Oleh Eko B. Supriyanto Pemimpin Redaksi Infobank
DEBITUR sontoloyo mulai bergentayangan. Para debitur yang selama ini memanfaatkan restrukturisasi kredit mulai kelihatan wujud aslinya. Lebih parah lagi – meski perusahaannya masih beroperasi – para “bandit” kredit itu tetap macet. Tidak mau membayar utangnya. Dan, menuduh bank telah merugikan negara. Ngeri.
Siapa sebenarnya yang jadi “bandit” kredit jika ada debitur yang tidak mau membayar pinjamannya – meski perusahaan masih beroperasi. Ngotot, mempertahankan agunannya, dan minta restrukturisasi karena alasan COVID-19. Padahal, restrukturisasi itu adalah subjektivitas bank. Bukan hak dari debitur. Nah, kini makin banyak debitur bermain jurus “Wiro Sableng” dengan melaporkan bank telah merugikan negara karena dirinya tidak membayar pinjaman yang sudah masuk kategori macet. Tren nasabah sontoloyo ini juga terjadi pada bank-bank asing, swasta dan BPD. Banyak yang bermain di jalur PKPU.
Serangan debitur sontoloyo ini sejurus, searah dan parah. Betapa tidak, mereka menuduh bank pelat merah telah merugikan negara. Kaki tangan debitur sontoloyo ini biasanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti rasuah. Demo ke Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, dan tak jarang di depan Gedung DPR RI. Diliput media untuk diviralkan. Mereka mendesak pihak berwajib untuk segera memeriksa bank, karena dinilai telah merugikan negara. Di mana akal sehatnya?
Sekali lagi – kredit macet bukanlah tindak pidana perbankan. Kredit macet yang diberikan sesuai kaidah, dan prosedur yang sesuai standar perkreditan, bukanlah kerugian negara. Kredit macet merupakan risiko bisnis. Jadi, agak aneh jika debitur yang menunggak justru menuduh bank merugikan negara.
Kredit macet – di mana bank yang mengalami kerugian, tapi justru malah sering kali disalahkan. Bank kerap dituduh merugikan negara. Katanya, banklah yang harus diperiksa. Ini aneh bin ajaib. Harusnya debitur yang menunggak itulah yang dikejar. Laporan debitur seperti inilah yang harus diabaikan. Debitur seperti ini mesti dimiskinkan untuk membayar pinjaman yang sudah dinikmati. Bukan dibiarkan melenggang, yang membuat perbankan garuk-garuk kepala.
Kasus-kasus model begini banyak terjadi. Para bankir sering direpotkan dengan urusan yang, jujur saja, sudah jelas. Debitur macet tidak mau bayar utang. Bandel. Nah, ketika bank hendak menyelesaikan kredit macetnya, seperti menjual agunan, masalah mulai muncul. Para debitur sontoloyo ini melakukan perlawanan dengan cara menuduh bank telah merugikan negara.
Kini, dalam tiga bulan terakhir ini, ada dua bank pelat merah yang didesak oleh LSM untuk segera diperiksa terkait dengan kredit macet. Sebelum kasus Bank Mandiri dengan PT Titan Infra Energy, ada BNI yang dituduh telah mendanai kredit batu bara kepada perusahaan di Sumatra Selatan. BNI dan Bank Mandiri didesak untuk diperiksa oleh Kejaksaan Agung RI, sebab dinilai telah merugikan negara karena kreditnya macet.
Menurut catatan Infobank Institute, pada 2018 Titan Infra Energy mendapatkan fasilitas pinjaman sindikasi dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), CIMB Niaga, dan Credit Suisse AG. Nilai kredit sebesar US$450 juta, itu setara dengan Rp6,5 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS).
Karena terkena dampak COVID-19, kredit tersebut “batuk-batuk” dan angsurannya “Senin Kamis”, maka dilakukan restrukturisasi kredit. Tapi, sejak Februari 2020 kredit mulai macet. Tidak ada angsuran lagi yang masuk ke brankas ketiga bank tersebut. Padahal, kewajiban nasabah harus menyetor 20% ke bank, dan 80% untuk dana operasional. Janji tersebut tidak ditepati, dan akhirnya kredit macet, dan bank harus melakukan penyelamatan kredit.
Dari situlah pangkal soal dimulai, karena pihak bank hendak melakukan eksekusi jaminan dengan menjual kepada investor. Bank tidak mau melakukan restrukturisasi kredit kembali – karena sejak Februari 2020 tidak ada angsuran, meski perusahaannya masih beroperasi, dan harga batu bara sedang tinggi. Pertanyaan standar, perusahaan masih beroperasi, dan harga batu bara tinggi, kok cicilan macet.
Di luar kasus itu. Tidak salah – teruslah mewaspadai debitur sontoloyo yang bisa jadi akan makin banyak, dan bergentayangan menjelang berakhirnya program restruk-turisasi kredit di Maret 2023 mendatang.
Waspadalah. Sudah seharusnya kalangan perbankan memasukkan debitur yang suka ngemplang ke dalam daftar hitam perbankan agar warna hitamnya makin kelam. Bank tidak boleh lagi dirusak oleh “koboi-koboi” kredit yang menggunakan “jurus mabuk” dengan melibatkan kelompok penekan, media, LSM, politisi, dan pihak Kejak-saan Agung RI, yang seharusnya menjadi pembela negara.
Setuju. Hukum harus ditegakkan. Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang, siapa yang menjadi “bandit” kredit sebenarnya? Sungguh terlalu, sering bank menjadi korban karena dianggap tempat “basah” dan sejengkal dari kata merugikan negara. Sudah seharusnya bank tidak dianggap “celengan semar” bagi banyak pihak. Opo tumon debitur macet lebih galak dari pada yang kasih kredit. Ambyar!
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More