Analisis

Nasib Multifinance Setelah Fee Dibatasi

SE OJK terbaru mewajibkan multifinance memerinci laporan bulanan mereka. Di luar itu, fee bagi diler dan besarnya pinjaman multifinance juga diatur. Seperti apa dampaknya?

Jakarta – Sejak akhir tahun lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melontarkan keinginannya untuk memperketat sistem pelaporan bagi industri multifinance atau perusahaan pembiayaan. Otoritas yang bertugas mengawasi industri keuangan, baik bank maupun nonbank tersebut, ingin agar laporan bulanan multifinance yang diserahkan ke OJK lebih terperinci. Keinginan tersebut sepertinya benar-benar direalisasikan OJK tahun ini.

Februari lalu otoritas yang bermarkas di Lapangan Banteng, Jakarta, tersebut membagikan surat edaran (SE) bagi pelaku di industri multifinance. Ada empat poin besar yang menjadi catatan dalam SE yang diteken Firdaus Djaelani selaku kepala eksekutif industri keungan nonbank (IKNB) itu. Empat poin tersebut terkait dengan pengukuran tingkat kesehatan keuangan, seperti rasio permodalan, kualitas piutang pembiayaan, rentabilitas, dan soal likuiditas. Meski hanya terbagi dalam empat bab besar, SE tersebut memuat puluhan subbab yang memerinci per bagian dengan lebih detail.

Dumoly  F. Pardede, Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK, mengatakan, SE yang akan diberlakukan per Juli tersebut tidak dimaksudkan untuk menambah peraturan yang tertuang dalam peraturan OJK (POJK) yang telah ada sebelumnya. Menurut Dumoly, SE tersebut hanya dimaksudkan untuk membantu industri dalam melakukan pelaporan.

“Ini hanya secara administratif kalau saya lihat. Seperti untuk menghitung cadangan menggunakan agunan itu seperti apa. Untuk membantu industri saja arahnya,” terang Dumoly kepada Infobank.

Dari SE OJK yang beredar ke para pelaku di industri multifinance tersebut, Biro Riset Infobank (birI) melihat bahwa kelak laporan yang harus diberikan multifinance kepada regulator tak lagi sesederhana dulu. Melalui SE tersebut, regulator sepertinya menghendaki laporan yang lebih detail.

Hal tersebut salah satunya bisa dilihat dari laporan soal penilaian piutang pembiayaan. Multifinance tidak saja harus melaporkan kualitas pembiayaan mereka. Lebih dari itu, laporan soal kualitas pembiayaan juga harus menyertakan data soal kemampuan membayar debitor, kinerja keuangan debitor, hingga prospek usaha debitor.

Laporan yang sama detailnya juga bisa dilihat dari penilaian soal bobot risiko aset. OJK bahkan memberikan semacam simulasi bagaimana multifinance harus menghitung pencadangan. Penghitungan pencadangan akan berbeda antara penghitungan dengan menyertakan agunan dan tanpa agunan. Begitu pun dengan penghitungan cadangan dengan asuransi, penjaminan kredit atau tanpa asuransi dan penjaminan kredit.

Terkait dengan penghitungan cadangan, OJK bahkan menegaskan bahwa pihaknya berhak melakukan verifikasi di lapangan. Itu artinya, tidak saja laporan hitam di atas putih yang akan diperiksa. Namun, apa yang sudah dilaporkan multifinance pun akan dicek keabsahannya di lapangan.

Dengan skema pelaporan yang terbaru ini, OJK sepertinya menghendaki ke depan bentuk laporan multifinance ke OJK akan sama dengan yang dilakukan oleh industri perbankan alias lebih detail. Sekilas, sistem baru ini mungkin akan sedikit ribet dan melelahkan. Namun, sebenarnya ada keuntungan lain yang bisa dipetik multifinance dari kondisi ini.

Seperti diketahui, bisnis multifinance terkait erat dengan industri perbankan. Selama ini mayoritas multifinance menjadikan bank sebagai sponsor utama dalam sumber dana mereka. Dengan skema pelaporan yang hampir sama, tentu akan membuat bank lebih mudah dalam melihat kinerja multifinance secara keseluruhan. Hal itu yang kemudian menjadi bahan pertimbangan tatkala bank akan mengucurkan dana ke multifinance. Dengan kata lain, kans multifinance untuk mendapat dana yang lebih besar pun terbuka lebar.

“Kami support dengan adanya aturan baru ini. Pada dasarnya ini dibuat untuk menyehatkan industri. Soal pelaporan, tingkat kesehatan, kemudian anti-money laundering saat ini juga mulai diperhatikan. Pasti akan ada penyesuaian. Konsekuensi itu pasti akan ada,” terang Yudi Dewanto, Head of Corporate Planning & Authorization Departemen AEON Credit Service Indonesia (AEON), menanggapi soal sistem pelaporan yang kini lebih ketat.

