Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group. (Foto: Dok. Infobank)
Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi InfoBank
PURBAYA Yudhi Sadewa bukanlah Sri Mulyani Indrawati yang telah menjadi Menteri Keuangan kelas dunia. Purbaya seorang insinyur dari Institute Teknnologi Bandung (ITB). Bukan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) – yang langganan jadi Menteri Keuangan, meski suatu masa pernah dijabat oleh Bambang Sudibyo dan Boediono yang dari UGM. Pernah juga dijabat oleh Rizal Ramli yang juga dari ITB.
Jadi, tak heran banyak orang yang meragukan. Bahkan, satu hari setelah pelantikan menjadi Menteri keuangan, BEM UI melakukan demo untuk segera mencopot Purbaya Yudhi Sadewa karena komentarnya yang tidak simpatik dan meremehkan gerakan masyarakat sipil. Purbaya sudah meminta maaf, dan tidak ada niat untuk merendahkan.
Media sosial dipenuhi kritis, terutama mengenai personifikasi Purbaya yang memang suka ceplas-ceplos, terkesan nothing to lose. Penulis mengenal Purbaya secara intens sejak tahun 2000-2003 ketika menjadi ekonom dari Danareksa Institute. Purbaya sebagai narasumber, kuat riset dan berbeda dalam memandang angka-angka dari para ekonom lainnya.
Selanjutnya, hampir 20 tahun Purbaya berada di pasar. Lalu menjadi penasehat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di kantor Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kantor Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dan terakhir Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Secara pengalaman dan pendidikan, Purbaya dinilai mumpuni, dari “pembisik” menjadi eksekutor.
Sekitar dua bulan lalu, sebelum Purbaya Y. Sadewa ditunjuk menjadi Menteri Keuangan, penulis ketemu beliau di kantor LPS. Di ruangnya yang apik dikhiasi keris koleksinya,– termasuk keris dari Purbaya selayaknya seorang teman, bicara seperti ketika menerangkan kepada penulis 20 tahun lalu. Isinya persis yang dijelaskan di DPR. Soal stagnasi pertumbuhan ekonomi yang kisaran 5 persen, tax ratio yang cenderung turun, dan pembangunan yang didominasi oleh pemerintah yang berbeda ketika zaman SBY di mana peran swasta diberi peran.
Juga, soal suku bunga yang dinilainya masih relatif tinggi meski sudah turun sebanyak empat kali. Cadangan devisa yang terus bertambah tapi mengapa nilai tukar cenderung melemah dan hal ini berbeda dengan beberapa negara kawasan ASEAN, seperti Malaysia. Ketatnya likuiditas.
Secara mengejutkan, Purbaya yang tampil kali pertama selaku Menteri Keuangan di Komisi XI DPR RI adalah bicara soal dana pemerintah yang ada di rekening Bank Indonesia (BI). Intinya membanjiri likuiditas di pasar. Kebijakan ini sungguh berbeda dari sebelumnya yang selalu hati-hati dengan memberi bantalan dana yang disimpan di BI. Tapi Purbaya berbeda. Ingin membanjiri pasar dengan likuiditas.
Menurut Purbaya, akan mengguyur pasar sebanyak Rp200 triliun dari jumlah uang pemerintah di BI yang sebesar Rp425 triliun. Nantinya, uang Rp200 triliun akan ditempatkan di bank-bank Himbara. Harapannnya agar bank-bank menyalurkan kredit ke dunia usaha.
Secara konstitusional, BI adalah pemegang kas tunggal negara. Sebagai imbalan atas fungsi strategis ini, BI memberikan remunerasi kepada Pemerintah yang nilainya tak bisa dibilang kecil, yakni 87,5 persen dari BI Rate. Ini adalah sebuah mekanisme simbiosis yang telah diatur dengan rapi untuk menciptakan keseimbangan. Meski, pemerintah menerbitkan surat utang dengan yield lebih mahal dari ketika ditempatkan di BI. Langkah yang diambil Menteri Keuangan sebelumnya tidak salah, hanya kurang tepat untuk skala prioritas di mana ekonomi harus terus tumbuh.
Langkah Purbaya untuk memindahkan rekening Pemerintah dari BI ke perbankan umum dengan dalih “memacu pertumbuhan kredit” – yang didorong dengan ketersediaan dana dan suku bunga relatif lebih rendah. Selama ini, seperti keluhan banyak bankir tentang fenomena “jeruk” makan “jeruk” – bank menghimpun dana dari masyarakat lalu ditaruh di surat berharga negara (SBN)) dan Sertifikat Ritel Bank Indonesia. Sementara di pasar bank-bank bersaing dengan SBN.
