Pada 2021 ada empat kecenderungan yang mesti diwaspadai oleh pelaku industri asuransi terkait dengan potensi lonjakan klaim akibat COVID-19. Apa saja?
oleh Irvan Rahardjo & Azuarini Diah
LEMBAGA riset, McKinsey, memublikasikan laporan yang menggambarkan bahwa industri asuransi jiwa telah melewati tantangan besar untuk menjaga pertumbuhan dan profitabilitas dalam satu dekade terakhir (The Future of Life Insurance: Reimagining the industri for the decade ahead, Report, September 29, 2020).
Salah satu temuan paling mencolok adalah tumbuhnya kontribusi lebih dari separuh pertumbuhan premi asuransi yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir berasal dari negara berkembang. Negara berkembang, terutama pasar berkembang di Asia yang sebelumnya merupakan kontributor kecil, telah menjadi pendorong pertumbuhan global dan sekarang menyumbang lebih dari setengah pertumbuhan premi global dan 84% pertumbuhan anuitas individu. McKinsey menyoroti besarnya peran teknologi dalam mendorong pertumbuhan premi asuransi di negara berkembang tersebut.
Terdapat tantangan baru yang lahir dalam satu dekade terakhir bagi industri asuransi jiwa di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, yakni ketidakpastian imbal hasil bagi pemegang saham. McKinsey mencatat bahwa terdapat volatilitas imbal hasil di pasar Asia Pasifik. Hal ini terjadi karena suku bunga yang tertekan secara global.
Tahun ini tekanan imbal hasil terancam makin dalam akibat pandemi. Selain itu, penetrasi asuransi secara global yang turun menjadi 3% pun menjadi tantangan besar bagi industri di negara berkembang.
Lembaga riset itu menilai bahwa industri asuransi jiwa memiliki sejumlah peluang yang menjanjikan dalam dekade mendatang. Salah satunya karena permintaan asuransi secara global mencapai titik tertingginya sepanjang masa. Adanya pandemi COVID-19 membuat masyarakat dunia memerlukan perlindungan jiwa dan kesehatan. Untuk menangkap peluang itu, McKinsey menilai terdapat tiga strategi yang perlu diadaptasi oleh industri asuransi jiwa selama satu dekade ke depan.
Pertama, mempersonalisasi setiap aspek pengalaman nasabah, salah satunya dengan menjadikannya produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah dalam mengelola keuangan dan manajemen kesehatan yang terukur. Menurut McKinsey, penurunan risiko kematian jangka panjang menjadi alasan utama adaptasi strategi tersebut. Teknologi akan memainkan peran penting dalam proses tersebut.
Kedua, industri asuransi jiwa perlu mengadopsi pengembangan solusi produk yang fleksibel terhadap berbagai perubahan regulasi dan suku bunga.
Ketiga, pengembangan kembali keterampilan dan kemampuan semua unsur industri asuransi jiwa. McKinsey menilai bahwa perusahaan asuransi jiwa harus mampu merespons dan menangkap perubahan keterampilan dan karakteristik tenaga kerja di masa depan.
Sementara itu, EY dalam laporan berjudul 2020 Global Insurance Outlook-The Drive for transformation and growth memaparkan beberapa isu utama yang patut dicermati industri asuransi secara global dalam tiga tahun ke depan.
Pertama, suku bunga yang rendah menjadi tantangan pertumbuhan asuransi, utamanya asuransi jiwa. Tidak terlepas dari situasi kenormalan baru (new normal), ekspansi fiskal dan moneter mengarah kepada makin kuatnya tekanan imbal hasil surat berharga negara dan emiten saham. Lemahnya pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian politik, dan perang dagang makin mempersulit prediksi industri asuransi. Ancaman krisis keuangan yang makin nyata dengan upaya mengejar imbal hasil investasi mendorong investor mengambil risiko investasi yang makin meningkat.
Seluruh kekuatan ini menambah tantangan bagi industri asuransi makin besar, terutama dengan sebagian besar keuntungan diperoleh dari investasi. Merosotnya pendapatan investasi akibat rendahnya suku bunga, menipisnya margin, dan kurva imbal hasil yang menurun tajam tidak hanya menekan keuntungan tapi menempatkan rating sejumlah asuransi dalam ancaman.
Kedua, pergeseran demografis di seluruh dunia telah menempatkan asuransi pada peluang dan ancaman sekaligus. Menuanya populasi penduduk dan rendahnya angka kelahiran menjadi tantangan di banyak pasar. Sebaliknya, tumbuhnya kelas menengah di sejumlah negara berkembang menjadi peluang emas bagi asuransi.
