Jakarta – Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV-2022 mencatatkan surplus sebesar US$4,7 miliar. Namun, bila dilihat secara tahunan (yoy) NPI mengalami penurunan yang cukup tajam dari surplus US$13,460 miliar di 2021 menjadi surplus US$3,999 miliar di 2022.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan, hal ini perlu diwaspadai bila dilihat yang menjadi sumber utama NPI adalah kenaikan ekspor komoditas akibat disrupsi rantai pasok, imbas dari geopolitik.
Menurutnya, NPI mengalami surplus di tahun 2022 tetapi diluar kenormalan, dimana surplus berasal dari perdagangan barang yang disebabkan oleh windfall profit dari kenaikan harga yang tidak akan bertahan lama.
“Ini karena disrupsi yang terjadi karena kondisi perang Rusia-Ukraina dan kalau disrupsinya semakin kecil dan tidak signifikan serta orang sudah mencari alternatifnya, akibatnya harga-harganya tidak lagi tinggi. Sehingga, kita tidak bisa lagi menikmati surplus NPI,” ujar Yose dalam Media Briefing, Senin, 20 Februari 2023.
Secara rinci, surplus neraca perdagangan barang didorong oleh kenaikan ekspor yang cukup tinggi sebesar 26% dibandingkan dengan tahun 2021. Ini ditunjang oleh kenaikan ekspor komoditas andalan Indonesia, termasuk batubara dan gas meningkat 65% dan manufaktur naik 22%.
“Selain itu ekspor kelapa sawit hanya meningkat sebesar 7% meskipun harga minyak kelapa sawit meningkat tajam selama 2022, disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor,” jelasnya.
Kemudian, untuk ekspor produk manufaktur didominasi oleh produk-produk yang berbasis sumber daya alam, berkontribusi atas 38% dari ekspor manufaktur, termasuk ekspor produk besi baja yang meningkat sebesar 34%.
Sementara itu ekspor manufaktur ringan, sepatu, garmen, furniture, dan lain-lain masih mengalami peningkatan meskipun telah terlihat tren penurunan sejak kuartal III-2022.
“Yang juga menunjukkan prospek peningkatan adalah ekspor manufaktur berat, seperti produk permesinan, kendaraan bermotor dan lain-lain, yang saat ini berkontribusi 27% dari ekspor manufaktur,” pungkas Yose.
Untuk itu, lanjutnya, perlu diwaspadai berhentinya windfall harga komoditas yang juga akan berpengaruh terhadap NPI.
“Sebenarnya defisit atau surplus tersebut itu tidak terlalu bermasalah, kalau keduanya saling menutupi, neraca pembayaran itu ada dua bagian besar yaitu, neraca berjalan dan neraca finansial, kalau neraca berjalannya negatif diusahakan neraca finansialnya positif supaya menutupi atau sebaliknya,” tukasnya.
Kemudian, bagian lain dari neraca berjalan masih menunjukan defisit yang melebar. Defisit neraca perdagangan jasa meningkat dari US$14,599 miliar di 2021 menjadi US$20,041 miliar di 2022.
Sedangkan, neraca transaksi financial mengalami tekanan terkait dengan ketidakpastian global di 2022. Surplus US$12,423 miliar dollar di tahun 2021 turn menjadi defisit US$8,916 miliar di tahun 2022. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2024 mencapai Rp8.460,6 triliun,… Read More
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat uang beredar (M2) tetap tumbuh. Posisi M2 pada Oktober 2024 tercatat… Read More
Jakarta - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) kembali meraih peringkat "Gold Rank" dalam ajang Asia… Read More
Jakarta – Menjelang akhir 2024, PT Hyundai Motors Indonesia resmi merilis new Tucson di Indonesia. Sport Utility Vehicle (SUV)… Read More
Jakarta - Romy Wijayanto, Direktur Keuangan & Strategi Bank DKI menerima penghargaan sebagai Most Popular… Read More