SEJAK Pandemi COVID-19, jasa penagihan utang (debt recovery) punya potensi besar membantu memulihkan bisnis bank. Kredit yang sudah macet, dan seringkali menjadi “batu” dan sulit dilacak kembali bisa punya potensi untuk kembali. ”Terus terang, selama Pandemi COVID-19, portofolio kami meningkat hampir dua kali dari sebelum Pandemi,” kata Direktur Utama Noesantara Corp, Andri Riza, kepada Infobanknews seperti dikutip 21 September 2021.
Menurut pengakuan Riza, saat ini Noesantara Corp menangani kredit macet dari bank-bank dengan outstanding Rp5 triliun, atau naik hampir dua kali lipat sebelum masa Pandemi COVID-19. Selain didukung dengan infrastruktur teknologi informasi – dapat memonitor keberadaan account officer dan status debitur secara real time, menurut Riza, perusahaannya punya jaringan di seluruh Indonesia.
Riza tidak menyebut berapa pastinya angka recovery rate, tapi ia menyebut dua kali di atas recover rate kalau itu dilakukan sendiri oleh bank. Bahkan, ia menyebut hampir semua nama yang disodorkan bank bisa dihubungi dan dilakukan mapping.”Kami juga bisa melakukan jasa lelang agar bank segera mendapatkan recovery,” lanjut Riza yang kantornya punya 5 kantor cabang utama dan wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia.
Andri Riza yang sudah malang melintang di dunia debt recovery ini mengaku, dalam penagihan ke debitur macet pihaknya tidak menempatkan sebagai murni penagih utang, melainkan menjadi jembatan antara debitur dan kreditur.”Saya jamin kami tidak menggunakan tekanan terhadap debitur yang bermasalah,” kata Riza yang didukung oleh 500 tenaga account officer.
”Kami menjadi jembatan antara debitur dan bank agar masalah pinjaman bisa segera diselesaikan,” lanjut Rizal sembari menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan eksekusi. Yang dilakukan pihaknya adalah dengan pendekatan persuasif, kekeluargaan dan pendekatan lokal di mana debitur berada. Menurutnya, tak heran jika banyak bank yang sudah bekerja sama dengan Noesantara, baik bank BUMN, BPD dan bank swasta.
Riza mengaku memang tidak mudah melakukan penagihan utang, karena umumnya para debitur ini sudah lama menunggak. Tapi, ia optimis, dengan account officer yang dimiliki dengan pengalaman lapangan bisa berhasil. ”Biasanya nasabah yang lama macet ini tidak diurus secara serius sejak awal, bahkan cenderung dibiarkan, termasuk terhadap debitur yang sudah di write off,” lanjutnya.
Bahkan, menurut Riza, selain menjadi debt recovery, ia juga dapat menjadi sumber informasi, debitur mana yang bisa dilakukan restrukturisasi, maupun yang harus dilakukan penyelamatan. ”Pihak bank tercapai recoverynya, dan pihak debitur dapat menyelaikan pinjamannya agar terlepat dari daftar SLIK OJK, dan bisa pinjam lagi,” jelas Riza yang didukung oleh profesional perbankan di bagian remedial.
Lebih lanjut, seperti pengakuan Riza, seringkali tidak hanya sebagai debt recovery saja, tapi seringkali menjadi sumber penting, apakah debitur bisa direstrukturisasi atau tidak. “Karena kan kita ada di lapangan melihat langsung yang jarang bank lakukan,” tambah Riza dan optimis bisnis debt recovery nya akan meningkat berjalan berdampingan dengan bank.
Catatan Infobank, bisnis debt recovery ini merupakan bagian dari ekosistem penagihan, dan diatur secara jelas di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentu debt recovery yang sesuai prosedur dan tidak menggunakan pendekatan kekerasan, seperti pengakuan Riza, Noesantara Corp dalam bekerja tidak menggunakan pendekatan kekerasan, atau tekanan fisik, karena pihaknya adalah jembatan antara debitur dan pihak bank. ”Kami tahu, kami kepanjangan tangan bank, pasti memahami peraturan, apalagi banyak account officer kami dari bank,” ucapnya lagi.
Tingginya LAR menjadi peluang lebar bagi bisnis debt recovery ini. Apalagi, debt recovery yang mempunyai layanan hulu sampai hilir. Salah satunya adalah Noesantara Corp, selain layanan debt recovery, juga didukung oleh internal firm dan dukungan teknologi informasi. Disebutkan Riza ada collection monitoring system (CMS). Juga, menjadi agent properti jika ada debitur yang mau menjual propertinya untuk melunasi pinjamannya.
Menurut penelusuran Infobank Institute, bisnis penagihan utang ini mulai marak, khususnya di sektor multifinance, dan kini mulai marak khusus di sektor perbankan. Hal ini menurut catatan Infobank Institute karena ada peningkatan non performance loan (NPL) dan peningkatan loat at risk (LAR) di perbankan. Per Juni 2021 angkanya Rp1,274 triliun, atau naik tipis dibandingkan akhir tahun 2021 yang sebesar Rp1.237 triliun.
”Potensi LAR yang akan jatuh menjadi NPL sangat tergantung dari apakah kebijakan PPKM ini longgar atau tidak, namun potensi yang menjadi NPL relatif masih cukup besar,” demikian tulis Infobank Institute dalam sebuah laporannya.
Jumlah kredit yang direstrukturisasi per Juni 2021 Rp792 triliun, atau lebih baik dibandingkan akhir tahun 2020 yang mencapai Rp826 triliun. Namun ada penambahan angka NPL dari akhir tahun 2020 yang sebesar Rp244 triliun menjadi Rp301 triliun. ”Pergeseran inilah yang perlu diwaspadai oleh perbankan, dan ini menjadi peluang besar bagi bisnis debt recovery di masa akhir relaksasi restrukturisasi kredit,” tulis Infobank Institute. (*)
Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha… Read More
Jakarta - PT KAI (Persero) Daop 1 Jakarta terus meningkatkan kapasitas tempat duduk untuk Kereta… Read More
Jakarta – Starbucks, franchise kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) tengah diterpa aksi pemogokan massal… Read More
Jakarta - Dalam rangka menyambut Natal 2024, Bank Mandiri menegaskan komitmennya untuk berbagi kebahagiaan melalui… Read More
Jakarta – Sejumlah bank di Indonesia melakukan penyesuaian jadwal operasional selama libur perayaan Natal dan… Read More
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More