Sementara otoritas perbankan dengan datanya yang sahih menjelaskan bahwa likuiditas perbankan sangat longgar. Lihat saja, data berbicara sangat jelas: rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) berada di level 27,5 persen, jauh melampaui batas minimum wajib yang hanya 10 persen.
Itu artinya likuiditas di perbankan nasional, secara keseluruhan, ibarat air yang melimpah ruah. Namun jika melihat loan to deposit ratio bank-bank besar (BUMN) sudah berada pada angka 90 persen-93 persen. Jelas ini ketat, dan semua bankir yang ditemui likuiditas sulit diburu dan harganya mahal (dua ratus basis poin) dari counter rate.
Namun pertanyaan yang menarik. Jangan salah mendiagnosa penyakitnnya. Pertumbuhan kredit yang lambat, yang hanya berkisar di angka 7 persen, ada yang menilai bukan disebabkan oleh kekurangan likuiditas secara agregat. Akar masalahnya justru terletak pada lemahnya permintaan kredit (low credit demand) dan adanya alternatif penempatan dana yang lebih menarik bagi bank.
Pada Juni 2025, undisbursed loan atau kredit yang telah disetujui namun belum dicairkan justru meningkat 9,5 persen. Ini sinyal bahwa dunia usaha sedang menahan napas, menunda ekspansi karena tingginya ketidakpastian dan risiko ekonomi. Di sisi lain, bank-bank memiliki opsi investasi yang aman dan menguntungkan seperti Surat Utang Negara (SUN), SBN, atau SRBI yang baru diluncurkan BI.
Mengapa harus meminjamkan ke sektor riil yang berisiko tinggi jika bisa menempatkan dananya di instrumen pemerintah yang pasti? Namun kayakinan Purbaya perlu digarisbawahi, mantan Ketua Dewan Komisioner LPS ini memahami benar tentang likuiditas ini. Bahkan, bunga penjaminan LPS selama ini tidak diotak-atik dan cenderung lebih rendah agar suku bunga bisa turun.
Mazhab Purbaya dengan membanjiri pasar dengan likuiditas dan menyeimbangkan peran swasta dan pemerintah merupakan harapan baru. New Hope! Bahwa sektor riil dan kepastian usaha juga harus diselesaikan oleh pemerintah. Jangan sampai kebijakan membanjiri pasar dengan likuiditas yang salah sasaran. Misalnya, dana dari pemerintah di bank Himbara ini tidak disalurkan ke kredit, tapi akan “dikembalikan” ke pemerintah dan BI dengan suku bunga yang lebih mahal.
Itu terjadi karena sektor riilnya takut berbisnis akibat banyaknya ketidakpastian dan dampak psikologis dari kerusuhan. Selain itu, sudah seharusnya mazhab kebijakan moneter dan fiskal saling seiring. Bukan saling berjalan sendiri dengan targetnya sendiri-sendiri. Bahkan, saat ini Indonesia membutuhkan likuiditas di pasar dengan suku bunga yang rendah, dan tentu pemerintah segera membelanjakan anggarannya.
Semoga “mazhab” baru tentang membanjiri likuiditas ini mampu menjawab kelangkaan likuiditas di bank-bank yang ukurannya relatif kecil, dan mampu mendorong kredit dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan naik dengan kualitas yang lebih baik, karena memberi ruang swasta dan pemerintah untuk tumbuh bersama.
Jangan mengulang cara lama yaitu berutang dengan bunga tinggi secara membabi buta. Apalagi setelah berutang uangnya disimpan dalam brankas BI dengan alasan sebagai “bantal cadangan” fiskal. Jangan pula bernafsu kembali berutang hanya untuk meng-entertain Sang Presiden seperti sepuluh tahun lamanya, dan sekarang menyimpan “bom waktu” dalam fiskal 2025-2027.
Pak Menkeu, jangan naikan pajak lagi, tutuplah lubang kebocoran dari underground ekonomi yang selama 10 tahun terakhir ini mencapai Rp6.000 triliun dan jangan potong terlalu besar dana ke daerah karena akan membuat ekonomi daerah “termehek mehek”.
Selamat bertugas Mr. Minister of Finance, Purbaya!
Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More
Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More
Poin Penting Kementerian PKP tengah memetakan kebutuhan hunian bagi korban banjir bandang di Sumatra melalui… Read More
Poin Penting Livin’ Fest 2025 resmi digelar di Denpasar pada 4-7 Desember 2025, menghadirkan 115… Read More
Poin Penting Rupiah berpotensi menguat didorong ekspektasi kuat pasar bahwa The Fed akan memangkas suku… Read More
Poin Penting Pertamina EP memperkuat praktik keberlanjutan dan transparansi, yang mengantarkan perusahaan meraih peringkat Bronze… Read More