Jakarta – Stablecoin adalah aset digital yang semakin populer. Sebab, stablecoin memiliki valuasi yang lebih stabil dibandingkan dengan harga bitcoin.
Karena itu, stablecoin dianggap sebagai jembatan antara mata uang kripto yang cenderung lebih volatil dengan sistem keuangan tradisional. Ini karena konsep dasar dari stable coin adalah mempertahankan nilai yang konsisten dengan aset tertentu. Contohnya misalkan seperti dolar AS atau komoditas lain seperti emas.
Namun, apakah stablecoin benar-benar bebas dari volatilitas, atau adakah kondisi tertentu yang memengaruhi nilainya?
Stablecoin adalah mata uang kripto yang menawarkan harga yang stabil. Hal tersebut dapat dilakukan karena stablecoin mengaitkan nilainya pada aset yang lebih stabil. Terdapat tiga kategori utama stablecoin berdasarkan mekanisme yang digunakan untuk menjaga harga mereka:
Stablecoin jenis ini mendapatkan dukungan penuh dari mata uang fiat seperti dolar AS, euro, atau yen. Mekanisme ini membantu menjaga nilai stablecoin tetap dekat dengan aset patokannya. Contoh stable coin berbasis fiat yang paling dikenal adalah Tether (USDT) dan USD Coin (USDC).
Setiap unit stablecoin ini didukung oleh cadangan aset fiat dalam jumlah yang setara. Misalkan, satu USDT senilai USD1 akan di cadangkan USD1 menutupi nilai tersebut.
Beberapa stablecoin mengaitkan nilainya dengan komoditas. Salah satunya misalkan seperti PAX Gold (PAXG). Stable coin ini merupakan stablecoin yang nilainya terikat dengan harga emas.
Jenis stablecoin ini menawarkan alternatif bagi pengguna yang ingin menyimpan nilai dalam bentuk digital tetapi tetap memiliki jaminan yang lebih nyata dan konvensional seperti komoditas fisik.
Berbeda dari dua jenis stable coin sebelumnya, stablecoin algoritmik mengandalkan sistem otomatis untuk menjaga keseimbangan harganya. Alih-alih memiliki cadangan aset nyata, stablecoin ini menggunakan algoritma dan kontrak pintar untuk mengatur pasokan dan permintaan di pasar.
Sistem kerjanya kurang lebih sebagai berikut. Jika harga turun di bawah nilai yang dijadikan patokan, sistem secara otomatis mengurangi pasokan. Ini berlaku sebaliknya yaitu jika harga naik maka pasokan akan ditambah.
Contoh stablecoin algoritmik adalah TerraUSD (UST). Walaupun memang, pada akhirnya UST gagal mempertahankan nilainya. Sehingga tentunya menyebabkan kerugian besar bagi banyak penggunanya.
Baca juga: Bitcoin Tembus USD70.000, Ini Deretan Pemicunya
Secara teori, stablecoin dirancang supaya nilainya tetap stabil dan tidak berfluktuasi seperti Bitcoin atau Ethereum. Namun, dalam praktiknya stablecoin tetap volatit.
Terdapat beberapa situasi di mana volatilitas ini masih dapat terjadi. Volatilitas di stablecoin lebih sering terjadi karena faktor eksternal atau kelemahan dalam sistem yang mendukung stablecoin tersebut. Berikut adalah beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan fluktuasi harga antara lain:
Kepercayaan publik merupakan faktor penting yang menjaga stabilitas stablecoin. Kasus Tether (USDT) adalah salah satu contoh munculnya kekhawatiran bahwa cadangan dolar yang seharusnya mendukung setiap USDT tidak sepenuhnya tersedia. Keraguan tersebut lantas dapat memicu penurunan harga di pasar.
Perubahan regulasi bisa memengaruhi stabilitas stablecoin. Lebih lagi, pemerintah berbagai negara mulai mengawasi penggunaan stablecoin. Ini karena stablecoin dianggap sebagai ancaman bagi sistem keuangan tradisional.
Maka, jika terjadi pelarangan atau regulasi ketat, likuiditas stablecoin dapat terganggu dan memengaruhi nilainya. Misalnya, jika suatu negara melarang penggunaan USDC. Maka, permintaan terhadap stablecoin tersebut akan menurun yang akan berdampak pada terbentuknya tekanan terhadap harga.
Stable coin memang memiliki nilai tetap di bursa utama, pasar sekunder, atau di bursa dengan likuiditas rendah. Kendati demikian, harga stablecoin bisa berbeda dari nilai patokannya.
Hal tersebut Ini menciptakan fenomena yang disebut slippage. Fenomena ini adalah perbedaan kecil dalam harga bisa terjadi saat proses jual-beli. Adapun, fenomena ini terjadi terutama jika ada lonjakan permintaan atau penawaran.
Meskipun terdapat risiko volatilitas, stablecoin secara umum dianggap memiliki volatilitas yang jauh lebih rendah dibandingkan mata uang kripto seperti Bitcoin atau Ethereum. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor utama.
Faktor pertama adalah dukungan yang nyata. Misalkan, stablecoin berbasis fiat memiliki aset cadangan yang nyata dan dapat diverifikasi. Tentu, hal ini memastikan bahwa setiap unit koin memiliki jaminan nilai yang setara.
Kedua, stablecoin lebih sering digunakan untuk transaksi harian atau sebagai penyimpan nilai dalam ekosistem keuangan digital. Hal ini membantu mengurangi tekanan beli dan jual yang berlebihan. Tentu, kecenderungan ini menjadi faktor yang menjaga kestabilan harga.
Baca juga: Kehadiran ETF ETH dan ETF Bitcoin Spot Bikin Investasi Kripto Makin Cuan
Terakhir, stable coin menjadi komponen penting dalam layanan DeFi (Decentralized Finance) seperti pinjaman, staking, dan transaksi lintas negara. Ini karena valuasi stablecoin yang stabil membuatnya ideal untuk digunakan dalam aktivitas keuangan ini.
Stablecoin dirancang untuk sebagai alternatif mata uang kripto dengan valuasi yang stabil. Ini dilakukan dengan mengikat nilai stablecoin pada aset fiat, komoditas, atau menggunakan mekanisme algoritmik.
Namun, stable coin tetap bukan nihil risiko. Faktor seperti krisis kepercayaan, perubahan regulasi, dan kegagalan algoritmik bisa memicu fluktuasi harga.
Maka, memahami jenis dan mekanisme stablecoin sangat penting untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan. Lebih dari itu, pemilihan stablecoin yang tepat dan langkah mitigasi risiko yang baik bisa menjadi solusi efektif untuk kebutuhan transaksi digital. (*)
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 23 Desember… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) beserta seluruh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More