Headline

Multifinance Harus Waspadai Kredit Bermasalah Gelombang Dua

Jakarta — Industri pembiayaan (multifinance) tak luput dari dampak pandemi virus corona (Covid-19). Di era Pandemi ini, multifinance harus rela melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap para nasabahnya yang terkena dampak langsung Covid-19, mulai dari penundaan pembayaran cicilan, hingga perpanjangan tenor pembiayaan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 11 Agustus 2020, progress penerapan program restrukturisasi terhadap debitur yang terdampak Covid-19 mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp150,43 triliun dan bunga sebesar Rp38,03 triliun.

Bambang W. Budiawan, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK menyebut, kontrak yang permohonannya masih dalam proses sebanyak 350.140 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp16,34 triliun dan bunga sebesar Rp3,90 triliun.

“Kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp124,34 triliun dan bunga sebesar Rp31,73 triliun,” tuturnya dalam Infobanktalknews bertema Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal: Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK, Rabu, 12 Agustus 2020.

Sementara itu, lanjutnya, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp9,75 triliun dan bunga sebesar Rp2,40 triliun.

Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif.

Namun, restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir, karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai Multifinance. Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai source of funding terbesar mutifinance, tentu, multifinance harus mencari alternatif pendanaan lainnya.

“Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cashflow akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. apalagi perusahaan pembiayaan ini 89% pendanaan dari pinjaman,” sambung Bambang.

OJK mencatat ada 144 perusahaan pembiayaan dari total 182 perusahaan pembiayaan yang memiliki pendanaan dari kreditur, di mana 26 di antaranya telah mengajukan restrukturisasi ke para krediturnya. Untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kinerja industri perusahaan pembiayaan terap positif, OJK berniat untuk memperpanjang program restrukturisasi.

“Kebijakan restrukturisasi mungkin akan kita perpanjang baik untuk perbankan dan pembiayaan, karena pemulihan ekonomi kita ini akan sangat bergantung pada pemulihan kesehatan masyarakat,” tukas Bambang.

Lantas bagaimana pula kinerja multifinance tahun ini? Data penjualan mobil yang dirilis Gaikindo jelas menunjukkan kelesuan. Fakta ini membuat perusahaan pembiayaan ramai-ramai merevisi target kinerja tahun ini.

Eko B Supriyanto, Chairman Infobank Institute berpendapat, beberapa hal yang akan sangat mempengaruhi industri pembiayaan adalah penundaan cicilan akibat Covid-19 (relaksasi atas penundaan pembayaraan cicilan selama 3 bulan), larangan eksekusi kendaraan jaminan, terhentinya permintaan kredit motor atau mobil baru dan menyangkut jaminan fiducia.

“Nah ini penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi akan berakibat kepada pendapatan. Sehingga yakin profit and loss perusahaan multifinance sangat terkonfirmasi mengalami penurunan,” tegasnya.

Untuk itu, perusahaan multifinance yang melakukan restrukturisasi tetap harus mengantisipasi dengan baik agar debitur yang direstrukturisasi dapat pulih kembali. Bank harus membuka diri bagi perusahaan multifinance yang akan melakukan restrukturisasi. ”Kami juga berharap bank dapat segera memberi kepercayaan kepada mtifinance dalam pengucuran kredit lagi, dan tentu multifinance juga harus meningkatkan GCG dan risk profile nya yang lebih baik,” tegas Eko

Perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi, tetap harus mewaspadai kredit macet gelombang dua, karena biasanya tidak semua yang direstrukturisasi akan pulih kembali. Pengalaman, ada 30% yang tidak bisa mengangsur kembali. ”Mudah-mudahan ekonomi dan daya beli kembali pulih, sehingga tidak sampai angka 30%,” lanjut Eko.

Untuk itu pula, memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang kontraksi, penjualan mobil dan rendahnya daya beli, Eko memperkirakan multifinance akan tumbuh minus 8%-10%. Sementara Bambang B.W memperkirakan kisaran minus 5 plus minus 1. Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Suwandi Wiratno memperkirakan akan kontraksi 2%-3%.

