Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK No. 7 Tahun 2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) untuk mengakselerasi penguatan aspek kelembagaan industri BPR dan BPR Syariah.
Aturan ini ditujukan untuk mendorong BPR/BPRS untuk berkembang menjadi lembaga keuangan yang berintegritas, adaptif, dan berdaya saing. Lembaga keuangan ini diharapkan mampu berkontribusi dalam menyediakan layanan keuangan kepada masyarakat terutama pelaku usaha mikro dan kecil di wilayahnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, aturan tersebut sejalan dengan amanat UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Yang mana [UU P2SK] secara spesifik mengatur mengenai kewajiban konsolidasi, jangka waktu pemenuhan rencana tindak kewajiban konsolidasi, hingga pemberian relaksasi OJK kepada industri BPR/BPRS untuk mendorong pelaksanaan konsolidasi,” katanya dalam konferensi pers, Senin (10/6/2024).
Baca juga: Bos OJK Respons Soal Temuan BPK Terkait BPR dan BPRS Bermasalah
Ediana menyatakan, jumlah BPR/BPRS tercatat mengalami penurunan dari yang semula 1.608 pada akhir 2022, menjadi 1.575 pada akhir 2023. Adapun, per April 2024 jumlahnya tercatat mencapai 1.562 BPR/BPRS.
Pada April 2024, sebanyak 1.206 BPR/BPRS telah memiliki modal inti di atas Rp6 miliar, di mana 103 BPR/BPRS di antaranya telah memiliki modal inti di atas Rp50 miliar. OJK mencatat 48 BPR/BPRS telah selesai melaksanakan proses konsolidasi menjadi 15 BPR/BPRS.
“OJK senantiasa mendorong BPR/BPRS untuk meningkatkan ketahanan permodalannya melalui pemenuhan modal inti minimum. POJK No.5/2015 dan POJK No. 66/2016, OJK telah mengatur mengenai kewajiban pemenuhan modal inti minimum bagi BPR/BPRS guna meningkatkan kemampuan BPR dalam menyediakan dana bagi sektor riil terutama bagi UMKM dan menyerap risiko bisnis,” sambungnya.
Ia menegaskan, OJK terus memantau dan mengevaluasi realisasi rencana tindak penyehatan BPR/BPRS dari Pengurus dan Pemegang Saham Pengendali BPR/BPRS.
Jika dalam jangka waktu BDP, BPR belum memenuhi kriteria normal atau mengalami penurunan kinerja keuangan, maka status pengawasan akan ditetapkan menjadi BDR sehingga kewenangan beralih kepada LPS.
Baca juga: The Finance Top 100 BPR 2024: Tantangan Makin Berat di Era Suku Bunga Tinggi
Menurutnya, LPS akan menjamin simpanan nasabah sehingga nasabah tidak perlu khawatir jika ada BPR/BPRS yang izinnya dicabut oleh OJK.
“Terhadap BPR/BPRS dalam resolusi yang tidak diselamatkan dan dicabut izin usahanya, nasabah tidak perlu khawatir dengan dananya, karena selama dana tercatat pada pembukuan bank, tingkat bunga yang diterima tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, LPS akan menjamin simpanan nasabah,” pungkas Ediana. (*) Ranu Arasyki Lubis
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More