BEBERAPA tahun lalu industri telekomunikasi pernah dibuat heboh dengan sengitnya perang tarif telepon yang dilancarkan oleh perusahaan telekomunikasi. Demi memikat hati pelanggan, mereka tak segan menerapkan berbagai praktik marketing ‘tak sehat’ yang justru berpotensi mengganggu keberlangsungan kinerja industri secara keseluruhan.
Skema serupa kini juga mulai terlihat dalam persaingan tarif kuota internet, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tarif internet termurah kedua di dunia, setelah India. Murahnya tarif dikhawatirkan membuat perusahaan telekomunikasi tak memiliki ruang yang cukup untuk meningkatkan kualitas infrastruktur yang dimiliki. Akibatnya, kualitas produk dan layanan yang jadi pertaruhan.
Sama dan sebangun, industri perbankan nasional kini juga mulai dibuat khawatir dengan sepak-terjang bank-bank digital yang mulai terpantau gemar mengobral tingkat suku bunga tinggi untuk produk deposito dan simpanannya. Aroma ‘tak sehat’ seketika meruap ketika bank-bank dengan bunga tinggi tersebut rupanya tidak menjaminkan simpanannya ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pasalnya, LPS hanya memberikan penjaminan pada simpanan dengan bunga bank dalam batas yang telah ditentukan, yaitu 3,5 persen per tahun untuk jenis simpanan rupiah.
“Penjaminan simpanan oleh LPS berlaku untuk simpanan di semua jenis bank. Termasuk juga bank digital. Namun sesuai ketentuan penjaminan hanya diberikan pada simpanan dengan bunga di bawah dari bunga penjaminan yang berlaku,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa.
Karenanya, menurut Purbaya, bagi bank-bank yang menerapkan bunga tinggi hingga di atas ketentuan bunga penjaminan wajib untuk memberikan penjelasan secara transparan kepada nasabah bahwa produk simpanannya tidak dilindungi oleh fasilitas penjaminan. Bila langkah transparansi tersebut tidak dilakukan, Purbaya memastikan bahwa LPS bakal memanggil bank bersangkutan sebagai bentuk teguran. Tak hanya itu, LPS juga berencana untuk mengumumkan kepada publik daftar bank-bank yang simpanannya tidak tercover penjaminan LPS.
“Untuk (bank) yang sudah transparan, ya tidak ada masalah. Case-nya adalah ketika mereka tidak transparan. Nanti akan kami kirim surat untuk mengingatkan agar segera memberi informasi ke nasabahnya. Kami akan cek apakah (bank tersebut) benar-benar kasih informasi atau tidak. Kalau tidak, maka akan kami lakukan pemanggilan,” tutur Purbaya.
Jor-Joran
Kehadiran bank digital sendiri memang menandakan dimulainya episode baru di industri perbankan nasional. Bagaimana kemudian layanan perbankan yang sebelumnya terkenal rigid dan terkesan ‘ribet’ dengan data dan arsip yang bertumpuk karena mengedepankan azas kehati-hatian (prudentialitas) diubah menjadi lebih mudah, sederhana dan simpel dalam satu genggaman nasabah.
Kemudahan ini pun sukses menjadi senjata andalan bank-bank digital untuk menggenjot layanan yang bersifat transaksional, seperti pembayaran, pembelian transfer instan dan sebagainya. Namun, kesuksesan serupa tidak terjadi pada sisi intermediasi perbankan, di mana bank-bank digital masih kesulitan meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) lantaran dengan segala kemudahan transaksinya, sebagian nasabah justru khawatir terkait masalah keamanan (security) untuk menempatkan dana dalam jumlah lebih besar.
Dengan kondisi demikian, mengobral bunga tinggi pada akhirnya menjadi jalan yang dipilih bank-bank digital guna menggaet lebih banyak lagi nasabah untuk sudi menempatkan dananya, baik dalam bentuk dana murah (tabungan) maupun dana mahal (deposito).
Sebut saja yang dilakukan oleh PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC/Bank Neo) yang tak segan menawarkan bunga hingga delapan persen untuk pengguna barunya. Besaran bunga itu lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dibanding bunga bunga simpanan yang dijamin LPS, yang saat ini dipatok sebesar 3,5 persen.
Sebagaimana dilansir dari aplikasi Neo Bank, emiten berkode saham BBYB ini menawarkan bunga promo lewat produk deposito Deo Wow sebesar 6,5 persen per tahun, untuk tenor tujuh hari. Lalu tujuh persen untuk tenor satu bulan, 7,5 persen untuk tenor tiga bulan, 7,7 persen untuk tenor enam bulan dan delapan persen untuk tenor 12 bulan. Baru untuk bunga deposito reguler yang berlaku untuk pengguna lama, Neo Bank menerapkan porsi bunga 3,5 persen untuk semua tenor.
Sementara Sea Bank Indonesia juga tak ketinggalan, dengan promo bunga simpanan tujuh persen per tahun, Sedangkan untuk bunga deposito regular, seperti halnya Neo Bank, Sea Bank Indonesia juga menerapkan rate rendah dengan rentang 2,5 persen hingga 2,7 persen untuk berbagai pilihan tenor.
Lalu Bank Jago juga menerapkan promo dengan bunga simpanan yang sama dengan Sea Bank Indonesia, yaitu tujuh persen per tahun selama tiga bulan khusus untuk pengguna baru. Promo ini berlaku untuk pengguna yang mendaftar Gopay atau lewat Jago dan lalu menghubungkan layanan Kantong Jagonya dengan Gopay. Sedangkan untuk pengguna lama yang telah terhubung dengan Gopay atau terhubung dengan partner lain, dikenakan bunga 3,5 persen.
