Jakarta – Di tengah ketidakpastian pemulihan ekonomi, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,1% pada bulan Januari 2022 menjadi 2,9%, serta risiko inflasi yang mulai terlihat akan berpengaruh pada sejumlah hal terutama di Industri Keuangan Non Bank (IKNB).
Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB Otoritas Jasa keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono mengatakan bahwa potensi risiko inflasi yang semakin tinggi dapat meningkatkan biaya klaim, mempengaruhi penerimaan premi untuk new business, serta para pemegang polis asuransi.
“Bagi sektor asuransi dampak inflasi akan terlihat pada kenaikan biaya klaim khususnya sektor asuransi umum, potensi risiko inflasi yang semakin tinggi juga dapat mempengaruhi penerimaan premi untuk new business, karena pola pengeluaran masyarakat yang lebih konservatif,” ujar Ogi dalam acara Non-Bank Financial Forum yang digelar Infobank bersama APPI dan AAUI, Kamis, 28 Juli 2022.
Dampak kenaikan harga secara meluas juga akan dirasakan oleh pemegang polis baik itu existing maupun yang akan datang sehingga berpengaruh terhadap kenaikan leds dan surender ratio, sehingga penurunan daya beli untuk memenuhi kewajiban pembayaran premi lebih lanjut.
Diketahui, akumulasi penerimaan premi selama periode semester I-2022 tercatat menurun sebesar 0,03% yoy dibandingkan periode sebelumnya, sehingga dibutuhkan perhatian lebih lanjut. Sementara itu, nilai klaim di periode yang sama meningkat sebesar 9,20% di tengah ketidakpastian saat ini.
Oleh karena itu, yang perlu menjadi perhatian, lebih terletak pada akumulasi penerimaan premi. Kemudian, menahan diri dari strategi pemasaran yang terlalu agresif dengan menawarkan premi yang terlalu rendah sehingga tidak kompatibel dengan manfaat yang ditawarkan dan risiko yang dijamin.
Kemudian, perlu adanya sikap yang pruden dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan investasi, mengingat ancaman inflasi dan dinamika perekonomian global yang dapat menimbulkan downside risk bagi kinerja investasi perusahaan.
Sehingga, rasio likuiditas dan solvabilitas perusahaan tetap dapat terjaga sebagai indikator yang menggambarkan kapasitas perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim asuransi pada konsumen.
“Bagi sektor perusahaan pembiayaan faktor kenaikan inflasi diperkirakan dapat berpengaruh terhadap penyaluran piutang pembiayaan mengingat inflasi akan berdampak pada daya beli masyarakat,” tambah Ogi.
Data dari OJK, outstanding pokok piutang pembiayaan per Juni 2022 mencapai Rp405,95 triliun dan masih meningkat sebesar 4,98% yoy.
Dalam hal pengendalian risiko kredit, angka rasio NPF masih berada dalam tren penurunan jika dibandingkan dengan posisi Desember 2021 NPF gross 2,81% sedangkan pada Juni 2022 nett NPF kini kurang dari 1%, yaitu 0,86%.
Menjelang kebijakan berakhirnya counter cyclical di sektor jasa keuangan, pelaku usaha perlu disiplin dalam melakukan pemantauan berkala atas risiko kredit dari piutang pembiayaan yang direstrukturisasi.
Perusahaan pembiayaan perlu memiliki informasi yang lengkap dan akurat untuk mengantisipasi skenario pemburukan yang mungkin terjadi pasca berakhirnya periode kebijakan relaksasi atas piutang pembiayaan yang direstrukturisasi. (*) Khoirifa
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 23 Desember… Read More
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) buka suara terkait dengan transaksi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS)… Read More