Suwandi juga menekankan agar pelaku industri pembiayaan menjaga kredibilitas dalam menjalankan bisnisnya. Karena masalah trust atau kepercayaan merupakan kunci di industri keuangan.

Akibat yang terjadi atas krisis kepercayaan yang dimulai sejak tahun 2015 sampai 2018 ini, seperti kasus Kembang 88 Finance, Arjuna Finance sampai Sun Prima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance), Suwandi menyebut beberapa perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan pendanaan. “Ini yang perlu kita diskusikan bersama bahwa semoga perbankan dapat memberikan angin segar lagi kepada perusahaan pembiayaan yang memiliki tata kelola yang baik,” tuturnya.

Masih dihantui krisis kepercayaan yang belum sepenuhnya pulih, industri pembiayaan kembali harus menghadapi tantangan Pandemi Covid-19 yang mengerek turun kinerja keuangan. APPI mencatat berdasarkan data OJK per Mei 2020, aset industri mengalami penurunan 1,42% secara setahunan (yoy) menjadi Rp507 triliun. Piutang pembiayaan pun selaras mengalami penurunan 6,4% (yoy) menjadi Rp420 triliun. Sedangkan NPF melonjak ke level 4,1%.

Suwandi juga menyorot bahwa industri otomotif juga mengalami pukulan dan sudah banyak perusahaan yang melakukan langkah menghentikan produksi. Hal ini tentunya turut memberikan dampak signifikan terhadap industri pembiayaan.

Namun demikian, APPI bersama anggotanya telah menyiapkan strategi untuk tetap bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Suwandi mengatakan, industri pembiayaan harus melakukan efisiensi biaya, selektif memilih debitur dan mencari sumber pendanaan baik dari perbankan, nonbank, obligasi, pasar modal, dll.

“Hal yang terpenting adalah seleksi debitur ke depan akan menjadi suatu perubahan pola tidak hanya saat new normal, tapi juga di industri keuangan ke depan. Sumber dana juga sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan pembiayaan karena ini adalah darah dari perputaran bagaimana kita bisa bertumbuh. Kita bisa bertumbuh menjadi industri yang sangat besar tentu tidak terlepas dari dukungan perbankan,” tandasnya. (*)

Editor: Rezkiana Np

Suheriadi

Recent Posts

Jumlah SID Naik, BEI Gaspol Tingkatkan Keaktifan Investor di Pasar Modal

Balikpapan – PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, jumlah single investor identification (SID) menembus 14 juta per… Read More

7 hours ago

Generali Indonesia Beri Perlindungan Asuransi bagi 6.000 Pelari di PLN Electric Run 2024

Jakarta – PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia (Generali Indonesia) terus mendukung berbagai kegiatan yang mempromosikan kesehatan… Read More

7 hours ago

Diikuti 6.470 Pelari, PLN Electric Run 2024 Ditarget Hindari Emisi Karbon hingga 14 ton CO2

Jakarta - Sebanyak 6.470 racepack telah diambil pelari yang berpartisipasi dalam PLN Electric Run 2024… Read More

14 hours ago

Segini Target OJK Buka Akses Produk dan Layanan Jasa Keuangan di BIK 2024

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membidik pencapaian Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2024 sekitar 8,7… Read More

15 hours ago

HUT ke-26, Bank Mandiri Hadirkan Inovasi Digital Adaptif dan Solutif untuk Siap Jadi Jawara Masa Depan

Jakarta - Merayakan usia ke-26, Bank Mandiri meluncurkan berbagai fitur dan layanan digital terbaru untuk… Read More

1 day ago

KemenKopUKM Gandeng Surveyor Indonesia Verifikasi Status Usaha Simpan Pinjam Koperasi

Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menunjuk PT Surveyor Indonesia, anggota Holding BUMN IDSurvey,… Read More

1 day ago