Headline

Optimisme dan Kunci Menghadapi Krisis

Oleh Ignasius Jonan, bankir senior, Menteri Perhubungan 2014-2016 dan Menteri ESDM 2016-2019.

PANDEMI COVID-19 belum bisa diprediksi kapan berakhir. Apabila krisis kesehatan masih akan berlangsung lama, maka krisis ekonomi yang menjadi dampaknya juga akan kita lalui dalam kurun waktu yang lama. Namun, para pelaku bisnis harus optimis bahwa ini akan berakhir. Para pelaku bisnis tidak boleh panik, bisa beradaptasi dan siap menghadapi segala situasi. Salah satu bentuk optimisme adalah berupaya melakukan efisiensi tanpa harus dengan cara memangkas orang. Contoh optimisme di perbankan adalah pemegang sahamnya siap menambah modal ketika banknya mengalami masalah solvabilitas.

Perbankan adalah sektor usaha yang sangat capital intensive. Pesimisme terlihat di beberapa bank yang solvabilitasnya terbatas namun pemiliknya ragu untuk menambah modalnya. Keraguan itu bahkan sudah terlihat sebelum krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 datang seperti data di majalah ini di mana ada sejumlah bank yang sudah lama mengalami masalah solvabilitas.

Kalau keraguan itu disebabkan karena pesimisme terhadap prospek perekonomian Indonesia, kenyataannya investor asing masih tertarik berinvestasi di Indonesia. Bahkan Kookmin Bank asal Korea Selatan mau menginjeksi modal ke Bank Bukopin di masa pandemi. Kalau keraguan itu sebabkan karena rendahnya kepercayaan pemilik kepada para eksekutif yang menjalankan perusahaannya, maka solusinya mencari profesional yang mereka percayai.

Tentu tidak mudah mendapatkan manajer-manajer andal, apalagi dengan kemampuan menangani perusahaan di masa krisis seperti saat ini. Perlu diketahui bahwa memimpin perusahaan dimasa krisis itu berbeda dengan mengelola perusahaan di masa damai. Kalau ada orang yang bagus memimpin perusahaan di masa damai, belum tentu cocok untuk menangani krisis. Lalu seperti apa kriteria orang yang cocok bekerja dalam kondisi krisis atau melakukan pembenahan di perusahaan?

Seorang pemimpin harus memiliki visi yang clear dan tahu bagaimana cara mewujudkan visi tersebut. Namun leader yang bisa menyelesaikan krisis di perusahaan menurut saya perlu tiga kriteria lagi. Pertama, dia menyukai tantangan dan berpikir pragmatis. Dua, dia memiliki bakat maupun pengalaman dalam menyelesaikan masalah. Tiga, dia sudah tidak lagi memikirkan dirinya sendiri dan ingin memberi kontribusi untuk kepentingan yang lebih luas.

Waktu saya ditugaskan untuk memperbaiki Kereta Api Indonesia (KAI) pada 2009, saya pun merasa sudah waktunya untuk tidak lagi memikirkan diri sendiri. Kebetulan juga saya menyukai tantangan dan punya pengalaman waktu membenahi Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Kalau waktu itu saya masih memikirkan diri sendiri maka saya menolak untuk memimpin KAI dan lebih memilih bertahan di Citibank yang gajinya lebih besar. Namun waktu itu saya merasa sudah saatnya bekerja untuk kepentingan yang lebih luas untuk orang banyak yang membutuhkan, masyarakat, dan bangsa. Motivasi itu juga yang saya pegang ketika ditugaskan menjadi menteri dari 2014 sampai 2019.

Apabila seseorang bekerja tanpa vested interest, maka apapun yang dikerjakan berorientasi kepada kemajuan organisasi atau perusahaan dan ini sangat dibutuhkan dalam memperbaiki maupun memajukan organisasi atau perusahaan.

Kemudian yang sangat perlu dilakukan adalah para pemimpin dan manajer di perusahaan memiliki kemampuan beradaptasi dan melakukan transformasi. Ikuti perkembangan teknologi maupun tren bisnis untuk kemudian secara terukur mengimplementasikan teknologi informasi untuk menciptakan efisiensi dan mendukung operasional. Jangan melakukan hal yang sama untuk menghadapi kondisi yang sudah berubah, apalagi untuk mengharapkan hasil yang berbeda. Ingat apa yang dikatakan Albert Einstein, doing the same thing over and over again and expecting diffreent result is insanity.

Jadi sebagai penutup, kita belum tahu kapan pandemi COVID-19 berakhir. Tapi kita harus optimis bahwa kondisi sulit ini pada waktunya akan berakhir. Para pengusaha harus tetap optimis. Jangan mudah mengeluh dan takut rugi sehingga tidak mau berinvestasi di perusahaannya. Untuk meningkatkan rasa percaya diri maka pemilik perusahaan bisa mencari orang yang hebat yang berpengalaman atau berbakat menghadapi krisis atau resesi yang panjang. Lalu bagaimana para pemimpin bisnis yang sudah mengelola perusahaan jauh sebelum krisis akibat pandemi COVID-19 datang? Tidak perlu juga kemudian mengganti direksi yang sedang bekerja. Sebab, krisis ini justru bisa dijadikan kesempatan untuk menguji kapasitas yang sesungguhnya dari para pemimpin bisnis. Seperti kata Brian Tracy, the true test of leadership is how well you function in a crisis. (*)

Dwitya Putra

Recent Posts

Evelyn Halim, Dirut SG Finance, Raih Penghargaan Top CEO 2024

Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More

8 hours ago

Bos Sompo Insurance Ungkap Tantangan Industri Asuransi Sepanjang 2024

Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More

9 hours ago

BSI: Keuangan Syariah Nasional Berpotensi Tembus Rp3.430 Triliun di 2025

Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More

9 hours ago

Begini Respons Sompo Insurance soal Program Asuransi Wajib TPL

Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More

10 hours ago

BCA Salurkan Kredit Sindikasi ke Jasa Marga, Dukung Pembangunan Jalan Tol Akses Patimban

Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More

11 hours ago

Genap Berusia 27 Tahun, Ini Sederet Pencapaian KSEI di Pasar Modal 2024

Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More

11 hours ago