Poin Penting
Jakarta – Penyelenggaraan Conference of the Parties ke-30 (COP30) yang saat ini sedang berlangsung di Belem, Para, Brasil, menjadi momentum bagi negara-negara di dunia untuk meninjau komitmen dan langkah nyata dalam menekan laju pemanasan global.
Indonesia turut menjadi salah satu negara yang berpartisipasi dalam ajang tahunan yang diinisiasi oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) ini.
Terlepas dari cukup besarnya sorotan global terhadap COP30, event tahunan ini juga tidak terhindar dari kritik. Event tahunan ini dinilai masih lemah dalam mendukung tercapainya ekosistem ekologi yang berkelanjutan, khususnya dalam hal pendanaan iklim atau ekonomi hijau.
Baca juga: Dari Brasil, Indonesia Gaungkan Ekonomi Hijau dan Keadilan Iklim di COP30
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan bahwa masih banyak negara maju dengan sistem ekonomi hijau yang lebih maju, membantu negara-negara berkembang dan miskin dengan pendekatan pembiayaan berbasis utang ketimbang dana hibah.
Bhima menjelaskan, dari penyelenggaraan COP pertama pada 1995 hingga COP30 di 2025, konsep pendanaan hijau yang disepakati telah banyak melenceng dari jalurnya. Apalagi, dalam Perjanjian Paris, yang diteken pada 2015 lewat event COP21, disebutkan bahwa negara maju memiliki mandat untuk membantu negara berkembang melakukan transisi ke energi hijau, bukan hanya dalam pemberian akses, namun pendanaannya.
“Selama ini dianggap bahwa negara-negara maju, lembaga keuangan internasional itu hanya memberikan semacam akses, tapi bukan memberikan dalam bentuk pendanaan,” ujar Bhima saat acara diskusi publik di Jakarta, Selasa, 18 November 2025.
Padahal, banyak negara berkembang dan miskin yang memiliki anggaran terbatas untuk melakukan adaptasi dan mitigasi iklim. Negara-negara maju justru cenderung lebih banyak memberikan dana pinjaman dengan bunga utang ketimbang dana hibah kepada negara-negara berkembang dan miskin dalam membantu mereka mewujudkan transisi energi hijau.
“Misalnya, salah satu temuan yang diinisiasi Reuters menunjukkan, begitu ada isu soal perubahan iklim, banyak negara maju yang mencari profit. Salah satu keuntungan yang paling pasti ialah dengan membeli utang dari negara berkembang dan miskin,” beber Bhima.
Baca juga: Buka Paviliun Indonesia di COP30 Brasil, Ini Pesan Penting Menteri Hanif Faisol
Padahal, lanjut Bhima, secara historis negara-negara maju inilah yang awalnya memulai dosa iklim lewat revolusi industri dan proyek lainnya di negara berkembang saat era kolonialisme, yang banyak memakai energi batu bara atau fosil.
Dosa iklim tersebut dinilainya sebagai utang iklim yang seharusnya ditebus lewat investasi langsung terhadap ekonomi hijau, maupun lewat dana hibah.
“Karena kalau investasi ini kan dia bisa mempercepat dalam konteks beberapa yang bisa dipasarkan atau marketable. Tapi, ada juga yang memang dia tentu tak bisa dipasarkan cara-cara mitigasi iklim ini. Sifatnya seharusnya dalam bentuk hibah,” cetusnya.
Ia lebih jauh memperlihatkan data beberapa negara maju yang dipandangnya memiliki dosa iklim, namun menikmati bunga utang lewat pemberian dana pinjaman kepada negara berkembang dan miskin dalam membantu mewujudkan mitigasi iklim di negara berkembang dan miskin.
Pertama, ada Prancis dengan persentase kontribusi dana pinjaman sebesar 90 persen dari total USD28,1 miliar yang disalurkan. Lalu, Jepang dengan kontribusi dana pinjaman 79 persen dari total USD58,8 miliar, dan Jerman dengan kontribusi dana pinjaman 52 persen dari total USD45,1 miliar.
Sementara Amerika Serikat (AS) memiliki kontribusi dana pinjaman lebih sedikit, yakni 31 persen dari total USD9,5 miliar. Dimana, 48 persennya adalah dana hibah dan 20 persennya adalah instrumen keuangan lainnya seperti obligasi dan saham.
Walaupun demikian, AS menerapkan sejumlah persyaratan untuk menyalurkan dana hibah yang dinilai Bhima, mempersulit negara berkembang dan miskin dalam mengaksesnya, seperti harus membeli teknologi dari AS dan memakai konsultan dari negara maju.
“Utang itu jika dalam konteks membeli surat utang pemerintah, negara maju bisa mendapatkan imbal hasil 6 persen. Bahkan, bila utangnya pada BUMN, imbal hasilnya bisa 8 sampai 10 persen,” terangnya.
Baca juga: Sederet Tantangan RI Terapkan NZE Jelang Konferensi Iklim PBB COP30
Ia pun memberikan contoh, dimana suatu komunitas di Afrika Selatan melakukan penolakan terkait program transisi energi berkeadilan. Ini disebabkan oleh lebih besarnya utang yang ditanggung negara Afrika Selatan.
“Ini juga terjadi di Indonesia. Banyak yang mengkritisi. Hibahnya terlalu kecil dibandingkan pembiayaan utang. Jadi, ada yang menikmati krisis iklim. Krisis iklim makin parah, profitnya makin tinggi,” tukas Bhima. (*) Steven Widjaja
Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More
Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More
Poin Penting IFAC menekankan pentingnya kolaborasi regional untuk memperkuat profesi akuntansi di Asia Pasifik, termasuk… Read More
Poin Penting BAKN DPR RI mendorong peninjauan ulang aturan KUR, khususnya agar ASN golongan rendah… Read More
Poin Penting IHSG menguat ke 8.655,97 dan sempat mencetak ATH baru di level 8.689, didorong… Read More
Poin Penting Konsumsi rumah tangga menguat jelang akhir 2025, didorong kenaikan penjualan ritel dan IKK… Read More