Ekonomi dan Bisnis

Pabrik Kakao di Indonesia Banyak yang Tutup, BPDP Ungkap Penyebabnya

Poin Penting

  • 20 pabrik kakao tutup akibat krisis pasokan bahan baku; hanya 11 pabrik yang masih berproduksi.
  • Indonesia kini bergantung impor kakao, padahal sebelumnya mandiri, karena kakao lokal pahit kurang diminati pasar.
  • Harga biji kakao dunia fluktuatif, dari USD 2.500/ton (2023) sempat ke USD 13.000/ton, kini USD 5.074–6.000/ton.

Jakarta – Sebanyak 20 pabrik pengolahan kakao di Indonesia dilaporkan terpaksa berhenti beroperasi akibat krisis pasokan bahan baku. Lonjakan harga biji kakao dunia memukul industri cokelat nasional.

Kepala Divisi Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Adi Sucipto, menyebut bahwa saat ini hanya tersisa 11 pabrik yang masih berproduksi.

“Jika up date terbaru dari Dirjen Industri Agro per Oktober tutup 9 berarti sejak akhir tahun 2024 sampai dengan saat ini sudah 9 pabrik lagi yang tutup. Awalnya 31, dan jika tersisa 11 maka total yang tutup ada 20,” kata Adi di sela-sela Kunjungan Kerja Media “Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian Nasional”, di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin, 24 November 2025.

“Artinya secara garis besar 2/3 dari pabrik pengolahan kakao mengalami tutup operasi,” tambahnya.

Baca juga: BPDP Kemenkeu Genjot Peremajaan 5.000 Hektare Perkebunan Kakao Nasional

Lebih lanjut, Adi menyebut, Indonesia sebelumnya dikenal sebagai pemasok kakao utama dunia, dan tidak bergantung pada impor bahan baku.

“Nah sekarang harus impor, makanya cost of produksinya dia terlampaui,” jelas Adi.

Selain itu, Adi menuturkan, karakter kakao lokal yang cenderung pahit kurang sesuai dengan preferensi pasar global yang mengutamakan light cacao dengan rasa lebih manis

“Sementara yang dikonsumsi light kakao. Jadi orang itu seringnya manis. Jadi kalau kita cenderungnya kayak kopi,” tambahnya.

Baca juga: Bali Genjot Kakao Premium, Peremajaan Perkebunan Jadi Prioritas

Sebagai informasi, harga biji kakao global melonjak tajam dalam dua tahun terakhir. Pada 2023, harga berada di kisaran 2.500 dolar AS per ton, sempat menyentuh 13.000 dolar AS per ton, dan kini berada di 5.074–6.000 dolar AS per ton hingga November 2025. (*)

Yulian Saputra

Recent Posts

IHSG Sesi I Ditutup Menguat ke 8.655 dan Cetak ATH Baru, Ini Pendorongnya

Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More

44 mins ago

Konsumsi Produk Halal 2026 Diproyeksi Tumbuh 5,88 Persen Jadi USD259,8 Miliar

Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More

2 hours ago

Menteri Ara Siapkan Ratusan Rumah RISHA untuk Korban Banjir Bandang Sumatra, Ini Detailnya

Poin Penting Kementerian PKP tengah memetakan kebutuhan hunian bagi korban banjir bandang di Sumatra melalui… Read More

2 hours ago

Livin’ Fest 2025 Resmi Hadir di Bali, Bank Mandiri Dorong UMKM dan Industri Kreatif

Poin Penting Livin’ Fest 2025 resmi digelar di Denpasar pada 4-7 Desember 2025, menghadirkan 115… Read More

2 hours ago

Sentimen The Fed Bisa Topang Rupiah, Ini Proyeksi Pergerakannya

Poin Penting Rupiah berpotensi menguat didorong ekspektasi kuat pasar bahwa The Fed akan memangkas suku… Read More

3 hours ago

Komitmen Pertamina EP Jalankan Praktik Keberlanjutan dan Transparansi Data

Poin Penting Pertamina EP memperkuat praktik keberlanjutan dan transparansi, yang mengantarkan perusahaan meraih peringkat Bronze… Read More

3 hours ago