Mengingat generasi milenial di negara maju menunda pernikahan, asuransi harus merumuskan nilai tambah baru untuk memelihara hubungan dengan kelompok nasabah ini. Di lain sisi sejumlah negara berkembang, khususnya Asia, menikmati pertumbuhan yang lebih positif karena tumbuhnya kelas menengah. Dinamika pasar di sejumlah negara ini menguntungkan asuransi. Sebagai contoh, permintaan datang dari banyak konsumen yang menyimpan uang dalam jumlah besar pada produk asuransi. Usaha kecil dan menengah mulai melirik kebutuhan asuransi dan perusahaan besar perlu proteksi untuk melindungi rantai pasok yang panjang dan rumit lintas negara.
Ketiga, meningkatnya harapan konsumen, terutama di kanal digital. Menciptakan pengalaman unik dan pribadi bagi konsumen menjadi prioritas utama dalam beberapa tahun ke depan.
Sukses para pelaku asuransi dalam memenuhi harapan konsumen bervariasi di antara berbagai negara di dunia. Sejumlah perusahaan asuransi di Asia telah melakukan inovasi dengan cepat mewujudkan harapan konsumen melalui saluran digital dan handphone. Mereka yang paling sukses adalah yang berhasil menciptakan pengalaman terbaik bagi konsumen secara efisien dan efektif pada target pasar tertentu.
Tren 2021
Menatap 2021 kita patut mewaspadai empat kecenderungan sebagai berikut. Pertama, lonjakan klaim terkait dengan COVID-19 pada 2021. Saat ini marak perusahaan asuransi yang merilis produk terkait dengan COVID-19 yang perlu diuji dalam penyelesaian klaim.
Belum ada angka-angka dari sumber resmi yang menggambarkan besarnya potensi klaim asuransi akibat pandemi COVID-19. Sebuah laporan dari India, klaim asuransi kesehatan akibat COVID-19 mencapai 318.000 klaim senilai US$656 juta (asiainsurancereview.com, 2 Oktober 2020).
Belum ada data resmi mengenai kerugian dan penolakan klaim yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19. Namun, diprediksi kerugian yang dialami oleh industri asuransi di tingkat nasional maupun internasional sangat besar. Analis menyebut COVID-19 akan menimbulkan kerugian asuransi terbesar dalam sejarah. Diperkirakan US$60 miliar-US$70 miliar, melampaui kerugian akibat badai Katrina US$50 miliar pada 2005 (www.cityam.com/insurance-industri-and-covid-19/1 September 2020).
Kedua, relaksasi yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam SE No.S-18/D.05/2020 tentang Penyesuaian Teknis Pelaksanaan Pemasaran PAYDI (e-sign, video call) pada saat yang sama berpotensi meningkatkan sengketa asuransi. Relaksasi pemasaran berpotensi disertai relaksasi ikutan terhadap Kode Etik Tenaga Pemasaran yang diatur asosiasi.
Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), resesi ekonomi, dan kesulitan likuiditas yang diderita oleh hampir seluruh sektor ekonomi dapat memicu persengketaan dengan berbagai dalil yang diajukan oleh para pihak dalam polis asuransi. Terutama potensi dugaan moral hazard akibat kelesuan ekonomi dan bisnis yang meluas dapat menghambat proses penanganan klaim atau menjadi pemicu sengketa.
Dipicu pula oleh masih adanya simpang siur berbagai aspek COVID-19. Misalnya, kapan pemberlakuan COVID-19 dimulai, definisi soal status orang tanpa gejala (OTG), dan suspect COVID-19. Lalu, penerapan status dan definisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berbeda-beda, silih berganti, dan keputusan dianulir oleh kementerian atau lembaga lain dalam waktu yang pendek; hingga efek vaksin COVID-19 yang dihubungkan dengan penyakit bawaan.
Ketiga, ancaman meningkatnya perusahaan gagal bayar, seperti sinyalemen OJK bahwa terdapat perusahaan asuransi jiwa yang melakukan pengelolaan aset melebihi kemampuannya (excessive risk taking). OJK menemukan adanya kecenderungan hasil investasi yang menutupi hasil underwriting sehingga perusahaan asuransi sangat bergantung pada kinerja investasi. OJK menekankan pentingnya pengelolaan investasi oleh industri asuransi jiwa agar tidak terjadi kegagalan pengelolaan keuangan.
Keempat, meningkatnya tren merger, pengambilalihan dan akuisisi sejumlah perusahaan asuransi umum dan jiwa. Menyusul gagal bayar sejumlah asuransi yang masih akan bertambah, baik dalam watch list saat ini maupun yang tiba-tiba mencuat dalam satu tahun mendatang. (*)
Penulis masing-masing adalah Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Ketua Bidang Keanggotaan & Komunikasi Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI)
Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indeks pembangunan manusia (IPM) mencapai 75,08 atau dalam… Read More
Jakarta - PT Caturkarda Depo Bangunan Tbk (DEPO) hari ini mengadakan paparan publik terkait kinerja… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2024 tercatat… Read More
Jakarta - Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono turun tangan mengatasi kisruh yang membelit Koperasi Produksi Susu… Read More