Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
NO VIRAL, NO JUSTICE. Itulah komentar dari beberapa kalangan bankir. Kasus Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama (Dirut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), memang mengundang simpati. Viral. Profesional dan tak terbukti korupsi, tapi dipaksakan kena pasal merugikan negara. Langkah Presiden Prabowo Subianto memberi rehabilitasi dinilai sudah benar untuk kasus Ira Puspadewi.
Kasus Ira Puspadewi harus menjadi momentum bagi penegakan hukum. Saatnya bersih-bersih melakukan reformasi hukum. Jika tidak, maka Presiden Prabowo akan sering mengeluarkan rehabilitasi, amnesti, atau pengampunan lainnya. Sebab, sekarang masih banyak kasus, khususnya kriminalisasi kredit macet di kalangan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Lalu, bagaimana kasus-kasus kriminalisasi kredit macet yang diam-diam “tertidur” di jeruji penjara? Atau kasus emas palsu yang dituduh merugikan negara Rp9 triliun. Padahal, dalam kasus emas palsu, yang terjadi hanyalah pelemburan emas pihak ketiga yang selama ini menjadi bagian bisnis di PT Aneka Tambang Tbk.
Tidak hanya Ira Puspadewi yang dijadikan terpidana. Banyak kisah serupa seperti Ira, tapi masih terkurung di penjara. Kisah serupa juga dialami rombongan direksi tiga BPD, seperti direksi Bank DKI (Bank Jakarta), Bank Jateng, dan BPD Jawa Barat-Banten (Bank BJB). Juga enam pejabat PT Aneka Tambang Tbk yang dituduh merugikan negara Rp9 triliun. Duh!
Baca juga: Presiden Prabowo Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi
Mereka dituduh merugikan negara. Padahal, ketika para direksi memberikan kredit ke PT Sritex, perusahaan ini dalam kondisi masih segar bugar, masih mencetak laba dengan likuiditas yang cukup. Bahwa PT Sritex memburuk karena kondisi pasar, tentu itu bagian dari risiko bisnis.
Juga terjadi di bank-bank BUMN seperti di Bank Raya (AGRO) di Kejaksaan Tinggi Bengkulu. Ada 9 tersangka yang dituduh merugikan negara karena kredit macet Rp119 miliar. Ya, hanya karena dalam perjalanan kreditnya macet akibat risiko bisnis. Dan para direksinya yang sudah pensiun itu kini mendekam dalam penjara.
Kasus-kasus kredit macet yang berakhir di penjara tidaklah sedikit. Hari-hari ini, di daerah-daerah sedang berlangsung pemburuan kredit macet yang dituduhkan merugikan negara. Tidak peduli meski saat pemberian kredit perusahaannya segar bugar, lancar bertahun-tahun. Tapi karena ada kebakaran atau penjarahan lahan, kredit macet menjadi pasal merugikan negara, meski kredit tersebut sudah ditopang cadangan yang memadai.
Jujur, tak sedikit para profesional hebat yang tidak menikmati hasil korupsi, tapi tetap divonis. Dipermalukan dan dihabisi harta bendanya yang selama puluhan tahun dikumpulkan. Padahal, di alam dunia usaha ada sebuah prinsip yang menjadi fondasi bagi para profesional dan direksi untuk mengambil keputusan berani tapi penuh perhitungan: business judgment rule.
Namun, belakangan ini publik menyaksikan sebuah fenomena yang mengkhawatirkan. Prinsip sakral ini seolah diinjak-injak, digantikan dengan logika “zero risk” yang naif dan berbahaya. Alih-alih didorong untuk berinovasi dan mengambil keputusan strategis, para direksi justru diancam oleh jerat pidana ketika sebuah keputusan bisnis ternyata tidak membuahkan hasil.
Dalam hal ini ada beda pandangan. Jika para bankir menilai bisnis ketika lancar, pihak aparat penegak hukum melihatnya ketika kredit sudah macet. Jika kredit sudah macet, apa saja bisa salah—bahkan tanda tangan dengan pulpen hitam pun bisa salah. Padahal, tak semua kredit macet merupakan tindak pidana perbankan. Bisa jadi sebuah risiko yang timbul karena cuaca bisnis yang tidak baik-baik saja.
Apa yang kita butuhkan? Menurut Infobank Institute, ada dua hal pokok. Satu, memperkuat pemahaman tentang “iktikad baik”. Aparat penegak hukum, khususnya, harus dididik untuk membedakan antara business failure yang wajar dengan tindak pidana korporasi yang disengaja. Kesalahan prosedur administratif harus diselesaikan secara administratif, bukan langsung dipidanakan.