Di luar nama-bank bank digital di atas, “pertarungan” bunga juga terjadi pada produk deposito. Secara rata-rata, misalnya, Digibank dari DBS Bank menawarkan porsi bunga hingga 3,5 persen. Porsi bunga yang sama juga ditawarkan oleh Bank Jago untuk produk depositonya. Lalu produk TMRW dari Bank UOB menawarkan rata-rata bunga deposito sampai 3,88 persen.
Di atas TMRW, Jenius milik BTPN bahkan menawarkan deposito dengan rata-rata bunga di level empat persen. Sedangkan tawaran bunga deposito tertinggi dating dari Line Bank dari Bank KEB, dengan porsi bunga hingga lima persen.
Ekosistem Digital
Menurut Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), M Tesar Sandikapura, berlomba-lombanya bank digital mengobral tingkat suku bunga tinggi pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan bank digital dalam menciptakan produk dan juga layanan perbankan yang berbeda dari bank konvensional. Karenanya, jenis produk dan layanan yang kini ditawarkan ke pasar jadi relatif tidak memiliki perbedaan signifikan.
“Sehingga tidak ada alasan yang bisa mendorong masyarakat untuk menggunakan bank digital. Artinya bank digital belum mampu memanfaatkan ekosistem digital yang harusnya menjadi expertise (keahlian) mereka. Maka pilihan terakhir, mau tidak mau, ya pada akhirnya (bank digital) bermain di promo dan bunga tinggi,” ujar Tesar, dalam kesempatan terpisah.
Belum mampunya bank digital mengkreasi produk dan layanan yang berbeda dari bank konvensional, menurut Tesar, patut disayangkan. Karena dengan keberadaan bank-bank konvensional yang juga memiliki fitur layanan digital, perlu keunggulan lebih yang harus dibangun oleh bank digital agar tidak harus bertarung dalam ceruk yang sepenuhnya sama dengan bank-bank konvensional. Salah satunya adalah dengan memperkuat ekosistem digital.
Pendapat ini dibenarkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah. Menurut Piter, sejauh ini memang belum ada data lengkap yang menunjukkan korelasi antara penguasaan ekosistem digital dalam mendukung kinerja bisnis perbankan. Namun dengan mengasumsikan bahwa di masa depan seluruh aktivitas kehidupan masyarakat bakal semakin bertumpu pada platform digital, maka penguatan ekosistem digital dapat diyakini bakal mampu memberikan kontribusi yang cukup besar.
“Apakah (ekosistem digital) jadi penentu (kinerja bank digital)? Saya pikir belum bisa diukur secara pasti. Tapi apakah berkorelasi? Dengan asumsi bahwa di masa depan semua serba digitalized, tentu akan sangat berkorelasi dan kontribusinya saya pikir juga akan sangat besar,” ungkap Piter.
Dicontohkannya, guna melakukan penilaian kredit dan penerapan azas know your customer (KYC), misalnya, bank yang menguasai ekosistem digital bakal lebih mudah dalam melakukan analisa hingga membuat credit scoring dari data-data yang telah terkumpul. Sebaliknya, tanpa adanya ekosistem digital, proses yang dibutuhkan bakal berpotensi lebih boros karena pihak bank harus melibatkan lembaga lain untuk mengerjakannya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan. Menurut Abdul, penguasaan ekosistem digital bukan merupakan satu keharusan, melainkan lebih pada booster untuk dapat tumbuh lebih cepat dan maksimal. “(Ekosistem digital) Bukan harga mati, tapi berperan besar. Tanpa ekosistem digital, bank akan sulit untuk berkembang dan menempatkan kapasitasnya. (Kalau) Bisa pun, biayanya juga akan lebih besar,” ucap Abdul.
Yang jadi masalah, menurut Abdul, bank-bank digital saat ini belum mampu memaksimalkan penguasaannya atas ekosistem digital. Hal itu membuat pengembangan bisnis bank digital sejauh ini lebih kembali lagi ke fungsi perbankan konvensional, sehingga membuatnya kembali head to head bersaing dengan bank-bank konvensional. “Ini yang kemudian terjadi saat ini, di mana mereka balik lagi ke fungsi konvensional, sehingga harus bersaing lagi dengan bank-bank konvensional, termasuk soal besaran bunga,” tutur Abdul.
Tak hanya harus kembali bersaing dengan bank konvensional, ketidakmampuan bank digital memaksimalkan potensi ekosistem digital juga dikhawatirkan bakal berimbas buruk pada perkembangan industri bank digital di masa mendatang. Alih-alih mengembangkan penguasaannya atas ekosistem digital, bank-bank digital justru memilih sibuk ‘membakar uang’ dengan perang bunga simpanan deposito.
“Dalam perkembangannya bank digital jadi seperti perusahaan rintisan yang juga sibuk ‘bakar uang’ untuk menguasai pasar. Kita bisa lihat mereka (perusahaan rintisan) sekarang sibuk efisiensi untuk dapat bertahan. Parahnya, investor mulai menyadari ini dan akan cari keuntungan jangka pendek, Tarik keuntungan selagi bisa, karena mereka tahu (bank digital) di jangka panjang tidak akan bisa survive,” tegas Tesar. (*) TSA
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (18/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 18 November… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More
Jakarta - Additiv, perusahaan penyedia solusi keuangan digital, mengumumkan kemitraan strategis dengan PT Syailendra Capital, salah… Read More
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More