Jakarta – Menjelang pemilu 2024, istilah politik dinasti belakangan ramai dibicarakan. Bahkan banyak pakar menilai, politik dinasti bisa membuat demokrasi di Indonesia rusak. Salah satunya adalah Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Lili Romli.
Ia menilai politik dinasti menjadi persoalan ketika politik dinasti tersebut membajak dan membonsai demokrasi, khususnya untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentunya, kata dia, akan ada risiko-risiko yang akan dihadapi jika benar politik dinasti itu terjadi.
“Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” ujar Lili Romli di Jakarta seperti dikutip 6 November 2023.
Baca juga: Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres, Lahirkan Politik Dinasti?
Menurutnya, banyak kasus di Indonesia, karena demokrasi elektoral hanya sekedar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi. Politik dinasti juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.
“Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” ucapnya.
Ia, menyebut negara-negara maju juga ada politik dinasti yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tapi, tidak ujug-ujug berkuasa, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader yang lain.
“Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” tambahnya.
Ia menilai jika kondisi politik dinasti berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang. “Untuk proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam. Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” tegasnya.
Baca juga: Wah! Media Asing Soroti Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres, Demokrasi RI Dipertanyakan
Sementara itu, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga, Prof Kacung Marijan mengatakan, politik dinasti terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis.
“Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misalnya, setelah menjabat kepala daerah, istri atau anaknya yang menggantikan dan seterusnya,” jelas dia.
Untuk itu, lanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang Undang, APBN dan Kebijakan Pemerintah. “Kalau DPR-nya lebih kuat, seharusnya kontrol kepada pemerintah harus lebih kuat,” paparnya.
“Ketika calonnya itu sudah terpilih, yaitu bagaimana terjadinya proses kontrol itu sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini ya lewat DPR,” tambahnya.
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More