Jakarta – Pemilik bank bermodal cekak sedang dilematis. Satu sisi, deadline untuk menambah modal kian dekat. Di sisi lain, kinerja bank sedang jeblok, bahkan sebelum pagebluk Covid-19 datang. Sudah begitu, kompetisi di era digital semakin ketat, terlebih setelah akselerasi digital akibat pandemi.
Apa yang mesti mereka lakukan?
Jumlah bank bermodal tipis tidak sedikit. Per September 2020, ada 59 bank yang bermodal inti kurang dari Rp3 triliun, 12 bank di antaranya tak sampai Rp1 triliun. Padahal, warning OJK jelas: setelah tahun 2022 tidak ada lagi bank bermodal kurang dari Rp3 triliun. Kecuali BPD yang diberi deadline sampai tahun 2024.
Andai pun sudah tercapai modal minimum Rp3 triliun, itu juga tidak serta-merta selesai masalah. Sebab, dengan tantangan yang semakin berat, mampukah hanya dengan Rp3 triliun beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Itulah mengapa penguatan permodalan bank adalah satu keniscayaan, bagaimana pun kondisi keuangan pemiliknya. Setidaknya, ada empat alasan mengapa bank harus memperkuat permodalan.
Satu, untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan bisnis bank. Sebab bank adalah bisnis yang padat modal dan selalu membutuhkan tambahan modal. Selalu baik di saat sedang booming, maupun saat krisis.
Dua, siklus krisis yang sulit ditebak dan periode kajadiannya semakin rapat. Maka, permodalan yang dimiliki bank harus didesain mampu menghadapi krisis.
Tiga, risiko yang dihadapi bank semakin kompleks, seperti operasional, pasar, kredit, serta leverage yang tinggi, sehingga bank harus memiliki ketahanan yang kuat.
Keempat, kompetisi semakin ketat, terutama di era digital. Permodalan sangat dibutuhkan agar bank mampu meningkatkan basis usahanya menjadi lebih kompetitif, investasi di bidang teknologi dan meraih keunggulan, serta mampu membayar bankir terbaik.
Inilah yang menjadi latar di balik ramainya aksi jual-beli bank belakangan ini. Bank-bank bermodal cekak, terpaksa harus membuka pintu untuk investor baru masuk, karena deadline yang semakin dekat.
Di sisi lain, bos-bos bank dengan modal tebal, seperti Djarum dan Mega Corpora, memanfaatkan momentum ini untuk melakukan aksi beli. Apalagi dengan banyaknya bank yang BUC (butuh uang cepat), mereka berharap mendapat harga terbaik.
Selain Budi Hartono dan Chairul Tanjung, bos-bos besar mana lagi yang sedang berburu bank bermodal cekak itu? Bank-bank mana saja yang jadi incaran mereka? Apa yang akan mereka lakukan setelah menguasi aset bank-bank tersebut? Bagaimana pula peta kepemilikan asing di industri perbankan nasional saat ini? Dan, apa saja stimulus yang harusnya dikeluarkan regulator untuk mengatasi kondisi sulit seperti saat ini?
Untuk mendapatkan informasi premium tersebut, simak laporan Majalah Infobank edisi No 512, Desember 2020, yang telah terbit pada 1 Desember 2020. Kunjungan segera www.infobankstore.com. (*)
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More
Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengapresiasi kesiapan PLN dalam… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan telah melaporkan hingga 20 Desember 2024, Indonesia Anti-Scam… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) membidik penambahan sebanyak dua juta investor di pasar… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) masih mengkaji ihwal kenaikan PPN 12 persen… Read More