Poin Penting
Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan menunda penerapan pajak e-commerce hingga Februari 2026. Namun, kebijakan pajak e-commerce itu baru akan dilaksanakan jika perekonomian domestik sudah mulai pulih.
“(Pajak e-commerce Februari 2026?) Nggak, kata siapa? Kan saya Menterinya,” ujar Purbaya kepada awak media di Jakarta, dikutip, Senin, 13 Oktober 2025.
Purbaya menyatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini tengah dalam tahap pemulihan. Meski begitu, dia menilai ekonomi memang belum bisa sepenuhnya membaik.
Dia menegaskan, ketika ekonomi bisa tumbuh 6 persen, maka penerapan pajak e-commerce tersebut baru akan dipertimbangkan untuk dilaksanakan.
Sebelumnya, Purbaya menutuskan untuk menunda penerapan pajak bagi pedagang e-commerce, yang seharusnya aturan ini mulai berlaku pada 14 Juli 2025.
Baca juga: Purbaya Sudah Kantongi Rp7 Triliun dari Pengemplang Pajak Kelas Kakap
Purbaya menjelaskan, alasan penundaan kebijakan tersebut karena pemerintah masih mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional agar kebijakan tersebut tidak mengganggu daya beli masyarakat.
“Ini kan baru ribut-ribut kemarin nih. Kita tunggu dulu deh,” kata Purbaya dalam Media Briefing belum lama ini.
Purbaya menyatakan, apabila dampak dari kebijakan pemerintah yang menggelontorkan dana sebesar Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mulai terlihat di sektor ekonomi, maka ia akan mempertimbangkan kembali penerapan pajak bagi pelaku e-commerce.
Ia juga menambahkan bahwa secara teknis, sistem yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebenarnya sudah siap untuk menjalankan kebijakan tersebut.
“Paling ya sampai kebijakan tadi, uang Rp200 triliun, kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya. Baru kita akan pikirkan nanti. Tapi yang jelas sistemnya sudah siap sekarang,” ungkapnya.
Adapun aturan tentang pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen terhadap pengusaha e-commerce atau pedagang online di marketplace tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025.
Aturan itu mengatur penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak penghasilan, serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diperoleh pedagang dalam negeri melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Dalam pasal 6 beleid tersebut, disebutkan pedagang dalam negeri yang memiliki peredaran bruto (omzet bruto) hingga Rp500 juta wajib menyampaikan bukti berupa surat pernyataan kepada pihak lain atau dalam hal ini marketplace.
Sedangkan pedagang dengan peredaran bruto lebih dari Rp500 juta dalam tahun pajak berjalan akan dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen.
Baca juga: Pemerintah Kantongi Rp41,09 Triliun Pajak Kripto hingga Fintech di Agustus 2025
“PPh yang dimaksud yaitu PPh Pasal 22. Besarnya pungutan PPh Pasal 22 adalah 0,5 persen dari peredaran bruto yang diperoleh pedagang dalam negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah,” demikian tercantum dalam pasal 8 belied tersebut.
Namun, dalam Pasal 10 ayat 1, ditegaskan bahwa pedagang dengan omzet Rp500 juta ke bawah tidak akan dipungut PPh Pasal 22. (*)
Editor: Galih Pratama
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More