Jakarta – Industri multifinance tengah memasuki masa suram. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan piutang pembiayaan melambat di semester pertama 2020 sebesar 7,3% yoy. Perlambatan ini tak bisa dilepaskan dari adanya penurunan laba seiring dengan sepinya permintaan pembiayaan pada semester pertama 2020.
Hal ini pun diperparah dengan adanya restrukturisasi pembiayaan yang membuat pendapatan tertekan. Hingga Juni 2020, OJK melaporkan pengajuan restrukturisasi tercatat sebanyak 4,41 juta kontrak dengan total outstanding mencapai Rp172,7 triliun. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila di paruh pertama 2020 ini, hanya ada dua perusahaan multifinance yang mencetak pertumbuhan laba bersih, yakni PT Danasupra Erapacific Tbk dan PT Fuji Finance Indonesia Tbk, dari 16 perusahaan multifinance yang sudah mempublikasikan laporan kinerjanya pada bulan lalu.
Mengkhawatirkan memang bila melihat realita tersebut. Namun demikian, bukan berarti industri multifinance tak bisa berbuat banyak. Dibantu oleh OJK yang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam meringankan beban pelaku pasar multifinance, kali ini giliran perusahaan multifinance menetapkan beberapa strategi untuk menghadapi masa panceklik yang waktunya bisa bakal lama ini.
Menurut Hery Gunardi selaku Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (Bank Mandiri), ada beberapa strategi yang perlu diambil oleh perusahaan multifinance agar dapat melewati masa panceklik ini dengan selamat. Pertama, ia menjelaskan, perusahaan multifinance perlu bersifat selektif terhadap sektor ekonomi yang sedang kurang kondusif. Hal ini perlu diperhitungkan dalam rangka menekan laju non performing financing (NPF).
“Kita mesti selektif ya dalam memilih debitur. Jadi tetap tumbuh, tapi dengan selektif,” terangnya, saat menjadi pembicara di acara Infobank 16th Multifinance Awards 2020 yang diadakan secara virtual.
Menjadi selektif menurutnya perlu dilakukan karena biar bagaimana pun, perusahaan multifinance harus tetap prudent di kala kondisi krisis seperti ini. Di samping tetap meningkatkan aktivitas collection dan recovery, atau pembiayaan progresif.
Kemudian, yang kedua, penyesuaian terhadap financing to value (FTV) juga perlu dilakukan di kala situasi seperti ini. “Kita juga liat tergantung dari segmennya karena kami juga membiayai berbagai segmen, ada segmen satu terdiri dari pegawai negeri (ASN, TNI, Polri), segmen dua misalnya BUMN, lalu segmen tiga misalnya swasta yang dikategorikan lagi ada swasta berskala besar atau nasional dan seterusnya,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, dengan pemilihan target market yang tepat, bukan hanya mengamankan tenor dan FTV sehingga tidak merisikokan lembaga pembiayaan, tapi juga tidak memberatkan debiturnya. Selain itu, ia pun menyarankan perusahaan pembiayaan untuk memaksimalkan sumber daya manusia demi collection dan recovery, alokasi dan manajemen anggaran yang baik, serta akselerasi atau pemanfaatan teknologi digital secara maksimal. (*) Stephen
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More
Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengapresiasi kesiapan PLN dalam… Read More