Dua, membedakan wilayah perdata dan pidana. Kerugian negara yang timbul dari keputusan bisnis yang in good faith mestinya diselesaikan melalui gugatan perdata. Jerat pidana harus khusus untuk kasus dengan unsur mens rea (niat jahat), korupsi, kolusi, atau penggelapan.
Namun, yang terjadi justru para hakim “buta” terhadap “roh baik” peradilan. Apalagi saat ini ada semacam “epidemi ketakutan” di lingkungan peradilan Indonesia. Hakim takut membebaskan seorang terdakwa yang oleh jaksa dituntut hukuman berat karena kerugian negara super jumbo. Hakim juga main aman dari hujatan publik.
Para hakim paling berani memvonis setengah dari tuntutan. Itu sudah dianggap adil. Jangan berharap bebas. Sebab, hakim akan mengundang prasangka buruk. Ini melumpuhkan “roh baik” peradilan. Kiamat bagi para profesional jempolan yang ada di Indonesia.
Dan jika kita terus membiarkan kriminalisasi terhadap business judgment ini, maka kita tengah mematikan motor penggerak ekonomi. Para profesional terbaik akan enggan memimpin BUMN atau perusahaan strategis. Mereka akan memilih untuk “aman” dengan tidak mengambil keputusan apa-apa. Pada akhirnya, negara dan rakyatlah yang akan merugi karena inovasi dan daya saing Indonesia terpasung.
Mari hentikan penghakiman terhadap niat baik dan hasil yang tak pasti. Jika ingin ekonomi bergairah, sudah waktunya Pak Prabowo mengembalikan business judgment rule pada tempatnya yang terhormat—sebagai pelindung bagi para pemberani yang ingin memajukan perekonomian bangsa dengan pikiran jernih dan tanggung jawab penuh. Bahwa korupsi harus dikejar sampai Antartika, tapi kriminalisasi kebijakan itu menghilangkan “ruh” keadilan.
Harus bisa membedakan mana tindakan korupsi, mana yang business judgment rule! Untuk itulah pemberian rehabilitasi kepada Ira Puspadewi harus menjadi titik balik kembalinya business judgment rule yang selama ini berada di ketiak penegak hukum. Stop kriminalisasi kebijakan, sudah waktunya mengembalikan “ruh” pengadilan.
Saatnya melakukan reformasi besar-besaran di tubuh peradilan kita. Selama ini ada yang salah. Bahwa hukum bukan komoditas dan alat persaingan merebut jabatan, bisnis, atau tender. Jangan sampai Presiden Prabowo sibuk melakukan langkah rehabilitasi. Sedikit-sedikit rehabilitasi.
Kita juga belum berbicara soal Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina yang juga tidak terbukti menikmati hasil korupsi dan tidak ada aliran uang, tapi divonis merugikan negara. Kasus Karen hampir sama dengan Ira Puspadewi. Tidak ada aliran uang, tidak ada niat jahat. Tapi pengadilan menghukum kebijakan bisnis.
Baca juga: Begini Kata KPK soal Pembebasan Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi usai Pemberian Rehabilitasi
Jangan biarkan para bankir tak menyalurkan kredit jika risiko bisnis dianggap merugikan negara. Kalau demikian, belilah surat berharga negara yang aman tenteram. Jika demikian, maka ekonomi makin runtuh. Percuma saja kucuran dana pemerintah Rp200 triliun, lalu akan ditambah Rp75 triliun. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jauh hari mengatakan tentang bahaya pasal merugikan negara dari kucuran dana pemerintah itu, justru menjadi “hantu” bagi perekonomian. Bankir jadi takut menyalurkan kredit.
Jadi, selama ini ada yang perlu diperbaiki tentang pasal-pasal merugikan negara. Ada yang bilang no viral, no justice bisa jadi benar. Tapi esensinya, business judgment rule harus ditegakkan dari “ketiak” para penegak hukum. Semoga kasus Ira Puspadewi menjadi kasus terakhir.
Stop kriminalisasi kredit macet. Rehabilitasi Ira Puspadewi merupakan momentum—agar kriminalisasi kredit macet tak berlangsung di “ruang-ruang gelap”. Jangan lagi kredit macet terkena pasal merugikan negara atau menguntungkan orang lain. (*)
Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More
Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More
Poin Penting Kementerian PKP tengah memetakan kebutuhan hunian bagi korban banjir bandang di Sumatra melalui… Read More
Poin Penting Livin’ Fest 2025 resmi digelar di Denpasar pada 4-7 Desember 2025, menghadirkan 115… Read More
Poin Penting Rupiah berpotensi menguat didorong ekspektasi kuat pasar bahwa The Fed akan memangkas suku… Read More
Poin Penting Pertamina EP memperkuat praktik keberlanjutan dan transparansi, yang mengantarkan perusahaan meraih peringkat Bronze… Read More