OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) tak lagi “keramat”. Keberadaannya sebagai lembaga “super body” yang ditakuti para pemilik dan pengurus perusahaan keuangan di Indonesia ini sedang goyang gara-gara meledaknya masalah keuangan di Asuransi Jiwasraya, AJB Bumiputera, dan Asabri. Wacana agar pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia (BI) dilempar oleh anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjadi mitra kerja sekaligus pengawas yang selama ini memiliki hubungan harmonis dengan OJK. Alasannya, OJK yang didirikan untuk melakukan pengawasan yang lebih baik dan terintegrasi dianggap tidak lebih baik. “Teman-teman internal bicara pemisahan dilakukan untuk pengawasan yang lebih baik. Nah, ternyata hasilnya tidak maksimal. Apa memungkinkan dikembalikan ke BI? Bisa saja. Di Inggris dan di beberapa negara sudah seperti itu,” ujar Eriko Sotarduga, Wakil Ketua Komisi XI DPR, kepada media di Gedung DPR (21/01).
Menanggapi wacana tersebut, Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, merasa lembaganya sudah bekerja secara profesional. “Kami bekerja profesional, independen, dan kami bisa menyampaikan kepada masyarakat apa yang telah kami lakukan selama ini,” ujar Wimboh di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/1/2020), seperti dikutip infobanknews.com. Para petinggi OJK menolak disebut gagal dalam mengawasi. Dalam kasus Jiwasraya, OJK merasa sudah menjalankan fungsinya. Persoalan adanya insolvent Rp2,76 triliun dan ekuitas negatif Rp3,29 triliun sudah terjadi 2004 dan itu masalah yang seharusnya diatasi oleh pemerintah sebagai pemegang saham. “Kalau punya bisnis, siapa yang harus pertama kali mengawasi? Pasti pemilik. Kalau bentuknya PT? Ada dewan komisaris. Dia yang harus mengawasi. Ketiga baru eksternal, seperti regulator, kantor akuntan publik,” tandas Anto Prabowo, Deputi Komi-sioner OJK, kepada Infobank, medio bulan lalu.
Namun, banyak kalangan menuding OJK gagal menjinakkan “bom” waktu di Jiwasraya yang masalahnya sudah diketahuinya sejak OJK beroperasi pada awal 2013. Munculnya kasus-kasus di perusahaan keuangan, seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, Bank Muamalat, Arjuna Finance, dan SNP Finance, adalah karena kegagalan OJK dalam menelisik simpul-simpul kerawanan yang umum terjadi di lembaga keuangan. Menurut hasil focus group discussion yang dilakukan Chief Economic Forum bersama Infobank, ada lima faktor yang menyebabkan pengawasan OJK lemah dan tidak independen sehingga sebagian lembaga keuangan masih bisa menjalankan bisnis secara tidak bertanggung jawab.
Lalu apa saja faktor tersebut? Semuanya bisa disimak di Majalah Infobank edisi Februari 2020. (*)
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More
Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More
Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More
Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More