Oleh Diding S. Anwar, Ketua Komite Tetap Penjaminan, Asuransi, dan Dana Pensiun, KADIN Indonesia Bidang Fiskal, Moneter, dan Industri Keuangan (FMIK)
DALAM perjalanan hidup, sakit adalah ujian, dan perlindungan kesehatan adalah kebutuhan. Banyak dari kita merasa bersyukur karena telah terlindungi oleh Jaminan Asuransi Kesehatan, baik melalui skema nasional seperti BPJS Kesehatan, maupun melalui asuransi komersial.
Namun, belakangan ini, muncul kembali kegelisahan di tengah masyarakat terkait kebijakan co-payment, yaitu kewajiban peserta untuk ikut menanggung sebagian biaya perawatan meskipun telah membayar premi. Kebijakan ini memang dilandasi semangat kebersamaan dan kehati-hatian, yaitu agar peserta juga ikut bertanggung jawab dan mencegah penggunaan layanan yang berlebihan (moral hazard).
Melalui SEOJK No. 7/SEOJK.05/2025, Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur batas co-payment maksimal sebesar 10 persen, disertai batas nominal tertentu. Tetapi dalam praktiknya, khususnya ketika berhadapan dengan biaya medis yang besar dan mendesak, co-payment kerap menjadi beban nyata yang dirasakan masyarakat.
Baca juga: Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan Dikhawatirkan Bebani Masyarakat
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar bolehkah co-payment diterapkan, melainkan bagaimana kebijakan ini dapat lebih adil dan tidak memberatkan masyarakat?
Dalam semangat mencari solusi yang seimbang, izin saya ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan, perusahaan asuransi, regulator, dan masyarakat luas, untuk mempertimbangkan pendekatan reasuransi sebagai alternatif sistem risk sharing yang lebih adil.
Reasuransi, yang selama ini dikenal sebagai instrumen pengelolaan risiko internal perusahaan, sebenarnya dapat berperan lebih besar untuk melindungi masyarakat dari beban co-payment. Melalui perjanjian yang tepat dengan mitra Reasuradur, perusahaan asuransi dapat menyerap sebagian risiko klaim besar, tanpa harus meneruskannya kepada masyarakat peserta.
Pendekatan serupa telah diterapkan di berbagai negara dengan sistem kesehatan yang mapan: Swiss membatasi co-payment secara nasional dan mengalihkan risiko besar kepada lembaga reasuransi domestik. Belanda menyerap risiko kelompok rentan dalam skema reasuransi sosial.
Di Amerika Serikat, program Medicare Advantage memungkinkan perlindungan bebas co-payment berkat dukungan dana reasuransi federal.
Semua ini menunjukkan satu hal yang penting:
“Pembiayaan bersama tidak harus selalu dibebankan kepada masyarakat kecil, jika sistem kita mampu menyerap dan mendistribusikan risiko secara adil.”
Kita menyadari bahwa Industri Asuransi memerlukan keberlanjutan finansial untuk tetap tumbuh dan bertanggung jawab. Namun demikian, tujuan mulia dari Asuransi Kesehatan tidak akan tercapai jika peserta enggan berobat karena takut tidak mampu membayar co-payment.
Keseimbangan inilah yang patut kita jaga:
Perusahaan tetap sehat secara finansial, peserta tetap terlindungi secara menyeluruh, dan regulator tetap menjaga sistem perlindungan sosial yang terpercaya dan berfungsi untuk semua lapisan masyarakat.
Baca juga: Industri Asuransi Jiwa Awali 2025 dengan Kinerja Positif
Reasuransi bukan semata-mata instrumen teknis. Ia adalah alat gotong royong, saluran keadilan, dan jembatan empati yang dapat digunakan untuk menjamin bahwa perlindungan kesehatan tidak hanya tersedia, tetapi juga dapat diakses dan dirasakan secara adil oleh seluruh warga.
Melalui kebijakan yang lebih adaptif dan berani menempatkan manusia sebagai pusatnya, kita dapat mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang tidak hanya kuat secara struktur, tetapi juga hangat secara rasa.
Mari kita jaga agar perlindungan kesehatan tidak hanya menjadi hak yang tercantum dalam polis, tetapi menjadi pengalaman yang nyata, ringan, dan bermartabat bagi semua.
Reasuransi, bila diterapkan dengan prinsip keadilan, dapat menjadi kunci untuk membuka jalan menuju jaminan kesehatan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berpihak kepada rakyat.
Artikel ini merupakan bagian dari ikhtiar bersama untuk membangun sistem jaminan kesehatan nasional yang berkeadilan sosial dan berorientasi pada kepentingan publik. (*)
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More