenang. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More