Analisis

Mewaspadai Gelombang Kedua Kredit Macet Setelah Restrukturisasi

oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank

POTRET bank tahun ini bisa saja masih tampak kinclong. Kredit-kredit macet yang direstrukturisasi masih dianggap lancar. Meski kualitas kreditnya lancar, tapi bisa jadi net interest margin (NIM)-nya kempis. Bukan soal kualitas cuan yang jadi deg-degan para bankir. Adanya ancaman gelombang kedua kredit macet itulah yang jadi soal.

Kredit macet gelombang kedua adalah kredit yang sebelumnya lancar hasil restrukturisasi kemudian macet lagi. Potret paling nyata akan terlihat setelah program relaksasi itu selesai 31 Maret 2021. Namun, bisa saja lebih cepat dari rencana, jika bank-bank tidak cermat melakukan restrukturisasi debiturnya.

Efek COVID-19 telah memukul debitur UMKM dan tentunya sektor korporasi. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sudah sedia payung sebelum hujan NPL. Lewat POJK Nomor 11/POJK.03/Tahun 2020 tentang Restrukturisasi Kredit. Paket itu intinya kredit macet UMKM menjadi lancar setelah dilakukan restrukturisasi. Atau, sering kali disebut stimulus – sebagai kebijakan countercyclical dampak COVID-19.

Secara ringkas, POJK stimulus itu mengatur pokok-pokok relaksasi sebagai berikut: relaksasi penetapan kualitas kredit, penetapan kualitas lancar terhadap kredit yang direstrukturisasi, dan tambahan fasilitas penyediaan dana. Ketiganya dilonggarkan.

Apakah lewat penundaan pokok, penurunan bunga, perpanjangan jangka waktu, atau penyertaan kredit menjadi penyertaan modal sementara. Atau, kombinasi dari itu. Semua tergantung pada masing-masing bank dan kondisi masing-masing debitur.

Realisasi kredit macet yang direstrukturisasi tiap hari berubah. Awal April 2020 masih pada angka Rp91 triliun. Dua minggu kemudian (14 April 2020) naik menjadi Rp115 triliun. Lalu, awal Mei 2020 sudah menembus Rp207 triliun.

Pertengahan Mei 2020, berdasarkan data OJK, sudah berada pada angka Rp336,97 triliun. Hampir semua bank melakukan restrukturisasi kredit. Dari 110 bank, yang sudah melakukan restrukturisasi kredit sebanyak 88 bank. Debitur yang sudah melakukan restrukturisasi sebanyak 3,88 juta debitur, 3,42 juta di antaranya kelompok UMKM.

Angka kredit yang akan direstrukturisasi diperkirakan akan mendaki. Secara pasti belum diketahui. Jika memakai perkiraan angka dari Ketua OJK, potensi kredit yang direstrukturisasi sebanyak Rp1.114,5 triliun. Itu artinya, baru 20% dari total kredit perbankan Rp5.536 triliun.

Tidak mudah dalam suasana pandemi COVID-19 ini. Setidaknya, sulit ketemu debitur. Atau, hanya sekadar melihat di lapangan, karena aturan pembatasan. Di dalam bank sendiri masih banyak tantangan, antara lain menyeimbangkan kebutuhan debitur dengan kapasitas likuiditas bank.

Juga, menyangkut kualitas governance dan integritas para bankir dengan debitur yang menentukan kelancaran dan kualitas restrukturisasi. Untuk itu, bank perlu memastikan tidak ada moral hazard atau penumpang gelap. Bank juga harus memastikan debitur yang direstrukturisasi bisa lancar kembali.

Pertanyaannya, apakah kredit yang direstrukturisasi itu akan benar-benar lancar? Sulit untuk mengatakan 100% kembali lancar. Untuk sektor UMKM, kesulitan sekarang bukan menyangkut ketidaksanggupan membayar cicilan pinjaman, melainkan menyangkut likuiditas atau arus kas debitur yang berat.

Mengambil pengalaman negara lain, seperti Amerika Serikat, 51% dalam tiga bulan sektor UMKM-nya semaput. Nah, jika mengambil angka 20%-30% dari potensi kredit yang direstrukturisasi, katakanlah Rp1.000 triliun, maka yang akan jadi bangkai kredit macet Rp200 triliun-Rp300 triliun. Itu angka moderat. Namun, angka itu akan memberi tambahan NPL sebesar 4%-6%.

Itulah ancaman kredit macet gelombang kedua. Jadi, permainan sesungguhnya baru akan dimulai setelah dilakukan restrukturisasi. Untuk itu, pastikan kekuatan modal dan likuiditas bank untuk menghadapi ronde kedua efek COVID-19 ini. Pilihlah debitur yang benar-benar masih punya kemampuan untuk hidup kembali. Jika tidak, sudah seharusnya dilakukan penyelesaian kredit macet – tapi perlu dikasih napas dulu, maksimal enam bulan.

Jadi, jangan senang dulu jika sekarang kreditnya dinilai lancar, padahal pura-pura lancar. Mari mewaspadai kredit macet gelombang kedua ini. Jangan pertaruhkan integritas dalam menangani restrukturisasi kredit ini. (*)

Paulus Yoga

Recent Posts

Begini Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Tahun Depan

Jakarta - Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar bisa menghindari middle income trap.… Read More

36 mins ago

IHSG Sesi I Ditutup pada Zona Hijau ke Level 7.199

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I hari ini (22/11) ditutup… Read More

2 hours ago

Maya Watono Resmi Diangkat jadi Dirut InJourney

Jakarta – Maya Watono resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (Dirut) Holding BUMN sektor aviasi dan… Read More

2 hours ago

Dorong Pelaku UMKM Naik Kelas, BRI Telah Salurkan KUR Rp158,6 T per Oktober 2024

Jakarta - PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp158,60… Read More

4 hours ago

OJK Panggil dan Awasi Ketat KoinP2P, Ini Alasannya

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tegas melaksanakan langkah-langkah pengawasan secara ketat terhadap PT… Read More

4 hours ago

149 Saham Hijau, IHSG Dibuka Menguat 0,48 Persen

Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (22/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More

5 hours ago