Oleh Karnoto Mohamad
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang sangat strategis. Kualitas pengawasan perbankan dan lembaga keuangan lain yang berada di tangan OJK sangat menentukan tingkat kemajuan industri keuangan yang berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Apabila pengawasan yang dilakukan OJK gagal, maka risikonya pasti akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem keuangan dan perekonomian Indonesia. Karena risikonya sangat besar, maka OJK tidak boleh gagal sebab permasalahan di industri keuangan terutama perbankan bisa berdampak sistemik terhadap perekonomian. Kalau perbankan ambruk, maka ekonomi juga ikut ambruk.
Kini, delapan tahun sejak didirikan, terkuak masalah-masalah di lembaga keuangan yang masuk dalam pengawasan OJK. Banyak kalangan menuding, munculnya kasus-kasus di perusahaan keuangan seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, Bank Muamalat, Arjuna Finance, dan SNP Finance, merupakan kegagalan nyata OJK dalam menelisik simpul-simpul rawan di lembaga keuangan. OJK dianggap gagal menjinakkan “bom” waktu di Jiwasraya yang masalahnya sudah diketahuinya sejak OJK beroperasi pada awal 2013.
Survei yang dilakukan CitiAsia dan Biro Riset Infobank terhadap para pelaku di lembaga keuangan memberi nilai merah terhadap kinerja OJK yaitu 59,3%. Bahkan, separoh bankir yang disurvei berharap pengawasan perbankan dikembalikan ke BI. (Lihat Majalah Infobank Nomor 502 Februari 2020).
Lalu mengapa kinerja OJK dianggap tak sesuai harapan untuk menciptakan pengawasan terhadap sektor keuangan dan perbankan yang kuat dan independen? Dalam forum group discussion yang dilakukan The Chief Economis Forum dan Infobank, setidaknya ada lima faktor yang disinyalir menyebabkan pengawasan OJK lemah dan tidak independen sehingga sebagian lembaga keuangan masih leluasa menjalankan bisnis secara tidak bertanggung jawab.
Satu, pengawasan OJK berbasis harmoni dan menghindari kegaduhan. Karena mengutamakan harmoni, OJK tidak berani mengungkapkan secara elegan masalah struktural dan sungkan meminta secara tegas kepada pemegang saham untuk segera menyelesaikannya. Contohnya dalam melihat kasus Jiwasraya di mana pihak OJK mengatakan bahwa penyelesaian masalah atau pengawasan seharusnya ada di pemegang saham dan komisaris, sementara posisi OJK berada di layer ketiga dalam pengawasan. Sesuai UU, OJK bisa memaksa pemilik untuk menambah modal atau mencabut izin, tapi itu tidak dilakukan.
Dua, pendanaan OJK mengandalkan iuran dari industri yang diawasi untuk membiayai kegiatan operasional, remunerasi pegawai, hingga membeli aset. Kondisi ini disinyalir membuat OJK tidak indenpenden dalam melakukan pengawasan, terlebih kepada perusahaan-perusahaan beraset besar yang membayar iuran lebih tinggi.
Tiga, kompetensi sumber daya manusia (SDM) terutama di bagian pengawasan yang terbatas. Contohnya di pengawasan perbankan yang pernah ditinggalkan 293 karyawan senior OJK karena memilih kembali ke BI pada 2017. Jumlah pengawas yang ada di OJK pun berkurang, dimana 67% memiliki pengalaman masa kerja kurang dari lima tahun. Artinya, para pelaku di perusahaan keuangan lebih berpengalaman dari yang mengawasi.
Empat, mengabaikan governance. Perizinan, pengawasan, hingga fit and proper test tidak dilakukan secara independen dan ewuh pakewuh, terutama kepada perusahaan keuangan yang pemegang sahamnya pemerintah. OJK acapkali tidak bisa menjadi palang pintu yang kuat untuk menyaring masuknya pengurus yang rekam jejaknya tidak sesuai untuk duduk di lembaga keuangan. Contoh paling gamblang, sebagian orang yang menjadi pengurus terutama komisaris di bank-bank BUMN karena faktor kedekatan atau titipan penguasa atau partai politik dengan mudah diluluskan oleh OJK. Sebaliknya, profesional-profesional yang sangat berpengalaman dan memiliki track record justru dihalang-halangi untuk menduduki kursi pengurus lembaga keuangan hanya gara-gara dia pernah mengkritik OJK.
Lima, faktor kepemimpinan di OJK yang penunjukkannya melalui proses politik. Kendati pemerintah menunjuk panitia seleksi (pansel) yang terdiri para profesional terpercaya untuk menjaring dan memilih para calon dewan komisioner lengkap dengan peringkatnya, tapi yang menentukan adalah presiden yang kemudian diberikan kepada DPR sebagai penentu akhir. Artinya, jika DPR menuding pengawasan OJK lemah karena disebabkan faktor leadership, maka DPR bersama presiden juga ikut berkontribusi terhadap lemahnya kinerja OJK.
OJK adalah lembaga yang lahir dari keputusan bersama pemerintah dengan legislatif dan pendiriannya bertujuan untuk berhasil dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan secara terintegrasi. Jadi tidak ada alasan OJK untuk lemah dan gagal dalam menjalankan tugasnya karena UU sudah memberikan kekuasaan besar kepada OJK untuk melakukan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan secara terintegrasi. Apabila OJK dianggap tidak berhasil bahkan sebagian kalangan mendesak agar pengawasan perbankan dikembalikan ke Bank Indonesia, maka pemerintah bersama legislatif harus bisa menyelesaikan faktor-faktor penyebab yang membuat OJK gagal dalam melakukan pengawasan sehingga sebagian lembaga keuangan masih leluasa menjalankan bisnis secara tidak bertanggung jawab. (*)
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More
Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More
Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More
Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More