Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
BANK-BANK masih “puasa” kredit. Sudah sembilan bulan bank belum juga “berbuka” kredit. Padahal, harapannya di Maret 2021 ini banyak yang berharap bank-bank sudah mengucurkan kredit. Tapi, boleh jadi bank akan berbuka dari puasa kredit di Triwulan II tahun ini.
Harapan itu wajar saja, karena banyak “doping” dari Kementerian Keuangan RI berupa insentif pajak penjualan rumah dan mobil. Juga, dorongan dari Bank Indonesia berupa DP 0 persen dan OJK dengan perpanjangan restrukturisasi kredit hingga 2022 dan relaksasi menyangkut BMPK.
Menurut data Infobank Institute yang diolah dari Bank Indonesia, setahun terakhir ini kredit kontraksi 4,13% (Maret 2020-2021). Kontraksi terdalam jika dibandingkan akhir Desember 2020.
Hal itu bisa jadi, seperti diungkapkan Infobank Institute karena pada Maret 2020 lalu nilai tukar rupiah terdepresiasi lebih besar dibandingkan Maret 2021 ini. Rupiah di 30 Maret 2020 sempat melonjak dikisaran Rp16.337 untuk satu dolar duit Trump.
Sementara Maret 2021 US$/rupiah Rp14.400. Karena nilai tukar itu, akan berdampak pada posisi kredit bank-bank devisa yang punya portofolio kredit. Namun kontraksi kredit tahun ini tetap menggambarkan permintaan masih lemah. Juga, karena “hantu” Loan at Risk (LAR) yang mencapai 25% dari portofolio kredit.
Menurut catatan Infobank Institute ada banyak faktor, selain faktor kesehatan masing-masing bank – yang menyangkut permodalan, likuiditas, non performing loan (NPL) dan kapasitas bank itu sendiri. Utamanya, soal kredit bermasalah – termasuk di dalamnya loan at risk (LAR).
Ada beberapa hal sehingga kredit bisa lancar mengalir. Satu, konsumsi rumah tangga. Dua, daya beli masyarakat yang sering kali disebut M2. Tiga, “banderol” suku bunga kredit. Empat, penjualan eceran, seperti departemen store dan toko kelontong termasuk retail modern dan tradisional. Penurunan suku bunga belum menjadi daya tarik utama permintaan kredit. Lebih kepada daya beli masyarakat.
Insya Allah Bank “Berbuka” Kredit Triwulan II
Ruang untuk ekspansi kredit perbankan masih lebar. Posisi loan to deposit ratio (LDR) berkisar 80-81%. Itu artinya, bank-bank terus “minum” likuiditas. Meski bank-bank besar juga sudah menurunkan suku bunga baik dana dan kredit, tapi hasilnya berbeda. Suku bunga kredit sudah turun, tapi kredit masih minus. Sebaliknya, meski suku bunga dana terus turun, tapi brankas bank makin penuh meski punya tendensi tumbuh melambat.
Lihat data Infobank Institute yang diolah dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada akhir tahun 2020 DPK tumbuh 11,11%. Per Maret 2021 DPK tumbuh 9,20%. Jika melihat data per bulan, DPK Maret 2021 kembali naik setelah sebelumnya minus 0,29%. Bank-bank lebih terus “minum” dana meski tidak mampu “kencing” kredit.
Kemana bank-bank menanamkan kelebihan dananya? Bank-bank lebih doyan membeli surat berharga Negara. Meski yield-nya kecil jika dibandingkan suku bunga kredit (6,5-6,75%) berjangka 10 tahun, tapi zaman COVID-19 ini sepertinya bankir masih merasa nyaman di SBN. Aman. Tidak ada risiko.
Lihat saja data kepemilikan SBN oleh perbankan. Awal tahun 2020 bank masih memegang SBN sebesar Rp622 triliun, terus membesar menjadi Rp1000 triliun pada Juni 2020. Tidak berhenti, bank terus “doyan” SBN, pada akhir tahun 2020 menjadi Rp1.375 triliun dan pada Maret lalu membesar lagi menjadi Rp1.587 triliun.
Lalu, kapan perkiraan bank “berbuka” kredit setelah puasa panjang? Jika melihat data-data Maret 2021 dan juga adanya Lebaran di bulan Mei 2021, setidaknya pada Triwulan II tahun ini ada optimisme kredit akan mulai naik meski tipis tipis. Indikasinya, adalah membaiknya interest coverage ratio (ICR) perusahaan membaik. Menurut data BI, jika dibandingkan, ICR per Maret 2021 ini yang mencapai 1,29% lebih baik dari Juni 2020 yang berada pada level 0,32%.
Interest coverage ratio adalah rasio untuk menilai seberapa besar kemampuan perusahaan membayar bunga dari utang yang masih tercatat dalam pembukuannya. Rasio ini dapat dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (earnings before interest and taxes / EBIT) dengan bunga utang yang jatuh tempo dalam periode tertentu.
Harapannya dengan membaiknya ICR ini setidaknya bisa mendekatkan persepsi risiko antara bankir dengan debitur. Bank-bank mulai “berbuka” kredit selain karena para debitur mempunyai daya tahan yang lebih baik dalam membayar pinjamannya, tapi juga “doping” yang diberikan oleh pemerintah bisa menggerakan sektor riil.
Namun memang kredit tahun ini tidak seoptimis yang digambarkan sebelumnya. Pertumbuhan kredit akan bergerak pada angka moderat 4-5% dan sepertinya sulit akan menembus angka 7,5%. Alasannya, karena asumsi yang digunakan sebelumnya adalah angka RBB bank yang dimulai Januari 2021, dan ternyata bank-bank masih “puasa” kredit sampai Maret 2021 ini.
Insya Allah bank-bank akan “berbuka” kredit di Triwulan II tahun 2021 sambil bersih-bersih LAR yang akan menjadi NPL. Selama ini bank-bank menderita “kolesterol” berupa LAR, tapi siapa tahu dengan membaiknya interest coverage ratio debitur memberi keyakinan para bankir. Tapi, memang tidak bisa dipaksakan bank-bank untuk mengucurkan kredit.
Bank punya caranya sendiri, kapan “puasa” dan kapan “berbuka” kredit karena memang sejatinya pendapatan bank lebih banyak dari kredit. (*)
Jakarta - Program makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai memberikan dampak… Read More
Jakarta – PT Bank HSBC Indonesia (HSBC Indonesia) mencetak pertumbuhan dana kelolaan nasabah kaya (afluent) menembus… Read More
Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina Samirin Wijayanto, menilai bahwa kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 membawa dampak… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti perkembangan digitalisasi yang semakin canggih, memudahkan, dan lebih… Read More
Jakarta – Direktur BCA Haryanto Budiman menilai kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 dapat… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 7 November 2024, ditutup ambles… Read More