Di luar persoalan administratif terkait dengan pelaporan, sebenarnya masih ada dua aturan lain yang mungkin akan berpengaruh pada bisnis dan memengaruhi peta kompetisi multifinance ke depan. Pertama, terkait dengan aturan tentang pinjaman multifinance kepada lembaga lain seperti bank. Nantinya, besar kecilnya pinjaman akan sangat tergantung pada besar kecilnya modal. OJK mensyaratkan bahwa pinjaman subordinasi paling besar 50% dari modal disetor multifinance. Dengan kata lain, multifinance dengan modal besar yang kemudian bisa mengantongi dana yang lebih besar untuk memutar roda bisnis mereka. Selain mengatur komposisi, tenor pinjaman dibatasi paling lama lima tahun.

“Ini akan memacu multifinance untuk meningkatkan modal mereka. Sekaligus untuk mendorong multifinance melakukan IPO (initial public offering) atau rights issue,” imbuh Dumoly.

Kedua, terkait dengan fee yang diberikan multifinance kepada diler. Sebelumnya, OJK tidak mengatur besar kecilnya fee yang diberikan multifinance ke diler. Namun, ke depan, besarnya fee yang diberikan ditentukan sebesar 15%. Terkait dengan hal ini, OJK mengaku akan mengawasi ketat dan memberikan sanksi bagi multifinance yang kedapatan memberikan fee di atas 15% kepada diler. Selama ini tak sedikit multifinance yang memberikan fee dengan nominal 20% hingga 30% dari pendapatan mereka.

“Karena kita mau perusahaan pembiayaan (multifinance) itu fokus pada bisnisnya. Kalaupun mengeluarkan biaya, itu biaya operasional dan inline dengan bisnis mereka. Jangan sampai ini justru bikin fraud,” tandas Dumoly.

Pengaturan fee bagi diler sebenarnya tak semata-mata untuk menjaga membengkaknya biaya yang bakal dikeluarkan multifinance. Lebih dari itu, fee bagi diler yang kemudian dibatasi akan mendorong persaingan di industri menjadi lebih fair.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa besarnya fee yang diberikan multifinance terhadap diler menentukan jalannya bisnis. Makin banyak “angpao” yang diberikan berbanding lurus dengan sedikit banyaknya formulir pembiayaan baru yang kemudian masuk ke multifinance. Hal ini yang kemudian memicu jorjoran fee terjadi di industri multifinance dan kemudian memancing kekhawatiran OJK.

Bagi multifinance yang terafiliasi dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM), peraturan baru ini mungkin tak akan berpengaruh signifikan. Sebab, tanpa harus “berebut”, mereka sudah pasti akan mendapat jatah. Bagi multifinance di luar lingkaran ATPM, pengaturan ini akan mejadi tantangan sekaligus peluang. Bahwa pembatasan fee akan berpengaruh bagi bisnis tentu menjadi kekhawatiran tak sedikit multifinance. Namun, adanya pembatasan tersebut akan membuat perlakuan kepada diler menjadi sama rata dan persaingan di industri menjadi lebih sehat.

Terlepas dari berbagai peraturan baru yang dicantumkan OJK dalam SE terbaru, secara garis besar, perkembangan industri multifinance hingga triwulan pertama tahun ini masih dalam kondisi positif. OJK mencatat non performing financing (NPF) multifinance masih dalam kondisi aman. Kendati piutang pembiayaan mengalami penurunan, hal ini sebenarnya telah diantisipasi regulator dengan melakukan perluasan pembiayaan bagi industri multifinance. (*) Novita Adi Wibawanti

Apriyani

Recent Posts

Intip Proyek Properti Mewah Trump Bersama Raja Media RI, dari Lido hingga Bali!

Jakarta - Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat setelah memenangkan Pemilu 2024 dengan… Read More

28 mins ago

Tingkatkan Kenyamanan Bertransaksi, Bank Mandiri Hadirkan Layanan Verifikasi Bank Garansi

Jakarta - Bank Mandiri menegaskan komitmen untuk menghadirkan inovasi layanan keuangan guna memberikan kenyamanan dan… Read More

1 hour ago

Bos BI Beberkan Dampak ‘Ngeri’ Jika Donald Trump Menang Pilpres AS

Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan hasil sementara Pemilu Amerika Serikat (AS)… Read More

1 hour ago

BI Targetkan Volume Transaksi QRIS Tembus 5,5 Miliar di 2025

Jakarta – Bank Indoensia (BI) menargetkan volume transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada 2025 akan mencapai 5,5… Read More

1 hour ago

Wamenkeu Suahasil Respons PP Hapus Utang Macet Petani hingga Nelayan

Jakarta – Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, merespons keputusan Presiden Prabowo Subianto yang telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP)… Read More

1 hour ago

Adi Sarana Armada Bakal Tebar Dividen Interim Rp73,82 Miliar, Simak Jadwalnya

Jakarta - PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) pada hari ini (6/11) mengumumkan akan melakukan… Read More

2 hours ago