Jakarta – Penerapan ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) pada perusahan-perusahan di Indonesia khususnya yang sudah melantai di pasar modal (emiten), dianggap masih kalah jauh jika dibandingkan dengan emiten-emiten di lima negara besar ASEAN.
Hal tersebut, tercermin dari penghargaan Asean Corporate Governance and Award yang diselenggarakan oleh Forum Pasar Modal ASEAN (ASEAN Capital Market Forum (ACMF) di Manila-Filipina Sabtu (14/11) lalu. Dalam pagelaran tersebut ada 50 emiten se-ASEAN yang dianggap berhasil dalam menerapkan berbagai parameter ACGS.
Namun demikian, dari 50 emiten yang hadir di Manila tersebut, Indonesia hanya diwakili oleh dua emiten yakni PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk dan PT Bank OCBC NISP Tbk. Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia seperti Thailan diwakili 8 emiten, Filipina 11 emiten, Singapura 8 emiten dan Malaysia 6 emiten.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida merasa optimis, bahwa dalam kedepannya, emiten Indonesia akan lebih banyak lagi yang akan meraih penghargaan good corporate governance (GCG) bertaraf Internasional atau ditingkat ASEAN.
“Mungkin bagi emiten kita, mereka sudah merasa sudah baik dalam implementasi GCG. Tapi sayangnya ketika dibandingkan ke negara ASEAN lainnya, masih dianggap belum comply dengan GCG ASEAN,” ujar Nurhaida di Hotel Kempinski Indonesia, Jakarta, Senin, 16 November 2015.
Lebih lanjut dia menilai, sebenarnya kondisi seperti ini harusnya sudah dapat diatas sejak awal. Karena, OJK sebagai regulator juga sudah merilis roadmap GCG yang diharapak menjadi pedoman perusahaan publik. “Tercatat ada 33 item yang masuk roadmap itu. Dan sebagian besar itu sudah masuk dalam Peraturan OJK,” tukasnya.
Oleh sebab itu, OJK tak tanggung-tanggung menargetkan 10 sampai 15 emiten yang masuk dalam ASEAN Corporate Governance Scorecard di tahun berikutnya. “Tahun depan minimal 10-15 emiten yang terbaik dalam GCG yang comply ASEAN. OJK terus melakukan coaching kepada emiten agar mereka tahu apa-apa poin di ASEAN yang dinilai tinggi,” ucap Nurhaida.
Menurutnya, kata dia, dengan adanya implementasi GCG yang tinggi, maka tentunya bakal meningkatkan daya saing perusahaan. “Tapi kadang-kadang penerapan GCG ini masih ada yang menganggap sebagai beban. Sehingga hanya mengikuti sesuai aturan. Padahal untuk longterm itu jadi investasi dan perusahaan akan sustain,” tambahnya.
Kendati demikian, Nurhaida juga mengomentari proses GCG ASEAN terkait dengan keterbukaan emiten. Padahal, soal keterbukaan, di emiten Indonesia ada poin-poin tertentu yang tidak ada di ASEAN. Seperti keterbukaan soal majority shareholder ketika ada masalah. Pasalnya, keterbukaan ini akan menguntungkan para investor.
“Tapi di negara ASEAN lain tidak ada. Ini justru melindungi investor. Mestinya kita bisa dorong keterbukaan seperti itu, jangan hanya mengekor negara lain,” tutup Nurhaida. (*) Rezkiana Nisaputra
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More