oleh Eko B Supriyanto, Pemimpin Redaksi Majalah Infobank
JUDUL di atas menggunakan “Pak Jokowi” sebenarnya berlebihan. Namun, mau apa lagi, hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bisa diharapkan. Bisa “turun tangan” atas banyak masalah yang sedang terjadi antara debitur bank dan bank sebagai kreditur.
Soal kredit macet. Ada tren kredit macet dinilai sebagai tindak pidana perbankan, meski sebenarnya hanya soal standard operating procedure (SOP) semata. Kredit macet bisa jadi malapetaka. Tak hanya di bank BUMN ataupun BPD. Sekarang juga marak di bank-bank swasta. Lebih cilaka, bankirnya sudah pindah atau sudah pensiun bilangan lima tahunan.
Terlebih lagi, kredit itu sudah berumur lebih dari lima tahun diputus. Lima tahun atau delapan tahun lancar, eh,tiba-tiba macet. Debitur tidak bisa bayar. Bandel. Minta restrukturisasi, tapi oleh bank tidak dituruti karena memang pertimbangan subjektif bank, seperti masa depan debitur, karakter, dan kemampuan membayar.
Tidak tanggung-tanggung. Seperti di kasus PermataBank – PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL-debitur) telah melibatkan banyak bankir dari account officer (AO). Bahkan, sampai tiga anggota direksi – termasuk bankir asing – menjadi tersangka. Tuduhannya berat, tindak pidana perbankan. Hukuman pidana dan denda serta kalau terbukti mereka pasti tidak bisa bekerja lagi di perbankan. Mereka masuk DOT (daftar orang tercela).
Peristiwa itu juga pernah terjadi di Bank DKI, yang memvonis bankir senior, Eko Budiwiyono (2017), yang debiturnya tidak membayar. Macet. Debitur lama dan juga terjadi penambahan. Namun, karena dinilai melanggar SOP, maka dinyatakan bersalah karena tidak hati-hati dan melanggar SOP. Tetap divonis sampai Mahkamah Agung (MA), meski jaminan debitur mencukupi.
Preseden buruk. Vonis atas kredit macet akibat debitur sontoloyo akan membawa cerita buruk selanjutnya bagi bankir. Ibarat, “orang kecopetan di pasar, lalu lapor. Tapi, sama pihak berwajib dibilang, salah sendiri kamu tidak hati-hati, ‘kan tahu di pasar banyak copet. Kamu juga salah”.
Ada pandangan yang harus diluruskan. Selama ini ada pandangan kalau kejahatan bank selalu bekerja sama antara pihak bank dan debitur. Lalu, bank dinilai bankirnya berdompet tebal dan bank gudang duit – meski itu duit masyarakat. Soal reputasi. Jadi, kalau diungkap, bank merasa reputasinya tercoreng. Padahal, bank sering kali jadi korban, lalu dicari-cari agar ketemu “dogma” kerja sama dengan orang dalam.
Sebenarnya, kasus model begitu tidak harusnya terjadi, karena sudah jelas, dan terang benderang. Lihat saja buku Pahami dan Hindari (Memahami dan Menghindari Tindak Pidana Perbankan) terbitan resmi OJK.
Penjelasan pasal 49, ayat 2, tentang tindak pidana perbankan huruf (b) Undang-Undang Perbankan. Intinya, jika bank tidak melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh OJK kepada bank tersebut, misalnya tidak melaksanakan cease and desist order (CDO), terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang bersifat adminitrasi.
Jadi, harus ada CDO dulu. Jadi, tidak serta-merta laporan debitur macet dibilang tindak pidana perbankan. Soal SOP harus diselesaikan oleh OJK. Dan, biasanya bank jika melanggar SOP bisa dieliminasi dengan persetujuan dua atau tiga direksi clear.
Dalam hal itu, harusnya penyidik OJK bisa memeriksa lebih dulu. Sudah waktunya pula diingatkan kembali kerja sama OJK-Polri (2014) dan OJK-Kejaksaan Agung (2016) bisa mengurangi gelombang memidanakan para bankir.
Jika kredit sudah macet. Cerita apa saja bisa dicari-cari kesalahan. Bahkan, kenapa tanda tangannya malam-malam pun bisa disalahkan. Sudah waktunya Presiden Jokowi memberi penekanan soal kriminalisasi karena SOP kepada bankir-bankir.
Jangan sampai preseden buruk ini akan menjadi tren bagi debitur sontoloyo yang memidanakan bankir-bankir. Krisis akan melahirkan banyak kredit macet. Dan, penumpang gelap selalu ada. Kasus PermataBank-MJPL bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan restrukturisasi perbankan yang sudah mencapai Rp837 triliun.
Dan, sudah waktunya pula memandang bankir atau bank bukan “celengan semar” lagi. Lain halnya memang jika ada bankir yang benar-benar sengaja memacetkan kredit dengan kongkalikong dengan debitur sontoloyo. Sepanjang tidak ada aliran dana, maka bankir hanyalah korban.
Sejauh ini pelanggaran SOP yang dicari-cari bukanlah tindak pidana perbankan. Soal pelanggaran SOP menjadi tuduhan tindak pidana perbankan sungguh keterlaluan. “Pasal karet” melanggar prinsip kehati-hatian terhadap kredit yang sudah macet juga berlebihan. Ada baiknya Presiden Jokowi memperhatikan preseden buruk ini bagi industri perbankan yang mendorong perekonomian. Perlu kembali mematuhi kerja sama OJK-Polri dan OJK-Kejaksaan Agung. Lebih kondusif.
Pelanggaran SOP, sepanjang sudah dieliminir, sebenarnya bukanlah tindak pidana perbankan. Pelanggaran SOP itu wilayah OJK, dan OJK harus “pasang badan” soal kriminalisasi bankir ini. Pertanyaannya, apakah pelanggaran ringan SOP bisa mengubah kredit macet jadi lancar? Wong masalahnya di debitur sontoloyo yang sengaja mencari “gara-gara” karena tidak mampu membayar alias macet. (*)
Jakarta – Sejumlah perusahaan modal ventura merespons rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen… Read More
Jakarta – PT Bank QNB Indonesia Tbk ("Bank"), anak usaha QNB Group, institusi finansial terbesar… Read More
Jakarta - PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) pada hari ini (18/11) telah melangsungkan Rapat… Read More
Dukung Akses Telekomunikasi danInformasi, IIF Salurkan Kredit SindikasiRp500 miliar. PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF)bekerja sama… Read More
Jakarta - PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) resmi menjual salah satu kepemilikan aset propertinya, yakni… Read More
Jakarta - Saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (kode saham: BBNI) menempati posisi penting… Read More
View Comments
Bagus sekali semangatnya.
Semoga menambah pemahaman mereka yg kurang paham.
Salam hormat utk jajaran Infobank👍